9 Agu 2016

Menyoal "Full day school"


Oleh : Muhammad Syarif, S.HI.M.H

Ada tradisi di Indonesia, setiap berganti kepemimpinan maka bergantilah sistem yang ada. Baru  dua pekan menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,Muhadjir Effendy menggagas konsep pendidikan full day school yang diperuntukkan bagi SD dan SMP baik negeri maupun swasta. Ide ini muncul dengan melihat potret kesibukan orang tua dijakarta yang tidak sempat mengurus anak, lalu sang menteri membuat jurus”Full day school” bagi siswa SD dan SMP untuk mangkal di Sekolah hingga pukul 18.00 Wib, agar anak tidak berkeliaran diluar disaar orang tua tidak ada dirumah.


Dengan sistem full day school, secara perlahan anak didik akan terbagun karakternya dan tidak menjadi liar diluar sekolah ketika orang tua mereka masih belum pulang dari kerja, ungkap Mendikbud di Universitas Muhammadiyah Malang(7/8/2016). Lebih lanjut sang menteri yang juga mantan Rektor Universitas Muhamadiyah ini menuturkan pada media, kalau anak tetap berada disekolah, mereka akan menyelesaikan tugas-tugas sekolah sampai dijemput orangtuanya seusai jam kerja. Berbagai upaya sosialisasi atas wacana ini terus dimainkan oleh sang menteri baru ini, guna meloloskan mimpinya dan mendapat restu presiden dan wakil presiden sebagai atasannya.

Bahkan Muhadjir Effendi sangat yakin kebijakan ini dalam rangka membangun karakter bangsa, nantinya akan dibuat payung hukumnya semisal Peraturan Menteri. Jika kebijakan ini benar-benar berlaku secara nasional, betapa stresnya anak-anak yang terbiasa bermain dengan kawan-kawannya sehabis pulang sekolah. Seringkali pejabat pusat mengeneralkan kebijakan secara makro, tanpa melihat karakteristik dan budaya kearifan lokal masing-masing daerah.

Menyikapi wacana tersebut, berbagai kritikan muncul di media, Bukik Setiawan salah seorang fakar pendidikan menyebutkan kebijakan ini membuat anak didik semakin stres, ukuran keberhasilan murid bukan hanya pada catatan kertas akan tetapi sejauhmana internalisasi nilai-nilai kebudayaan, keadaban harus senantiasa ditonjolkan. Lebih lanjut Bukik dalam wawancara di televisi swasta pagi tadi (10/8) menyebutkan karakter budaya berbeda secara nasional. Oleh karena itu kebijakan tersebut perlu dikaji secara cermat dan teliti.

Ujub-ujub membangun karakter bangsa malah menjadi bumerang. Penolakan pun terjadi meluas diseluruh Indonesia. Para orang tua murid akan semakin gelisah. Masih segar dalam ingatan kita seorang bocah di Aceh yang dipaksakan belajar secara maksimal oleh orang tuanya akhirnya berujung pada stres, bahkan saat ini sang bocah cantik ini dirawat di rumah sakit jiwa. Selaku orang tua murid saya menolak kebijakan tersebut. Kebijakan ini adalah “kekonyolan” terstruktur negara.

Biarkan guru diberi otonom dalam mengelola pendidikan. Indonesia begitu beragam budayanya, jangan melihat prilaku dan tradisi jakarta lalu menyimpulkan solusinya seragam secara nasional.
Penolakan yang sama juga berasal dari Bupati Purwakerto, Dedi Mulyadi. Beliau mengatakan wacana penerapan full day school yang digagas oleh Menteri Kabinet Jilid II, adalah keliru. Jangan hanya lihat Jakarta. Lihat Papua, Kalimantan, Sumatera, Aceh dan daerah lainya. Dedi Menilai, full day school hanya cocok untuk anak perkotaan yang orang tuanya super sibuk dengan berbagai pekerjaan. Kebijakan inipun efektif jika sarana dan prasarana disekolah memadai.

Oleh karenanya, Kabupaten Purwakarta tetap menggunakan konsep yang sudah ada. Dipedesaan yang warganya rata-rata petani, maka sekolah di Purwakarta lebih singkat. Masuk pukul 6.00 Wib dan pulang Pukul.11 Wib. Sepulang sekolah mereka membantu orang tuanya menjadi petani, menjadi nelayan, berternak domba, sapi dan sebagainya. Sekolah harus menjawab kebutuhan publik. Indonesia masihn impor daging, sayur, buah-buahan.

Harusnya dengan kekayaan alam yang ada sekolah harus mampu menjawab itu.
Hanya sekolah berbasis lingkungan yang bisa menjawab problem bangsa cetusnya disela-sela wawancara pagi, Rabu 10 Agustus 2016 di salah satu stasion televisi swasta. Kalau kebijakan ini berlaku secara general maka tidak dapat dibayangkan anak-anak yang sekolah dipedalaman akan pulang larut malam, karena akses jalan dan transportasi menuju sekolah sangat jauh dan sulit. Ingat sekolah itu bukan hanya diruang kelas. Sesungguhnya seluruh ruang alam adalah sekolah.

*Penulis adalah Direktur Aceh Reserch Institute dan Mantan Relawan Pendidikan untuk Aceh-Sumatera (INSEP-Jakarta)




Tidak ada komentar: