Oleh : Muhammad Syarif, S.HI.M.H
Ada tradisi di Indonesia,
setiap berganti kepemimpinan maka bergantilah sistem yang ada. Baru dua pekan menjabat Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan,Muhadjir Effendy menggagas konsep pendidikan full day school yang diperuntukkan bagi SD dan SMP baik negeri
maupun swasta. Ide ini muncul dengan melihat potret kesibukan orang tua
dijakarta yang tidak sempat mengurus anak, lalu sang menteri membuat jurus”Full day school” bagi siswa SD dan SMP
untuk mangkal di Sekolah hingga pukul 18.00 Wib, agar anak tidak berkeliaran
diluar disaar orang tua tidak ada dirumah.
Dengan sistem full day school, secara perlahan anak
didik akan terbagun karakternya dan tidak menjadi liar diluar sekolah ketika
orang tua mereka masih belum pulang dari kerja, ungkap Mendikbud di Universitas
Muhammadiyah Malang(7/8/2016). Lebih lanjut sang menteri yang juga mantan
Rektor Universitas Muhamadiyah ini menuturkan pada media, kalau anak tetap
berada disekolah, mereka akan menyelesaikan tugas-tugas sekolah sampai dijemput
orangtuanya seusai jam kerja. Berbagai upaya sosialisasi atas wacana ini terus
dimainkan oleh sang menteri baru ini, guna meloloskan mimpinya dan mendapat
restu presiden dan wakil presiden sebagai atasannya.
Bahkan Muhadjir Effendi
sangat yakin kebijakan ini dalam rangka membangun karakter bangsa, nantinya
akan dibuat payung hukumnya semisal Peraturan Menteri. Jika kebijakan ini
benar-benar berlaku secara nasional, betapa stresnya anak-anak yang terbiasa
bermain dengan kawan-kawannya sehabis pulang sekolah. Seringkali pejabat pusat
mengeneralkan kebijakan secara makro, tanpa melihat karakteristik dan budaya
kearifan lokal masing-masing daerah.
Menyikapi wacana tersebut,
berbagai kritikan muncul di media, Bukik Setiawan salah seorang fakar pendidikan
menyebutkan kebijakan ini membuat anak didik semakin stres, ukuran keberhasilan
murid bukan hanya pada catatan kertas akan tetapi sejauhmana internalisasi
nilai-nilai kebudayaan, keadaban harus senantiasa ditonjolkan. Lebih lanjut
Bukik dalam wawancara di televisi swasta pagi tadi (10/8) menyebutkan karakter
budaya berbeda secara nasional. Oleh karena itu kebijakan tersebut perlu dikaji
secara cermat dan teliti.
Ujub-ujub membangun karakter
bangsa malah menjadi bumerang. Penolakan pun terjadi meluas diseluruh
Indonesia. Para orang tua murid akan semakin gelisah. Masih segar dalam ingatan
kita seorang bocah di Aceh yang dipaksakan belajar secara maksimal oleh orang
tuanya akhirnya berujung pada stres, bahkan saat ini sang bocah cantik ini
dirawat di rumah sakit jiwa. Selaku orang tua murid saya menolak kebijakan
tersebut. Kebijakan ini adalah “kekonyolan” terstruktur negara.
Biarkan guru diberi otonom
dalam mengelola pendidikan. Indonesia begitu beragam budayanya, jangan melihat
prilaku dan tradisi jakarta lalu menyimpulkan solusinya seragam secara
nasional.
Penolakan yang sama juga
berasal dari Bupati Purwakerto, Dedi Mulyadi. Beliau mengatakan wacana
penerapan full day school yang digagas
oleh Menteri Kabinet Jilid II, adalah keliru. Jangan hanya lihat Jakarta. Lihat
Papua, Kalimantan, Sumatera, Aceh dan daerah lainya. Dedi Menilai, full day
school hanya cocok untuk anak perkotaan yang orang tuanya super sibuk dengan
berbagai pekerjaan. Kebijakan inipun efektif jika sarana dan prasarana
disekolah memadai.
Oleh karenanya, Kabupaten
Purwakarta tetap menggunakan konsep yang sudah ada. Dipedesaan yang warganya
rata-rata petani, maka sekolah di Purwakarta lebih singkat. Masuk pukul 6.00
Wib dan pulang Pukul.11 Wib. Sepulang sekolah mereka membantu orang tuanya
menjadi petani, menjadi nelayan, berternak domba, sapi dan sebagainya. Sekolah
harus menjawab kebutuhan publik. Indonesia masihn impor daging, sayur,
buah-buahan.
Harusnya dengan kekayaan alam yang ada sekolah harus mampu
menjawab itu.
Hanya sekolah berbasis
lingkungan yang bisa menjawab problem bangsa cetusnya disela-sela wawancara
pagi, Rabu 10 Agustus 2016 di salah satu stasion televisi swasta. Kalau
kebijakan ini berlaku secara general maka tidak dapat dibayangkan anak-anak
yang sekolah dipedalaman akan pulang larut malam, karena akses jalan dan
transportasi menuju sekolah sangat jauh dan sulit. Ingat sekolah itu bukan
hanya diruang kelas. Sesungguhnya seluruh ruang alam adalah sekolah.
*Penulis adalah Direktur Aceh Reserch Institute dan Mantan Relawan
Pendidikan untuk Aceh-Sumatera (INSEP-Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar