3 Agu 2016

Menyoal Pembatalan SK Pelantikan Pejabat Aceh Barat

Oleh: Muhammad Syarif, S.HI.M.H*

Membaca Harian Serambi Indonesia, Kamis 4 Agustus 2016, agak menelitik terkait pembatalan SK pejabat yang baru saja dilantik oleh Asisten III Setdakab Aceh Barat. Baru kali dalam lintasan sejarah Pemerintahan Daerah di Aceh mungkin juga Indonesia, pembatalan SK super kilat oleh Pembina Kepegawaian Daerah.
Tentu publik bertanya, kenapa hal ini bisa terjadi, aneh bin ajaib, serta layak diusulkan “rekor muri”, katagori pembatalan SK tercepat sedunia. Ada sesuatu yang salah dibalek itu semua. Mungkinkah ada skenario dan jebakan Batman dari Mr.X yang mencoba membangun opini tentang carut marutnya administrasi pengangkatan Jabatan Struktural dilingkungan Pemerintah Kabupaten Aceh Barat, ya dugaan itu bisa benar dan bisa keliru.
Padahal sebelumnya langkah Pemerintah Aceh Barat terhadap penerapan Manajemen Aparatur Sipil Negara patut diacungkan jempol. Langkah Open Rekruitmen Jabatan Pimpinan Tinggi diawali dari Pantai Barat Selatan (Aceh Barat dan Aceh Selatan). Dimana daerah lain belum menerapkannya Justru Pemkab Aceh Barat dan Aceh Selatan konsinsten melaksanakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara.

Sebagaimana pemberitaan di media, Harian Serambi Indonesia, Senin 56 Pejabat dilingkungan Pemkab Aceh Barat dilantik di berbagai level antara lain Eselon III, IV serta Kepala Sekolah yang meliputi 19 orang Kepsek SD, 5 orang Kepsek SMP serta beberapa Pejabat Kepala Tata Usama SMA/SMK dilingkungan Dinas Pendidikan Aceh Barat.
Kalau kita cermati, mutasi, promosi Jabatan sesungguhnya kewenangan Pembina Kepegawaian Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota), akan tetapi semua harus taat asas dan norma yang berlaku. Kewenangan itu jangan hanya dilihat dalam aspek politis ansich, akan tetapi juga dilihat aspek prestasi kerja dan nuasan keharmonisan kinerja pada Instansi, serta nuansa kebatinan sosial kuntrural lnstitusi.
Kalau aspek ini diabaikan oleh Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota), maka akan ada reaksi yang berakibat patal dan berpotensi mengganggu kinerja Institusi dan pada akhirnya akan timbul kegaduhan birokrasi, yang berujung merugikan kepada Daerah.
Membaca Komentar T. Alaidinsyah, Bupati Aceh Barat, terhadap sikap politik yang diambil berupa pembatalan SK Bupati. Lagi-lagi menjadi menarik untuk dikaji dan dianalisis. Setidaknya ada 3 Aspek, baik teknis, Politik dan Hukum
Pertama; Aspek Teknis, menyangkut tertib administras negara; Ada kesan Baperjakat dan BKPP Aceh Barat tidak cermat dalam memberikan informasi kepada pimpinan, sehingga berakibat patal dan mencorengkan nama baik Bupati. Ibarat air liur ditelan kembali dalam sekecap. Mestinya orang-orang yang terlibat secara teknis dalam promosi dan mutasi pejabat harus cermat dan teliti, sehingga tidak menuai persoalan hukum dikemudian hari.
Kedua; Aspek Politik Hukum; Sejatinya Bagian Hukum dan Staf Ahli Bupati yang membidangi Pemerintahan dan Hukum atau sebutan lain (baca nomenklatur Staf Ahli sesuai Perbub), harus mengupdate setiap perubahan kebijakan nasional. Termasuk Lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang. Saya mencermati ada kesan pembantu Bupati kurang Update regulasi kekinian, sehingga ada kesan pelantikan pejabat ecek-ecek dan membuat publik penasaran. Sejatinya para Kabinet Bupati benar-benar menjalankan tupoksinya dengan baik.
Ketiga: Aspek Stabilitas Politik. Langkah Bupati sudah tepat guna menghindari sanksi hukum pembatalan sebagai Calon Kepala Daerah dalam Pilkada oleh KPU atau untuk Aceh dikenal KIP. (baca Pasal 71 ayat (5) UU No.10 Tahun 2016), Jika Bupati maju lagi pada pesta demokrasi Pilkada serentak  nantinya, maka sikap yang ditempuh oleh Bupati didasari agar upaya maju lagi sebagai calon Bupati Aceh Barat akan berjalan mulus dan diprediksi akan menang kembali. Sikap inilah membuat Bupati Aceh Barat memutar haluan, yang akhirnya SK itu langsung dibatalkan secepat kilat, pagi dilantik, sore langsung dibatalkan.
Untuk itulah agar kasus ini tidak terulang lagi pada Kabupaten/Kota lain di Aceh, maka para pembantu Kepala Daerah harus cermat, teliti dan senantiasa meng upgrade setiap perubahan kebijakan nasional. Kalau tidak maka kesalahan yang sama akan terulang pada daerah lain dengan modus yang berbeda. Wallahu `alam bin shawab

* Penulis adalah Direktur Aceh Research Institute dan Penulis Buku Reformasi Birokrasi dari Banda Aceh menuju Indonesia



Tidak ada komentar: