2 Agu 2014

Adakah Politik Sufi?

Oleh : Muhammad Syarif*
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan baik secara konstitusional maupun non konstitusional. Aristoteles beranggapan bahwa politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Sementara sufi bermakna suci hati dan perbuatan. Jadi Politik sufi adalah strategi atau cara meraih kekuasaan dengan cara-cara yang terpuji baik dilakukan secara konstitusional maupun non konstitusional. Kekuasaan yang diperoleh tanpa menginjak dan mencedarahi hak-hak orang lain, bahkan yang terjadi saat ini adalah “politik jurus mabuk”.
Ada ungkapan yang bijak: “Siapa pun yang minum dari cawan kekuasaan, ia pasti terjatuh dari keikhlasaan seorang hamba," begitulah pendirian para sufi. Kalimat bijak ini sangat besar artinya bagi kaum sufi.  Al-Ghazali menjadikan pendirian ini sebagai satu pondasi dalam penemuan sifat ikhlas dalam diri seorang hamba. Keterlibatan dalam dunia politik akan sangat mengganggu kemurnian hati sang sufi. Makanya cukup menarik ketika J. Spencer Brimingham malah menulis satu sub judul: "Peran Politik Kelompok Sufi" dalam bukunya The Sufi Orders in Islam. Orientalis asal Inggris itu secara khusus menulis aktivitas politik kaum sufi di berbagai belahan dunia.
Dalam kehidupan alam nyata hampir tidak dapat ditemukan lakon “politik sufi”, justru yang banyak kita lihat berbagai praktek kecurangan dipertontonkan oleh orang-orang (politisi) dalam meraih hasrat politiknya. Politik cendrung menghalalkan berbagai cara. Asal tujuannya tercapai, sikut-kiri kanan, injak kawan, fitnah, hasut, dengki dan lain sebagainya menjadi senjata pamungkas guna menjatuhkan lawan politiknya. Politik itu ngeri-ngeri sedap. Seorang politikus harus nekat, berani dan punya cukup amunisi baik materi maupun immateril (intelektual).
Kehidupan politik umumnya tampilan luar manis, akan tetapi makna hakikinya sulit ditebak. Angka matematis tidak berlaku disitu. Dua tambah dua tidak mesti empat, bisa lima, enam bahkan puluhan. Politik itu kejam. Gara-gara beda pandangan dianggap musuh bahkan bisa dicap sebagai pengkianat. Sang ketua menjadi power pamungkas, jika ada yang coba-coba melawan sangketua bakal dikutuk alias dileyapkan dari peredaran dunia “persilatan politik”.
Lantas apakah kita harus pesimis akan lahir sosok politikus sufi? Jawabannya Tentu tidak. Kita harus yakin diantara seribu akan lahir sosok insan yang memiliki semangat perubahan dalam alam perpolitikan Indonesia yang saat ini begitu carut-marut. Paling tidak politik sufi itu lahir di tanah rencong. Potensi akan lahirnya politik sufi sangat besar, jika kaderisasi dan pendidikan politik dimainkan oleh politikus di Aceh. warna politik harus dimulai dari parpol politik lokal. Gerakan politiknya harus benar-benar santun dan bermartabat. Karna itulah yang menjadi pembeda antara partai politik lokal dengan partai politik nasional. Kalau tidak, maka sesungguhnya kehadiran partai politik lokal menurut saya tidak membawa perubahan yang fundamental dalam sistem ketata negaraan Indonesia khususnya di Aceh. yang ada hanyalah perbedaan yurisdiksi teritorial saja, sementara yang lainnya sama saja. Wallahu `alam binshawab


* Wakil Ketua DPD KNPI Kota Banda Aceh


Tidak ada komentar: