Iftitah
Berlakunya hukum adat dalam masyarakat adalah merupakan manifestasi dan aspirasi yang berkembang di dalam masyarakat.[2] Masyarakat Aceh tempo dulu adalah masyarakat yang beradat dan berbudaya. Itu terungkap dalam tradisi besar yang diwarisi secara generasi. Adat dan budaya praktis menjadi rujukan bagi hidup masyarakat Aceh baik individu maupun kelompok. Itulah yang menjadi karasteristik dan identitas masyarakat Aceh.
Sejarah telah membuktikan peran adat dalam memelihara kerukunan hidup, kedamaian dan ketentraman dalam masyarakat. Suasana seperti itu telah teruji selama ratusan tahun.. Tradisi yang diwarisi secara generasi telah menandai sejarah kebesaran Aceh sekaligus menjadi salah satu karasteristik dan identitas Aceh. Salah satu masa keemasan ketika kerajaan Aceh Darussalam waktu itu adalah fungsi dan peran adat dalam memelihara kerukunan hidup, kedamaian dan ketentraman dalam masyarakat. Untuk merekonstruksi kembali terhadap adat dan kebudayaan Aceh yang menjadi bingkai kehidupan tatanan masyarakat Aceh tempo dulu sehingga dikenal sebagai masyarakat yang beradat dan berbudaya.
Ajaran Islam menjadi tuntunan hidup dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pada masa itu hukum Islam benar-benar ditegakkan dan mengikat setiap orang, tanpa pengecualian. Walau pihak istana yang melakukannya. Sehingga tidak heran putra sultan sendiri dikenakan hukum jilid (cambuk) akibat perzinaan yang dilakukannya.
Hukum dan adat istiadat Aceh sangat bertalian erat. Karena mayoritas penduduk Aceh beragama Islam maka keduanya dapat berjalan seiring, seperti kata pepatah Aceh;“Adat bak peutoumeurouhoem, hukum bak syiah kuala”Arti pepatah tersebut adalah untuk mengetahui lebih banyak mengenai adat maka rakyat Aceh dapat menemui peutoumeurouhoem yaitu orang yang sangat ahli mengenai adat yang berlaku di Aceh. Sedangkan untuk mengetahui hukum Islam maka dapat ditanyakan kepada seorang ulama terkemuka paada zaman itu yaitu Teungku Syiah Kuala. Sehingga dalam setiap kegiatan adat tidak boleh bertentangan dengan agama Islam.[3]
Pemerintahan desa di Aceh disebut gampong. Gampong merupaka struktur masyarakat di Aceh yang terkecil yang berada dibawah Mukim. Penyelenggaraan pemerintah gampong merupakan hal yang sangat mendasar sebagai cerminan dari adat yang berlaku di Aceh. Sesuai dengan yang disebutkan dalam Qanun Prov. NAD Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong dalam Prov. NAD, dalam Penjelasannya mengupayakan agar gampong mampu melaksanakan 4 keistimewaan Aceh ditingkat gampong yaitu; penyelenggaraan kehidupan beragama, kehidupan adat, pendidikan dan peran ulama dalam penerapan kebijakan daerah.
Tulisan ini berusaha menjawab 3 persoalan yaitu: pertama Bagaimanakah eksistensi pemerintahan gampong di Aceh, Kedua Jenis-jenis harta di desa/gampong? Ketiga bagaimana mekanisme penyelesaian perkara di tingkat gampong?
