Oleh : Muhammad Syarif*
Politik adalah seni
dan ilmu untuk meraih kekuasaan baik secara konstitusional maupun non
konstitusional. Aristoteles beranggapan bahwa politik adalah usaha yang
ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Sementara sufi
bermakna suci hati dan perbuatan. Jadi Politik sufi adalah strategi atau cara
meraih kekuasaan dengan cara-cara yang terpuji baik dilakukan secara
konstitusional maupun non konstitusional. Kekuasaan yang diperoleh tanpa
menginjak dan mencedarahi hak-hak orang lain, bahkan yang terjadi saat ini adalah “politik jurus mabuk”.
Ada ungkapan yang
bijak: “Siapa pun yang minum dari cawan kekuasaan, ia pasti terjatuh dari
keikhlasaan seorang hamba," begitulah pendirian para sufi. Kalimat bijak
ini sangat besar artinya bagi kaum sufi. Al-Ghazali menjadikan
pendirian ini sebagai satu pondasi dalam penemuan sifat ikhlas dalam diri
seorang hamba. Keterlibatan dalam dunia politik akan sangat mengganggu
kemurnian hati sang sufi. Makanya cukup menarik ketika J. Spencer
Brimingham malah menulis satu sub judul: "Peran Politik Kelompok Sufi"
dalam bukunya The Sufi Orders in Islam.
Orientalis asal Inggris itu secara khusus menulis aktivitas politik kaum sufi
di berbagai belahan dunia.
Dalam kehidupan alam
nyata hampir tidak dapat ditemukan lakon “politik sufi”, justru yang banyak
kita lihat berbagai praktek kecurangan dipertontonkan oleh orang-orang
(politisi) dalam meraih hasrat politiknya. Politik cendrung menghalalkan
berbagai cara. Asal tujuannya tercapai, sikut-kiri kanan, injak kawan, fitnah,
hasut, dengki dan lain sebagainya menjadi senjata pamungkas guna menjatuhkan
lawan politiknya. Politik itu ngeri-ngeri sedap. Seorang politikus harus nekat,
berani dan punya cukup amunisi baik materi maupun immateril (intelektual).
Kehidupan politik
umumnya tampilan luar manis, akan tetapi makna hakikinya sulit ditebak. Angka matematis
tidak berlaku disitu. Dua tambah dua tidak mesti empat, bisa lima, enam bahkan
puluhan. Politik itu kejam. Gara-gara beda pandangan dianggap musuh bahkan bisa
dicap sebagai pengkianat. Sang ketua menjadi power pamungkas, jika ada yang coba-coba melawan sangketua bakal
dikutuk alias dileyapkan dari peredaran dunia “persilatan politik”.
Lantas apakah kita
harus pesimis akan lahir sosok politikus sufi? Jawabannya Tentu tidak. Kita harus
yakin diantara seribu akan lahir sosok insan yang memiliki semangat perubahan
dalam alam perpolitikan Indonesia yang saat ini begitu carut-marut. Paling tidak
politik sufi itu lahir di tanah rencong. Potensi akan lahirnya politik sufi
sangat besar, jika kaderisasi dan pendidikan politik dimainkan oleh politikus
di Aceh. warna politik harus dimulai dari parpol politik lokal. Gerakan politiknya
harus benar-benar santun dan bermartabat. Karna itulah yang menjadi pembeda
antara partai politik lokal dengan partai politik nasional. Kalau tidak, maka
sesungguhnya kehadiran partai politik lokal menurut saya tidak membawa
perubahan yang fundamental dalam sistem ketata negaraan Indonesia khususnya di
Aceh. yang ada hanyalah perbedaan yurisdiksi teritorial saja, sementara yang
lainnya sama saja. Wallahu `alam binshawab
* Wakil Ketua DPD KNPI Kota Banda Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar