24 Jul 2016

Reposisi Manajemen Rumah Sakit Daerah

Oleh: Muhammad Syarif, S.HI.M.H*

Rumah Sakit sebagai salah satu institusi yang memiliki fungsi pelayanan kesehatan masyarakat, memiliki peran strategis dalam upaya percepatan kualitas derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Berbagai upaya terus dilakukan oleh Pemerintah guna pembenahan manajemen perumahsakitan di Indonesia. Lahirnya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, salah satu bukti komitmen Negara untuk membenahi Pelayan Rumah Sakit Umum Daerah.
Undang-Undang tersebut memberikan rambu-rambu antara lain; Tanggungjawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah terhadap Optimalisasi Pelayanan Kesehatan bagi masyarakat, Tanggung jawab aspek pembiayaan Rumah Sakit Daerah, Pengeloaan Keuangan secara mandiri atau lebih dikenal dengan PPK-BLUD.

Tentunya semangat Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009, sejatinya dipahami secara seksama dan mendalam oleh para pengelola Rumah Sakit, baik medis, maupun non medis. Hubungan harmonis antara medis dan non medis merupakan ruh dalam menjalankan roda organisasi pada Rumah Sakit baik Rumah Sakit Daerah (RSUD) maupun Rumah Sakit Swasta. Kelembagaan RSUD sesuai PP No.41 Tahun 2007 tentang Perangkat Daerah yang sebelumnya RSUD adalah Lembaga Teknis Daerah, menjadi Unit Pelaksana Teknis Dinas (baca PP No.18 Tahun 2016). Aturan tersebut secara operasional teknis di terjemahkan oleh Peraturan Daerah (Perda), atau nama lain (Aceh dikenal dengan Qanun).
Keberlakuan PP No.41 Tahun 2007, kurang lebih 9 Tahun ini, akhirnya dimensonkan dengan lahirnya Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016. Tentunya Pasca diundangkannya Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, menjadikan Rumah Sakit Daerah secara kelembagaan berubah secara signifikan. Banyak Perubahan Fundamental terjadi diantaranya menyangkut syarat Jabatan Direktur Rumah Sakit secara tegas disebutkan :”untuk menjadi Direktur Rumah Sakit adalah dokter dan dokter gigi”. Tentunya klausul materi ini bukan tanpa alasan, ada sarat makna filosofis yang hanya dipahami oleh Tim Perumus regulasi ini. Kenapa harus dokter dan dokter gigi?, sekali lagi hanya tim perumus yang memahami makna mendalam dibalik materi ini.
Bagi kita selaku warga Indonesia yang baik, harus taat asas. Ya inilah konsekwensi sebuah aturan. Kalau ada yang kurang setuju maka mekanisme perlawanannya harus sesuai konstitusi. Tidak boleh gamang apa lagi bereaksi berlebihan, takut hilang jabatan yang berujung tidak semangat dalam bekerja. Bukankah dokter disumpah sebagai profesi yang sangat mulia, guna memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Ingat sumpah dokter.
Perubahan lainnya adalah Rumah Sakit bukan lagi menjadi Perangkat Daerah, akan tetapi Subbordinat dari Dinas Kesehatan, atau Istilah kelembagaan Perangkat Daerah sering dikenal dengan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD). Klausul ini dapat  ditelisuri pada Pasal 43 PP No.18 Tahun 2016. Secara terang benderang disebutkan; “UPTD pada Dinas Kesehatan secara permanen adalah Rumah Sakit dan Puskesmas”.
Konsekswensi dari penerapan aturan ini, pembinaan teknis dan operasional Rumah Sakit Umum Daerah dilakukan oleh Dinas Kesehatan. Disamping itu pula pertanggungjawaban kinerja Rumah Sakit Umum Daerah yang sebelumnya disampaikan kepada Kepala Daerah melalui Sekda, juga terjadi perubahan signifikan. Bentuk pertanggungjawaban pelaporan kinerja Rumah Sakit Umum Daerah kedepan langsung disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan. Itu artinya Kepala Dinas Kesehatan secara hirarki birokrasi lebih tinggi kedudukannya menurut PP No.18 Tahun 2016.
Pertanyaan kemudian yang muncul, bagaimana dengan status saat ini, jika Direktur Rumah Sakit Umum Daerah menjabat Eselon II alias selevel dengan Kepala Dinas, tentu secara konstitusi harus dijawab bahwa suka tidak suka, harus mengikuti aturan yang ada. PP Ini juga memberikan sinyal kuat kedepan Rumah Sakit Umum Daerah tidak lagi mengakomudir terlalu lebar jabatan struktural. Kalaupun ada jabatan struktural porsinya tidak mungkin lebih besar dari jabatan Kepala Dinas Kesehatan. Walau ada celah ruang perdebatan semantik dan teknis operasional terkait efektifitas penerapan PP No.18 Tahun 2016. Setidaknya seluruh pejabat yang menggawangi Rumah Sakit Umum Daerah saat ini, dituntut harus taat konstitusi dan legowo dengan penerapan aturan ini.
Sebagai informasi aturan ini harus disikapi oleh Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) paling cepat dua bulan dan paling lambat enam bulan pasca diundangkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Itu artinya paling cepat 19 Agustus 2016 atau paling lambat Januari 2017 aturan ini sudah berlaku efektif. Wallahu `alam binshawab.

*Penulis adalah Direktur Aceh Research Institute dan Konsultan PPK-BLUD RSUD Wilayah Kerja Aceh dan Sumatera Utara serta penulis Buku Reformasi Birokrasi dari Banda Aceh menuju Indonesia.

1 komentar:

Hukumplus mengatakan...

Mantap bang, pencerahan yang menarik.