Historis Pemerintahan Desa Di Indonesia
1. Pemerintahan Desa Sejak Pra Kolonial, Kolonial dan Merdeka
Tata susunan rakyat di desa-desa pada zaman lampau mengalami perubahan-perubahan berhubung dengan pengaruh tata susunan administrasi Kerajaan-kerajaan diberbagai daerah Indonesi dan kemudian berhubung dengan campur tangan tangan administrasi Hindia Belanda dahulu.[4] Sebelum zaman kolonial daerah para kerajaan meliputi seluruh lingkungan desa di kerajaan masing-masing. Raja bertempat tinggal di istana dalam ibukota Negara. Administrasi kerajaan tiodak bercampur denga kehidupan masyarakat desa, bahkan membiarkan desa untuk mengurus kehidupannya sendiri menurut hukum adat desa sebagai persekutuan hukum wajib membayar pajak dan mengerahkan tenaga kerja untuk keperluan kerajaan. Kesemua hal tersebut kepala desa yang bertanggung jawab.[5]
Pada zaman kolonial administrasi kerajaan-kerajaan diseluruh nusantara lambat laun diganti oleh administrasi kolonial. Campur tangan kolonial dalam kehidupan masyarakat desa nsemula diatur dengan beberapa ordonansi. Ordonansi-ordonansi tersebut memuat peraturan-peraturtan tentang susunan kompentensi persekutuan hukum dilapangan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak sesuai dengan adat setempat. Pada akhir masa kolonial Hindia Belanda melakukan politik hukum dengan memberi kesempatan pada hukum adat untuk berkembang dengan semestinya.[6] Terhadap tata susunan desa dilaksanakan dengan dibentuknya marga ordonansi. Kehidupan desa sebagai persdekutuan hukum diperkuat dengan akuinya peradilan desa (dorpsjustitie) oleh pemerintah Hindia Belanda dalam Staatsblad 1935 No. 102.
Saat Indonesia merdeka berlaku Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 Pokok tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan bahwa Negara RI tersusun dalam tiga tingkatan ; Propinsi, Kabupaten (kota besar) dan Desa (kota kecil) atau negeri, marga dan sebagainya yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Sampai sekarang berlaku UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang bersifat otonom.
2. Bentuk Desa
Menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa Pemerintahan Desa terdiri atas Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain. Kelurahan merupakan perangkat Kecamatan yang dipimpin oleh Kepala Kelurahan yang disebut Lurah. Lurah diangkat dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat oleh Walikota/Bupati atas usul Camat dan menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Camat.
Pemerintahan Desa terdiri atas Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dan Perangkat Desa. Kapala Desa dipilih langsung oleh Penduduk Desa dari calon yang memenuhi syarat. Calon Kepala Desa yang terpilih dengan mendapatkan dukungan suara terbanyak kemudian ditetapkan oleh Badan Perwakilan Desa dan disahkan oleh Bupati. Masa jabatan Kepala Desa ini paling lama sepuluh tahun atau dua kali masa jabatan terhitung sejak tanggal ditetapkan.[7]
Bentuk-bentuk desa di seluruh Indonesia berbeda-beda disebabkan ;
1. Wilayah yang ditempati penduduk, ada wilayah yang sempit ada yang padat dan ada wilayah yang luas ditempati penduduk yang jarang
2. Susunan masyarakat hukum adat ada masyarakat adat yang susunannya berdasarkan ikatan ketetanggaan (territorial) ada yang susunannya berdasarkan kekerabatan (geanologis) atau berdasarkan ikatan adat keagaman
3. Sistem pemerintahan adat dan nama-nama jabatan pemerintahan adat yang berbeda-beda dan penguasaan harta kekayaan desa yang berbeda.
3. Suasana Tradisional Masyarakat Desa
Persekutuan desa merupakan suatu kesatuan yang hidup bersama, yang bercorak sebagai berikut:[8]
1. Keagamaan, bersifat kesatuan batin, orang segolongan merasa satu dengan golongan seluruhnya dan tugas persekutuan adalah memelihara keseimbangan lahir batin antara golongan dan alam lingkungannya.
2. Kemasyarakatan, masyarakat tradisional bercorak kemasyarakatan, komunal. Manusia dalam hukum adat adalah orang yang terikat pada masyarakat. Tidak individualis, pada asasnya bebas dengan segala laku perbuatannya asal saja tidak melanggar batas-batas yang diberlakukan.
3. Kewibawaan, kewibawaan ini dapat berdasarkan pertama atas peristiwa, bahwa di dalam persekutuan-persekutuan bersifat genealogis dan territorial, ia adalah anggota yang tertua dari famili yang tertua atau yang berkuasa dalam daerah persekutuan. Kedua berdasarkan kepada kepercayan tradisional, bahwa kekuatan gaib masyarakat terutama menjelma pada diri kepala tersebut.
4. Pengangkatan Kepala Rakyat, apabila ada lowongan jabatan kepala, menurut hukum tradisional pengganti kepala diangkat atas dasar hukum waris dengan pemilihan didalam musyawarah di rapat desa.
Asas-Asas Pemerintahan Gampong Di Aceh
A. Pemerintahan Gampong
Struktur masyarakat di Aceh dari yang terkecil sampai yang terbesar adalah sebagai berikut :[9]
1. Gampong (desa)
2. Mukim (kumpulan desa-desa)
3. Daerah Ulee balang (distrik)
4. Daerah Sagoe (kumpulan beberapa mukim)
5. Kesultanan
Pemerintahan Desa di Aceh disebut gampong[10]. Gampong adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempumyai organisasi pemerintahan terendah langsung berada di bawah mukim atau nama lain yang menempati wilayah tertentu, yang pimpin oleh Keuchik atau nama lain yang berhak melaksanakan rumah tangganya sendiri.[11] Terdapat 3 unsur pimpinan gampong yaitu Keuchik, Teungku Meunasah dan Tuha Peut, akan tetapi dalam menjalankan kekuasaan lebur menjadi satu dan dijalankan oleh Keuchik.
Terdapat gabungan gampong-gampong yang disebut Mukim di kepalai oleh Imum Mukim. Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum dalam Prov. NAD yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas-batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah kecamatan, yang dipimpin oleh Imum mukim.[12] Jabatan ini dipegang secara turun temurun. Karena di Aceh masyarakat pedesaannya kuat dipengaruhi agama Islam maka peranan Teungku Meunasah di gampong sangat berpengaruh. Biasanya pemerintahan desa tersebut dilaksanakan oleh Imeum, Keuchik dan Teungku Meunasah bersama-sama dengan majelis urueng tuha.[13]
Gampong dalam arti phisik merupakan sebuah kesatuan wilayah yang meliputi tempat hunian, blang, padang dan hutan. Dalam arti hukum, gampong merupakan Persekutuan Masyarakat Hukum Adat yang bersifat territorial. Sedangkan kampong merupakan tempat hunian berbagai belah yang meliputi wilayah tempat hunian, padang, persawahan dan hutan. Belah di Aceh Tengah merupakan persekutuan masyarakat hukum adat. Persekutuan hukumnya bersifat geanologis (hubungan darah).[14]
Pemerintahan di tingkat gampong terdiri dari beberapa pejabat, yaitu :[15]
(1) Menjaga ketertiban, keamanan dan adat dalam desanya
(2) Menjalankan perintah atasan
(3) Berusaha memakmurkan desanya
(4) Menjalankan tugas sosial kemasyarakatan yang dikemas dalam istilah keureuja udep dan keureja mate
(5) Ikut serta dala setiap peristiwa hukum seperti ; transaksi tanah, perkawinan dan lain-lain
(6) Memberi keadilan di dalam perselisihan-perselisihan
b. Teungku Imum Meunasah. Merupakan pimpinan di bidang keagamaan, mulai dari mengaji Al Qur’an dan menanamkan dasar-dasar ketauhidan, memimpin berbagai upacara keagamaan dan memberi nasehat-nasehat spritual bagi Keuchik gampong apabila diperlukan.
c. Tuha Peut. Adalah dewan orang tua yang mempunyai pengetahuan yang luas tentang adat dan agama. Tuha peut ini terdiri dari Keuchik gampong, imum meunasah dan kepala jurong (kepala lorong)
d. Tuha lapan. Adalah dewan tertinggi di tingkat gampong yang terdiri dari; tuha peut, guree semebeut (guru-guru ngaji), para cerdik pandai dan tokoh-tokoh pemuda.
Dalam Qanun Kota Banda Aceh Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Tuha Peut Gampong disebutkan Tuha Peut Gampong yang terdiri atas unsur-unsur pemuka agama di gampong, tokoh-tokoh masyarakat termasuk dari pemuda dan perempuan, pemuka-pemuka adat dan para cerdik pandai/cendikiawan yang ada dalam gampong. Tuha Peut Gampong merupakan Badan Perwakilan Gampong yang merupakan wahana untuk mewujudkan demokratisasi, keterbukaan dan partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan pemerintah gampong. Tuha Peut Gampong berkedudukan sejajar dan menjadi mitra kerja dalam system penyelenggaraan pemerintahan gampong.[17]
B. Harta Kekayaan Gampong
Dalam UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa Sumber pendapatan Desa terdiri dari atas (a) pendapatan asli Desa yang meliputi: 1) hasil usaha Desa, 2) hasil kekayaan Desa, 3) hasil swadaya dan pertisipasi, 4) hasil gotong royong, dan 5) pendapatan lain-lain yang sah; (b) bantuan dari Pemerintah Kabupaten meliputi: 1) bagian dari perolehan pajak dan retribusi Daerah, 2) bagian dari dana perimbangan keuangan Pusat dan Daerah yang diterima oleh Pemerintah Kabupaten (c) bantuan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah Propinsi; (d) sumbangan dari pihak ketiga; dan (e) pinjaman Desa.
Sumber pendapatan Desa tersebut dikelola melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Kepala Desa bersama Badan Perwakilan Desa menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa setiap tahun dengan Peraturan Desa. Pedoman penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa ditetapkan oleh Bupati. Tata cara dan pungutan obyek pendapatan dan belanja Desa ditetapkan bersama antara Kepala Desa dan Badan Perwakilan Desa.
Menurut hukum adat desa sebagai suatu badan hukum adat mempunyai harta kekayaan desa, yang memiliki atau dikuasai oleh desa, baik berupa tanah, bangunan, hutang piutang dan lainnya. Sekarang yang menyangkut pemilikan dan penguasan atas tanah harus mengingat UUPA yaitu “Bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.
Beberapa harta kekayaan desa antara lain :
b. Tanah Hak Ulayat, berupa hutan termasuk hutan larangan yang diberikan pengwasannya kepada kepala desa seperti; semak belukar, rawa-rawa, tanah-tanah bekas peladangan yang telah ditinggalkan penggarapnya.
c. Tanah Desa, disebut juga milik desa yaitu merupakan semua bidang tanah yang bukan milik kerabat, milik perseorangan, milik yayasan atau lembaga atau perusahaan seperti ; tanah perkuburan, tanah-tanah tempat ibadah, tempat pendidikan, tanah balai desa, lapangan desa dan tanah pasar.
d. Bangunan Desa dan Lainnya, yaitu balai desa, kantor desa, tempat-tempat ibadah, bangunan pelabuhan transport desa, bangunan pasar, bangunan-bangunan ibadah, pintu gerbang desa, pakaian perlengkapan adat-kesenian.
Tetapi balai desa, rumah kerabat dan alat pakaian desa yang besifat kekerabatan (geanologis) bukan milik desa tetapi milik kerabat seketurunan bersangkutan (persekutuan hukum adat), kecuali telah diserahkan kepada kepala desa.
Gampong di Aceh, pada dasarnya sebagai persekutuan masyarakat hukum adat territorial, seluruh tanah dan perairan termasuk hutan dalam wilayah sebuah gampong baik yang ada hak di atasnya maupun tidak merupakan milik bersama yang dalam undang-undang disebut Hak Ulayat. Kekayaan yang lebih khusus adalah bangunan meunasah beserta tanah, tanoh meusara, tanah waqaf, umong khanduri (waqaf khusus hasil sawah), bangunan toko dan rumah tinggal.
C. Mekanisme Penyelesaian Perkara di Gampong
Peradilan gampong terdiri atas fungsionaris peradilan yaitu :
1. Pimpinan sidang dirangkap oleh Keuchik gampong
2. Anggota sidang terdiri dari ;
a. Teungku Imum/Imum, Janun Meunasah/Lebe
b. Anggota Tuha Peuet
Sifat putusan diambil dengan merujuk pada Hukum Adat/Adat atau putusan peradilan sebelumnya dalam kasus yang sama dan membuat adat baru yang relevan dengan rasa keadilan dalam belum ada kategori di atas.
Penyelesaian sengketa secara adat di Aceh di lakukan oleh Keuchik gampong. Keuchik gampong berperan secara netral, memberi kesempatan kepada kedua belah pihak yang berperkara untuk berbicara dan menyampaikan fakta menurut versi masing-masing. Dan akhirnya Keuchik gampong memberikan keputusan dengan sedikit penekanan ketika perselisihan semakin berlarut karena tidak ada sikap ingin berdamai diantara kedua belah pihak yang tentunya setelah mendengar nasehat dan pendapat dari tuha lapan. Jelasnya tahap-tahap penyelesaian perkara di tingkat gampong sebagai berikut :
1. Proses Negosiasi dalam Keluarga
Pada awalnya setiap ada perselisihan dalam keluarga dicoba diselesaikan dalam lingkup keluarga dahulu dengan memamfaatkan kepala keluarga atau orang yang dituakan dalam keluarga sebagai penengah. Kepala keluarga atau orang yang dituakan dalam keluarga ini, dalam melakukan negosiasi dengan pihak-pihak yang bersengketa mengupayakan agar para pihak bersedia bernegosiasi secara sukarela berdasarkan kesadaran penuh, mempunyai kemauan akan menyelesaikan masalah, karena kepala keluarga atau orang yang dituakan dalam keluarga dalam adat Aceh mempunyai wewenang mengambil keputusan.
2. Keuchik gampong dibantu oleh Tuha Peut dalam Lembaga Peujroh
Apabila keluarga tidak mampu menemukan jalan keluar bagi permasalahan tersebut, maka permasalahan akan di bawa ke Lembaga Peujroeh (seperti Majelis Adat yang berfungsi untuk mencegah tindakan menghakimi sendiri serta dapat merekat kembali hubungan kedua belah pihak yang berselisih). Di dalam lembaga peujroeh ini Keuchik gampong berfungsi sebagai mediator yang akan menganalisa permasalahan tersebut. Kemudian Keuchik gampong akan menunjuk tuha peut (orang yang dituakan dan ahli mengenai adat dan agama yang terdiri dari Keuchik gampong, imum meunasah dan keupala jurong untuk membantu menyelesaikan permasalahan tersebut.
Tujuan utama penyelesaian perselisihan melalui lembaga peujroh adalah untuk mencegah tindakan menghakimi sendiri yang dalam system adat Aceh di kenal dengan istilah tueng bila yaitu tindakan pembalasan. Maka untuk menghindari suatu perselisihan perdata menjadi tindakan pidana maka digunakan metode peujroh. Dalam metode peujroh, penyelesaian perselisihan berpedoman kepada hadih maja (pepatah) “Uleu be Mate Ranteng bek Patah”, artinya ular harus mati tetapi ranting jangan patah. Tamsilan tersebut mengandung ajaran bahwa hukum harus ditegakkan, akan tetapi harus dipertimbangkan pula jangan sampai dengan putusan tersebut masyarakat menjadi terpecah atau saling bermusuhan.
Biasanya yang menjadi tempat penyelesaian perselisihan adalah meunasah (musholla) dan perundingan tersebut dilakukan setelah selesai shalat Jum’at. Mengenai tempat dan waktu ini tidak bersifat baku artinya dapat ditentukan kembali oleh kedua belah pihak, apakah ingin di tempat yang lebih khusus agar kerahasiaan sengketa dapat terjaga.
3. Tuha Lapan
Bila tuha peut tidak mampu menyelesaikan perselisihan kedua belah pihak maka perkara tersebut dibawa ke Tuha Lapan yang terdiri atas tuha peut, tokoh-tokoh masyarakat seperti; guree semebeut (guru agama), Cerdik pandai dan tokoh pemuda. Dalam hal ini Keuchik gampong masih tetap berfungsi sebagai mediator aktif dan dibantu oleh tuha peut dan tuha lapan.
Taktik-taktik yang digunakan oleh Keuchik gampong sama seperti pada musyawarah di tingkat tuha lapan. Namun pada tingkat tuha lapan ini Keuchik gampong dibantu oleh orang-orang yang lebih ahli dibidang hukum, agama dan lain sebagainya dalam menyelesaikan perkara terebut.
4. Peusijuk
Apabila kedua belah pihak telah menemukan kesepakan maka diadakan acara peusijuk (tepung tawar). Tujuan diadakan peusijuk ini adalah untuk mengembalikan lagi harkat martabat atau harga diri (marwah) kedua belah pihak yang disaksikan oleh petua-petua gampong (tokoh-tokoh adat). Tujuan lain dari peusijuk ini adalah untuk menghindari tindakan tueng bila (balas dendam) yang dilakukan oleh salah satu dari kedua belah pihak karena harga diri dari kedua belah pihak telah dipulihkan.[18]
* Penulis adalah Dosen Fakultas Syari`ah dan Ekonomi Islam UIN Ar-Raniry
[1]Ditulis dalam rangka memenuhi tugas Kapsel Hukum Adat yang diasuh oleh DR. Taqwaddin, S.H, MS
[2] Abdurrahman, Kedudukan Hukum Adat dalam Perundang-undangan Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 1994, Hlm. 10
[3] Denys Mombard, Kerajaan Aceh, Terjemahan Winarsih Arifin, Balai Pustaka, Jakarta, 1986
[4] Sutardjo Kartohadikoesoemo, Desa, 1953
[5] Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2003, Hlm.79-80
[6] Ter Haar, Halverwege de Niewe Adatrechtpolitiek, Verzamelde Gescriften II, Hlm. 557
[7] Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
[8] Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat,PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2003, Hlm. 72-76. lihat pula : Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Sumur bandung, 1982, Hlm. 32
[9] Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1989, hlm. 241. Lihat pula Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, Hlm. 147
[10] Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
[11] Soerjono Soekanto, Hukum adat Indonesia, PT Raja Grafindi Persada, Jakarta, 2002, Hlm. 147
[12] Qanun Prov. NAD Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong dalam Prov. NAD
[13] Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat di Indonesia, Mandar Maju, bandung, 2003. Hlm. 174-177.
[14] Dahlan, T. Djuned, Ilyas Ismail, Husni Bahri, Hakim Nyak Pha, Abdulah Ahmad, TI El Hakimy, Rostini Susilowati, Inventarisir Hukum Adat dan Adat Aceh, Laporan Penelitian, Fakultas Hukum UNSYIAH dan Pemerintah Daerah Peovinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2002. Hlm. 11
[15] M. Junus Melalatoa, Sistem Budaya Indonesia; Adat dan Kebudayaan Aceh, Universitas Indonesia., hlm. 226
[16] Dahlan, T. Djuned, Ilyas Ismail, Husni Bahri, Hakim Nyak Pha, Abdulah Ahmad, TI El Hakimy, Rostini Susilowati, Op.Cit. Hlm. 12
[17] Qanun Kota Banda Aceh Nomor 9 tentang Tuha Peut Gampong.
[18] Muhammad Nizwar, Prinsip-prinsip Alternative Dispute Resolution (ADR) pada Penyelesaian Kasus Tanah di Aceh, Makalah PPs Hukum Bisnis UNPAD-Bandung, 2003, Hlm. 25-30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar