Oleh Muhammad Syarif, S.HI,M.H*
Menurut hukum kewarisan
islam ( hukum faraidh ), pengertian hukum waris menurut istilah bahasa ialah
takdir ( qadar / ketentuan, dan pada sya’ra adalah bagian-bagian yang
diqadarkan / ditentukan bagi waris. Dengan demikian faraidh adalah khusus
mengenai bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh sya’ra
Kemudian ditinjau dari Hukum Adat, pengertian hukum waris adalah :
“Aturan-aturan yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan
peralihan dari harta kekayaan yang berwujud
dan tidak berwujud dari generasi pada generasi.
Menurut Supomo Hukum
Adat Waris menurut peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta
mengoper barang-barang yang tidak berwujud benda (IMMATERIELE GOEDEREN) dari
suatu angkatan manusia ( generasi ) kepada turunannya.
Sedangkan Kitab
Undang-undang hukum perdata ( BW ) juga memberikan batasan tentang pengertian dan
defenisi hukum waris sebagai suatu pedoman, adapun pengertian tersebut, adalah
seperti terurai dibawah ini. Menurut Pasal 830 BW. “ Pewarisan hanya
berlangsung karena kematian “. Pasal 832 BW mengatakan : “ Menurut
Undang-undang yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah
baik syah maupun luar kawin dan si suami atua isteri yang hidup terlama, semua
menurut peraturan tertera dibawah ini, dalam hal bilamana baik keluarga sedarah
maupun yang hidup terlama diantara suami isteri tidak ada, maka segala harta
peninggal si yang meninggal menjadi milik negara yang mana wajib melunasi
segala utangnya , sekedar harga harta peninggalan mencukupi untuk itu .
Hukum Waris di Indonesia
Hukum warisan di Indonesia sejak
dahulu sampai saat ini masih beraneka
ragam bentuknya, masing-masing golongan penduduk
tunduk kepada aturan-aturan hukum yang berlaku kepadanya sesuai dengan
ketentuan Pasal 163 IS Yo. Pasal 131 IS.
Golongan penduduk
tersebut terdiri dari :
-
Golongan
Eropa dan yang dipersamakan dengan mereka
-
Golongan
Timur Asing Tionghoa dan Non Tionghoa
-
Golongan
Bumi Putera.
Berdasarkan peraturan Perundang-undangan R. I. UU No. 62
/ 1958 dan Keppers No. 240 / 1957 pembagian golongan penduduk seperti diatas
telah dihapuskan tentang hukum waris ini dapat dilihat di dalam Hukum Kewarisam
Islam, Hukum Adat dan Kitan Undang-Undang Hukum Perdata ( BW ).
Ketiga sistem hukum ini memiliki karakteristik dan ciri
khas masing-masing mengakibatkan terjadinya perbedaan antara yang satu dengan
lainnya. Namun demikian apabila berbicara persoalan hukum waris, maka tidak
terlepas dari 3 ( tiga ) unsur pokok yaitu ; adanya harta peninggalan atau
kekayaan pewaris yang disebut warisan, adanya pewaris yaitu orang yang
menguasai atas memiliki harta warisan dan adanya ahli waris yaitu orang yang
menerima pengalihan atau penerusan atau pembagian harta warisan .
Dalam bidang hukum waris ada, adanya pluralisme pada
umumnya disebabkan oleh adanya pengaruh dari susunan kekeluargaan/ kekerabatan
yang dianut di Indonesia. Adapun
susunan tersebut antara lain :
-
Pertalian
keteurunan menurut garis laki-laki ( Patrilineal )
Contoh : Umpamanya : Batak , Bali , Ambon
-
Pertalian
keturuman menrut garis perempuan ( matrilineal )
Contoh : Minangkabau, Kerinci ( Jambi ), Semendo- (
Sumetera Selatan )
-
Pertalian
keturunan menurut garis Ibu dan bapak ( Parental / Bilateral )
Misalnya : Melayu, Bugis, Jawa, Kalimantan ( Dayak ) ,
dll.
