Propinsi
Aceh selalu menjadi model. Ungkapan itu rasa-rasanya tidak berlebihan, masih
segar dalam ingatan kita Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional)
konon katanya lahir dari Aceh. Dimana pada waktu itu Aceh berhasil membidani
institusi Badan Perencanaan Pembangunan Aceh yang saat ini dikenal dengan
Bappeda. Ide itu kemudian diambil alih oleh nasional dengan membentuk Bappenas.
Aceh juga
banyak melahirkan ide-ide cerdas seputar kelembagaan organisasi pemerintah.
Majelis Ulama Indonesia, konon katanya juga berawal dari rahim Aceh yaitu
Majelis Ulama Aceh yang kini menjadi Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU). Bukan
hanya itu lembaga Zakatpun lahir dari Aceh yang kini bernama Baitalmal Aceh,
tentu banyak ide besar muncul dari Aceh.
Ya, Aceh
selalu terdepan dalam melahirkan ide-ide cemerlang. Calon Idependen dalam
tataran demokrasi juga berawal dari Aceh dan pada waktu itu mengantarkan Tgk.
Agam (Irwandi-Nazar) menjadi pimpinan, walau kemudia ide itu diadobsi oleh
nasional. Partai Politik Lokal (Parlok) menjadi warna baru dalam kancah
demokrasi nasional, inilah produk satu-satunya yang masih menjadi cirikhas aceh
dalam pesta demokrasi.
Dalam
konteks ekonomi, Aceh melakukan dobrakan dua pintu sistem perbankan yaitu Bank
Syari`ah dan Bank Konvensional, walaupun ide itu kemudian lagi-lagi diadobsi
oleh nasional dengan lahirnya Bank Muamalah pada Tahun 1992, yang kala itu
Majelis Ulama Indonesia sebagai bidannya.
Akan tetapi
satu yang menarik, Aceh selalu ketinggalan dari daerah lain dalam kemajuan
selanjutnya. Walau ide awal itu muncul dari tanah serambi mekkah, akan tetapi
justru dalam ruang pergerakannya, aceh sering kali ngos-ngosan dalam
menerjemahkan dan menjalankan ide itu dalam alam realitas kehidupan berbangsa
dan bernegara. Pertanyaannya kenapa itu bisa terjadi? Jawabannya saya kira ada
pada benak kita masing-masing.
Dalam
konteks demokrasi, justru Partai Lokal (parlok) sepertinya sudah menurun
elektabilitasnya dibandingkan dengan Partai Nasional (parnas), tidak tertutup
kemungkinan suatu saat parlok akan kehilangan konstituen. Dalam tataran
penerapan syariat Islampun, Aceh kehilangan substansi dan esensinya. Buktinya
beberapa even dakwah didominasi oleh luar Aceh sebut saja kejuaran MTQ
Nasional, Aceh selalu berada pada angka buncit. Dalam konteks tata kelola
pemerintah Aceh juga mengalami nasib yang sama. Aceh masih diuntungkan dengan
terobosan Kota penyanggah yaitu Kota Banda Aceh yang senantiasa mengharumkan
nama Aceh dikancah nasional. Ya setidaknya Banda Aceh bisa menjadi anak bidak
yang mampu mewarnai nasional. Tapi secara universal Aceh selalu ketinggalan.
Bahkan yang
memalukan Aceh berda pada peringkat kedua korupsi berdasarkan realise Forum
Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Tahun 2012. Dimana Juara Nomber
Wahidnya diraih DKI Jakarta (baca: http://aceh.tribunnews.com/2012/10/01/aceh-peringkat-dua-terkorup-di-indonesia).
Tentu banyak
dalil dapat disangkakan oleh pemangku kepentingan, baik rasional ataupun irrrasional. Umumnya mengambil jurus selamat” Aceh baru selesai dari konflik
berkepanjangan”. Ya inilah alasan pembenaran atas lebeling negatif terhadap
Aceh.
Dalam
konteks kesungguhan dan cita-cita yang luhur, Gubernur Aceh melakukan
islamisasi kaffah dunia perbankan milik Pemerintah Aceh. Bank Aceh resmi
menjadi Bank Aceh Syari`ah. Wacana dan ide itu sudah sejak lama bergelinding
dan baru di ulang tahun ke-43 Bank Aceh, Gubernur Zaini Abdullah melakukan
deklarasi universal, Bank Aceh Syari`ah, Sabtu, 6 Agustus 2016.
Setidaknya
nawaitu kearah mengurangi praktek ribawi dalam bidang perbankan di Aceh, npatut diacungkan jempol. Pemerintah Aceh sudah melaunching Bank Aceh Syari`ah. Soal praktek dilapangan mari kita kawal
dengan baik. Berbagai Apresiasi muncul atas gebrakan itu, kaum cendikiawan, intelektual
kampus, praktisi, politisis dan masyarakat berharap agar Bank Aceh Syari`ah
benar-benar syari`ah dan tidak meulanggeh.
Sejatinya Perubahan nomenklatur Bank Aceh menjadi Bank Aceh Syari`ah harus
benar-benar membawa perubahan iklim perekonomian di Aceh. Manajemen Bank harus
dirobah secara gradual. Sistem Akuntansinya juga harus benar-benar Syari`ah
termasuk pelayanan perbankan dan budaya kerja Bank Aceh Syari`ah kedepan.
Maaf, kalau
diibaratkan dulu karyawan Bank Aceh dulunya “ibarat anak manja”, kurang responsif.
Pelayanan kurang baik bahkan terkadang menyulitkan nasabah. Tentu wajah baru
harus ditampilkan, sehingga masyarakat Aceh baik muslim maupun non muslim
tambah yakin dengan konsep ekonomi Islam. Kalau manajemen perbankan masih gaya
lama, maka lauching Bank Aceh Syari`ah dipahami hanya sebatas kamuplase dan
pencitraan politik menjelang Pemilukada 2017. Semoga saja dugaan itu tidak
terbukti. Mari kita kawal Bank Aceh Syari`ah benar-benar syari`ah dan tidak meulanggeuh.
*Penulis
adalah Sekretaris Umum Alumni Hukum Ekonomi Syari`ah (HES) UIN Ar-Raniry dan
Direktur Aceh Research Institute.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar