Oleh: Muhammad Syarif, S.HI.M.H*
Rumah Sakit sebagai salah satu institusi yang memiliki fungsi
pelayanan kesehatan masyarakat, memiliki peran strategis dalam upaya percepatan
kualitas derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Berbagai upaya terus dilakukan
oleh Pemerintah guna pembenahan manajemen perumahsakitan di Indonesia. Lahirnya
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, salah satu bukti
komitmen Negara untuk membenahi Pelayan Rumah Sakit Umum Daerah.
Undang-Undang tersebut memberikan rambu-rambu antara lain;
Tanggungjawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah terhadap Optimalisasi Pelayanan
Kesehatan bagi masyarakat, Tanggung jawab aspek pembiayaan Rumah Sakit Daerah,
Pengeloaan Keuangan secara mandiri atau lebih dikenal dengan PPK-BLUD.
Tentunya semangat Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009, sejatinya
dipahami secara seksama dan mendalam oleh para pengelola Rumah Sakit, baik
medis, maupun non medis. Hubungan harmonis antara medis dan non medis merupakan
ruh dalam menjalankan roda organisasi pada Rumah Sakit baik Rumah Sakit Daerah (RSUD) maupun Rumah Sakit Swasta. Kelembagaan RSUD sesuai PP No.41 Tahun 2007
tentang Perangkat Daerah yang sebelumnya RSUD adalah Lembaga Teknis Daerah, menjadi Unit Pelaksana Teknis Dinas (baca PP No.18 Tahun 2016). Aturan tersebut secara
operasional teknis di terjemahkan oleh Peraturan Daerah (Perda), atau nama lain
(Aceh dikenal dengan Qanun).
Keberlakuan PP No.41 Tahun 2007, kurang lebih 9 Tahun ini,
akhirnya dimensonkan dengan lahirnya Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016.
Tentunya Pasca diundangkannya Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 2016 tentang
Perangkat Daerah, menjadikan Rumah Sakit Daerah secara kelembagaan berubah
secara signifikan. Banyak Perubahan Fundamental terjadi diantaranya menyangkut
syarat Jabatan Direktur Rumah Sakit secara tegas disebutkan :”untuk menjadi
Direktur Rumah Sakit adalah dokter dan dokter gigi”. Tentunya klausul materi
ini bukan tanpa alasan, ada sarat makna filosofis yang hanya dipahami oleh Tim
Perumus regulasi ini. Kenapa harus dokter dan dokter gigi?, sekali lagi hanya
tim perumus yang memahami makna mendalam dibalik materi ini.
Bagi kita selaku warga Indonesia yang baik, harus taat asas. Ya inilah
konsekwensi sebuah aturan. Kalau ada yang kurang setuju maka mekanisme
perlawanannya harus sesuai konstitusi. Tidak boleh gamang apa lagi bereaksi
berlebihan, takut hilang jabatan yang berujung tidak semangat dalam bekerja. Bukankah
dokter disumpah sebagai profesi yang sangat mulia, guna memberikan pelayanan
kesehatan bagi masyarakat. Ingat sumpah dokter.
Perubahan lainnya adalah Rumah Sakit bukan lagi menjadi
Perangkat Daerah, akan tetapi Subbordinat
dari Dinas Kesehatan, atau Istilah kelembagaan Perangkat Daerah sering
dikenal dengan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD). Klausul ini dapat ditelisuri pada Pasal 43 PP No.18 Tahun 2016.
Secara terang benderang disebutkan; “UPTD pada Dinas Kesehatan secara permanen
adalah Rumah Sakit dan Puskesmas”.
Konsekswensi dari penerapan aturan ini, pembinaan teknis dan
operasional Rumah Sakit Umum Daerah dilakukan oleh Dinas Kesehatan. Disamping
itu pula pertanggungjawaban kinerja Rumah Sakit Umum Daerah yang sebelumnya
disampaikan kepada Kepala Daerah melalui Sekda, juga terjadi perubahan
signifikan. Bentuk pertanggungjawaban pelaporan kinerja Rumah Sakit Umum Daerah
kedepan langsung disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan. Itu artinya Kepala
Dinas Kesehatan secara hirarki birokrasi lebih tinggi kedudukannya menurut PP
No.18 Tahun 2016.
Pertanyaan kemudian yang muncul, bagaimana dengan status saat
ini, jika Direktur Rumah Sakit Umum Daerah menjabat Eselon II alias selevel
dengan Kepala Dinas, tentu secara konstitusi harus dijawab bahwa suka tidak
suka, harus mengikuti aturan yang ada. PP Ini juga memberikan sinyal kuat
kedepan Rumah Sakit Umum Daerah tidak lagi mengakomudir terlalu lebar jabatan
struktural. Kalaupun ada jabatan struktural porsinya tidak mungkin lebih besar
dari jabatan Kepala Dinas Kesehatan. Walau ada celah ruang perdebatan semantik
dan teknis operasional terkait efektifitas penerapan PP No.18 Tahun 2016. Setidaknya
seluruh pejabat yang menggawangi Rumah Sakit Umum Daerah saat ini, dituntut
harus taat konstitusi dan legowo dengan penerapan aturan ini.
Sebagai informasi aturan ini harus disikapi oleh Kepala Daerah
(Gubernur/Bupati/Walikota) paling cepat dua bulan dan paling lambat enam bulan
pasca diundangkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Itu artinya
paling cepat 19 Agustus 2016 atau paling lambat Januari 2017 aturan ini sudah
berlaku efektif. Wallahu `alam binshawab.
*Penulis
adalah Direktur Aceh Research Institute dan Konsultan PPK-BLUD RSUD Wilayah
Kerja Aceh dan Sumatera Utara serta penulis Buku Reformasi Birokrasi dari Banda
Aceh menuju Indonesia.
1 komentar:
Mantap bang, pencerahan yang menarik.
Posting Komentar