Disamping itu, dalam hal sistem pewarisanyapun
bermacam-bermacam pula, yakni terbagi atas 3 ( tiga ) bagian yaitu :
- Sistem Pewarisan Individual
Misalnya : Pada susunan kekeluargaan bilateral ( jawa ) dan
susunan
kekeluargaan patrilineal ( Batak )
2. Sistem
Pewarisan Kolektif
Misalnya : Harta pusaka tinggi di Minangkabau, Tanag dati
di Ambaon.
3. Sistem
Pewarisan Mayorat
Misalnya : di Bali , Lampung, dan lain-lain
Harta Warisan dan Masa Pembahagiannya
Di
dalam hukum adat pengertian warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah
berbagai hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia
meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.[1]
Dalam
hukum ada pengertian warisan memperlihatkan adanya tiga unsur yang
masing-masing merupakan unsur yang esensial, yaitu:
1. Seorang peninggal warisan yang pada wafatnya meninggalkan harta warisan.
2. Seorang atau beberapa orang ahli waris yang berhak menerima kekayaan yang
ditinggalkan itu.
3. Harta warisan, yaitu ujud kekayaan yang ditinggalkan dan sekali beralih
kepada ahli waris.
ad. 1. Seorang peninggal warisan, akan menimbulkan persoalan bagaimana dan
sampai dimana hubungannya dengan kekayaan itu dipengaruhi oleh sifat lingkungan
kekeluargaan, di mana si peninggal warisan berada.
ad. 2. Seorang atau beberapa orang ahli waris, akan menimbulkan persoalan
bagaimana dan sampai di mana hubungan tali kekeluargannya dengan si peninggal
warisan sehingga kekayaan tersebut dapat beralih kepada ahli waris.
ad. 3. Pada harta warisan akan menimbulkan masalah bagaimana dan sampai di
mana wujud kekayaan yang beralih itu dipengaruhi oleh sifat lingkungan
kekeluargaan di mana si peninggal warisan dan ahli waris berada.[2]
Di samping tiga unsur tersebut di atas, hukum warisan adat sangat
berhubungan erat dengan sifat kekeluargaan serta pengaruhnya terhadap kekayaan
dalam suatu masyarakat. Dari sifat kekeluargaan akan menentukan batas-batas
yang berada dalam tiga unsur penting tersebut di atas.
Masyarakat Indonesia dalam garis besarnya dibagi dalam tiga macam sifat
kekeluargaan, yaitu:
1.
Sifat kebapakan
2.
Sifat keibuan dan
3.
Sifat keibu bapaan.[3]
Hukum adat waris sangat dipengaruhi oleh prinsip garis
keturunan yang tersebut di atas, terutama dalam penetapan ahli waris, maupun
bahagian harta peninggalan.
Di Indonesia dikenal tiga sistim kewarisan, yaitu:
1. Kewarisan individual, yang merupakan sistim kewarisan di mana para ahli
waris mewarisi secara perorangan, misalnya di Batak, Jawa, Sulawesi dan
lain-lain.
2. Kewarisan kolektif, dimana para ahli waris secara bersama-sama mewarisi
harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi kepada ahli waris, terdapat di
Minangkabau.
3.
Kewarisan Mayorat:
a.
Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua pada
saat pewaris meninggal atau keturunannya laki-laki merupakan ahli waris
tunggal, seperti di Lampung.
b.
Mayorat perempuan, yaitu anak perempuan tertua pada saat
pewaris meninggal adalah ahli waris tunggal, misalnya terdapat pada masyarakat
di Tanah Semendo (Sumatera Selatan).[4]
Ahli Waris dan Penggantian Tempat Waris
Pada umumnya yang menjadi ahli waris adalah para warga yang paling dekat
hubungannya dengan si pewaris. Anak-anak dari yang meninggal merupakan ahli
waris yang utama.
Dalam masyarakat yang sistim kekeluargaannya bilateral,
anak laki-laki dan perempuan merupakan ahli waris dari orang tuanya yang
meninggal. Di dalam masyarakat yang susunan kekeluargaannya bersifat unilateral
anak-anak dari yang meninggal terkadang tidak menjadi ahli waris.[5]
Di Minangkabau (Sumatera Barat) dengan sifat
kekeluargaannya yang matrilineal, jika yang wafat suami, maka anak-anaknya
tidak merupakan ahli waris, sebab anak-anak itu berada dalam clan ibunya,
sedang ayahnya masih tetap tinggal dalam clannya sendiri. Ahli warisnya adalah
saudara-saudara kandungnya.
Di Bali dengan sifat kekeluargaan kebapaan yang menjadi
ahli waris hanya anak laki-laki yang tertua saja, dengan kewajiban membiayai
adik-adiknya dan mengawinkan mereka. Di Batak dan Lampung, anak perempuan yang
sudah kawin secara jujuran, karena ia sudah terlepas dari keluarga ayahnya,
maka ia tidak mendapat warisan dari ayahnya. Demikian pula halnya di Gayo, jika
anak perempuan itu dikawinkan secara “Juwelen” (jujuran) tidak merupakan ahli
waris lagi dari ayahnya, akan tetapi bila anak perempuan itu dikawinkan secara
“Angkap”, anak perempuan itu tetap dalam lingkungan keluarga orang tuanya, maka
anak perempuan itu menerima warisan bersama-sama dengan ahli waris lainnya.[6]
Menurut hukum adat warisan di Jawa, anak yang lahir di
luar perkawinan hanya menjadi waris di dalam harta peninggalan ibunya maupun di
dalam harta peninggalan kerabat dari pihak ibu. Karena anak yang demikian
dianggap tidak mempunyai bapak dan oleh karenanya tidak memiliki hubungan
kekeluargaan pihak bapak.[7]
Anak angkat di Jawa merupakan ahli waris dari orang tua
angkatnya, dengan syarat bahwa harta itu bukan berasal dari warisan yang
diterima dari orang lain. Di Aceh karena pada umumnya hukum adat mengenai
warisan sama dengan hukum Islam, maka anak angkat tidak menjadi ahli waris.[8]
Mengenai anak tiri, tidak mewarisi dari ibu atau dari ayah tirinya, tetapi
akan mendapat sebahagian dari harta ibu kandungnya. Seorang janda atau duda
yang akan menjadi ahli waris sangat tergantung pada sistem kekerabatan dari
masyarakat yang bersangkutan dan bentuk perkawinan yang dilakukan yaitu:
1.
Pada masyarakat patrilinial
2.
Pada masyarakat matrilinial
3.
Pada masyarakat parental
Ahli waris lain baru berhak menerima harta peninggalan, jika
yang meninggal tidak mempunyai anak. Apabila seorang anak lebih dahulu
meninggal dunia dari si peninggal warisan dan anak tersebut meninggalkan
anak-anak, maka cucu dari si peninggal warisan itu menggantikan orang tuanya.
Apabila
peninggal warisan tidak meninggalkan anak atau cucu dan keturunannya, orang
tuanya berhak menerima warisan bersama jandanya jika ada. Apabila orang tua itu
telah wafat lebih dahulu, maka harta warisannya jatuh kepada saudara-saudaranya
sekandung.
Penggantian
dapat juga terjadi jika saudara itu meninggal lebih dahulu daripada si pewaris,
maka ia diganti oleh anak-anaknya. Apabila anak saudara itu juga sudah
meninggal, maka ia diganti oleh anaknya pula dan demikian seterusnya.[9]
Ini
hanya berlaku di Jawa, sedang di Aceh karena hukum adatnya mengenai warisan
adalah hukum Islam, maka orang tua tetap menjadi ahli waris meskipun pewaris
meninggalkan anak, hanya saja bahagian orang tua sedikit, yaitu seperenam.
Cara Pembahagian Harta Warisan
Menurut
Wirjono Prodjodikoro, dalam pembahagian harta warisan hukum adat melihat pada
wujud barang-barang yang ditinggalkan oleh si pewaris, maka pembahagian harta
warisan biasanya merupakan penyerahan barang warisan tertentu kepada seorang
ahli waris tertentu pula, seperti sebidang tanah atau sawah diserahkan kepada
ahli waris “A” dan sebidang pekarangan atau rumah diberikan kepada ahli waris
“B”, keris diserahkan kepada ahli waris “C” (biasanya seorang laki-laki), dan
subang atau kalung diserahkan kepada ahli waris si “D” (biasanya seorang
perempuan).[10]
Jika
terjadi perselisihan, pihak yang tidak puas menggugat ke pengadilan. Hakim
harus mengusahakan memperdamaikan terlebih dahulu. Hakim harus mengusahakan
memperdamaikan terlebih dahulu, apabila tidak tercapai perdamaian, maka hakim
harus mengambil keputusan menurut hukum yang berlaku di daerah itu.[11]
Dari keterangan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan
tentang cara pembahagian harta warisan menurut hukum adat, antara lain:
1. Tidak adanya suatu ketentuan bahagian ahli waris dalam menerima harta
pusaka, melainkan menetapkan dasar persamaan hak bagi setiap para ahli waris.
2. Proses pembahagian harta warisan sangat memperhatikan keadaan-keadaan para
ahli waris.
3. Tidak ada ketentuan agar harta pusaka tersebut harus segera dibagi-bagi
terhadap ahli waris, tetapi dapat ditunda, kecuali ada di antara para ahli
waris minta supaya dibagi.
Kesimpulan
1.
Menurut hukum adat, harta peninggalan tidak semuanya dapat
dibagi-bagi, kemungkinan ada harta tersebut karena sifatnya tidak dapat dibagi
atau pembahagiannya ditangguhkan untuk sementara.
2. Umumnya yang menjadi ahli waris adalah para warga yang paling dekat
hubungannya dengan si pewaris. Anak-anak dari yang meninggal merupakan ahli
waris yang utama. Dalam masyarakat yang sistim kekeluargaannya bilateral, anak
laki-laki dan perempuan merupakan ahli waris dari orang tuanya yang meninggal.
Di dalam masyarakat yang susunan kekeluargaannya bersifat unilateral anak-anak
dari yang meninggal terkadang tidak menjadi ahli waris.
3. Cara pembahagian harta warisan menurut hukum adat, antara lain: Tidak
adanya suatu ketentuan bahagian ahli waris dalam menerima harta pusaka,
melainkan menetapkan dasar persamaan hak bagi setiap para ahli waris. Proses
pembahagian harta warisan sangat memperhatikan keadaan-keadaan para ahli waris
serta tidak ada ketentuan agar harta pusaka tersebut harus segera dibagi-bagi
terhadap ahli waris, tetapi dapat ditunda, kecuali ada di antara para ahli
waris minta supaya dibagi.
* Penulis Adalah Direktur Aceh Research Institute (ARI)
[2] Ibid., hal. 9
[3] H. Ismuha (haji Ismail
Muhammad Syah), Penggantian Tempat Dalam Hukum Waris Menurut KUH Perdata,
Hukum Adat dan Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1998, hal. 35.
[4] Soejono Soekanto dan
B.Taneko, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1998, hal. 185-186
[6] Ibid., hal. 39
[7] Ibid., 72
[8] Ibid., 41
[9] Ibid, hal. 42
[10] Ibid, hal. 45
[11] Ter Haar , Bzn, B. MR, Asas-Asas Dan Susunan Hukum
Adat, terjemahan Soebakti Poesponoto, K. Ng, Pradnya Paramita, Jakarta,
1990.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar