Oleh:
Muhammad Syarif, S.HI.M.H*
Membaca
Harian Serambi Indonesia, Kamis 4 Agustus 2016, agak menelitik terkait
pembatalan SK pejabat yang baru saja dilantik oleh Asisten III Setdakab Aceh
Barat. Baru kali dalam lintasan sejarah Pemerintahan Daerah di Aceh mungkin
juga Indonesia, pembatalan SK super kilat oleh Pembina Kepegawaian Daerah.
Tentu
publik bertanya, kenapa hal ini bisa terjadi, aneh bin ajaib, serta layak
diusulkan “rekor muri”, katagori pembatalan SK tercepat sedunia. Ada sesuatu
yang salah dibalek itu semua. Mungkinkah ada skenario dan jebakan Batman dari
Mr.X yang mencoba membangun opini tentang carut marutnya administrasi
pengangkatan Jabatan Struktural dilingkungan Pemerintah Kabupaten Aceh Barat, ya
dugaan itu bisa benar dan bisa keliru.
Padahal
sebelumnya langkah Pemerintah Aceh Barat terhadap penerapan Manajemen Aparatur
Sipil Negara patut diacungkan jempol. Langkah Open Rekruitmen Jabatan Pimpinan
Tinggi diawali dari Pantai Barat Selatan (Aceh Barat dan Aceh Selatan). Dimana
daerah lain belum menerapkannya Justru Pemkab Aceh Barat dan Aceh Selatan
konsinsten melaksanakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil
Negara.
Sebagaimana
pemberitaan di media, Harian Serambi Indonesia, Senin 56 Pejabat dilingkungan
Pemkab Aceh Barat dilantik di berbagai level antara lain Eselon III, IV serta
Kepala Sekolah yang meliputi 19 orang Kepsek SD, 5 orang Kepsek SMP serta
beberapa Pejabat Kepala Tata Usama SMA/SMK dilingkungan Dinas Pendidikan Aceh
Barat.
Kalau
kita cermati, mutasi, promosi Jabatan sesungguhnya kewenangan Pembina Kepegawaian
Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota), akan tetapi semua harus taat asas dan
norma yang berlaku. Kewenangan itu jangan hanya dilihat dalam aspek politis ansich, akan tetapi juga dilihat aspek
prestasi kerja dan nuasan keharmonisan kinerja pada Instansi, serta nuansa
kebatinan sosial kuntrural lnstitusi.
Kalau
aspek ini diabaikan oleh Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota), maka akan
ada reaksi yang berakibat patal dan berpotensi mengganggu kinerja Institusi dan
pada akhirnya akan timbul kegaduhan birokrasi, yang berujung merugikan kepada
Daerah.
Membaca
Komentar T. Alaidinsyah, Bupati Aceh Barat, terhadap sikap politik yang diambil
berupa pembatalan SK Bupati. Lagi-lagi menjadi menarik untuk dikaji dan
dianalisis. Setidaknya ada 3 Aspek, baik teknis, Politik dan Hukum
Pertama;
Aspek Teknis, menyangkut tertib administras negara; Ada kesan Baperjakat dan
BKPP Aceh Barat tidak cermat dalam memberikan informasi kepada pimpinan,
sehingga berakibat patal dan mencorengkan nama baik Bupati. Ibarat air liur
ditelan kembali dalam sekecap. Mestinya orang-orang yang terlibat secara teknis
dalam promosi dan mutasi pejabat harus cermat dan teliti, sehingga tidak menuai
persoalan hukum dikemudian hari.
Kedua;
Aspek Politik Hukum; Sejatinya Bagian Hukum dan Staf Ahli Bupati yang
membidangi Pemerintahan dan Hukum atau sebutan lain (baca nomenklatur Staf Ahli
sesuai Perbub), harus mengupdate setiap perubahan kebijakan nasional. Termasuk Lahirnya
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang. Saya mencermati ada
kesan pembantu Bupati kurang Update regulasi kekinian, sehingga ada kesan pelantikan
pejabat ecek-ecek dan membuat publik penasaran. Sejatinya para Kabinet Bupati
benar-benar menjalankan tupoksinya dengan baik.
Ketiga:
Aspek Stabilitas Politik. Langkah Bupati sudah tepat guna menghindari sanksi
hukum pembatalan sebagai Calon Kepala Daerah dalam Pilkada oleh KPU atau untuk
Aceh dikenal KIP. (baca Pasal 71 ayat (5) UU No.10 Tahun 2016), Jika Bupati maju
lagi pada pesta demokrasi Pilkada serentak
nantinya, maka sikap yang ditempuh oleh Bupati didasari agar upaya maju
lagi sebagai calon Bupati Aceh Barat akan berjalan mulus dan diprediksi akan
menang kembali. Sikap inilah membuat Bupati Aceh Barat memutar haluan, yang
akhirnya SK itu langsung dibatalkan secepat kilat, pagi dilantik, sore langsung
dibatalkan.
Untuk
itulah agar kasus ini tidak terulang lagi pada Kabupaten/Kota lain di Aceh,
maka para pembantu Kepala Daerah harus cermat, teliti dan senantiasa meng upgrade
setiap perubahan kebijakan nasional. Kalau tidak maka kesalahan yang sama akan
terulang pada daerah lain dengan modus yang berbeda. Wallahu `alam bin shawab
*
Penulis adalah Direktur Aceh Research Institute dan Penulis Buku Reformasi
Birokrasi dari Banda Aceh menuju Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar