Oleh:Muhammad Syarif, S.HI.M.H*
Politik
itu tidak ada yang gratis, demikian bincang-bincang ringan dengan salah satu
kolega yang juga seorang politisi muda. Kami sudah berkenalan cukup lama sejak
Tahun 2008. Anak muda yang satu ini cukup lincah dalam memainkan gendang
politiknya. Terkadang saya melihat jurus-jurus jitunya menuai berkah politik
dan jarang meleset. Rekam jejaknya teruji. Tulisan ini mencoba mengurai sebuah
pikiran lepasnya saat kami bercengkrama, temu kangen.
Panggung
Politik harus kuat “kalkulasi” dan “beking”, cetusnya membuat saya tercengang. Politik
tidak bisa mengandalkan hegemoni jaringan, akan tetapi juga harus cukup banyak
modal (dalam arti luas). Intelektual, Integritas seringkali kalah dengan
pemilik modal. Sang pemilik modal memiliki cengkraman yang lebih kokoh dalam
pusaran demokrasi di Indonesia.
Dalam
tataran Parpol, Ketua Parpol adalah pemilik modal sejati. Ini tidak bisa
dipungkiri, jika melawan arus maka akan terseret ombak bahkan hanyut tenggelam.
Derasnya ombak tak bisa dilawan. Ada yang bilang soal gaya wajib mengikuti
arus, tapi soal selain gaya sesuai keyakinan, jika anda pingin nyaman dengan
lakon pewayangan.
Indonesia
sebagai bangsa yang besar, telah bersepakat bahwa sistem pemerintahan yang
dianut adalah presidensial. Sistem
ini sesungguhnya memberikan kemandirian kepada Presiden dalam menempatkan
pembantunya (baca para kabinetnya) sesuai kompetensi dan keyakinannya guna
menerjemahkan visi-misnya 5 Tahun kedepan. Akan tetapi dalam kenyataannya,
seringkali sistem ini diplesetkan menjadi presiden seringkali sial dan
tersandra dengan kepentingan politik partai pengusung.
Lantas,
apakah dimungkinkan dunia persilatan pesta demokrasi baik level nasional maupun
daerah (Pilpres, Pileg, Pilkada) mampu menghilangkan politik tanpa syarat. Rasa-rasanya
tidak mungkin terjadi. Faktanya dilapangan politik selalu berlapiskan mahar,
dengan wujud yang berbeda. Ada yang prakmatis bahkan ada juga yang romantis. Sesungguhnya
walau beda wujud, tapi ruhnya tetap sama.
Saya
mencoba melakukan pemaknaan “Mahar prakmatis” biasanya langsung mematok harga,
jika naik lewat kendaraan parpol, maka bayarannya sekian. Transaksinya jelas
dan terang benderang diawal, walau nantinya diperhalus inikan cost politik, dan
wajar. Ya, biaya buat pemenangan serta rincian tetek bengek, termasuk akomodasi
politik. Sementara yang “romantis”, sangcalon yang dipinang semua amunisi dan
akomudasi ditanggung jurangan. Akan tetapi saat sang jagoan menang maka, sang
juragan meminta jatah politik dalam berbagai bentuk, baik dalam bentuk proyek
pembangunan maupun jatah jabatan strategis dipegah oleh orang kepercayaannya.
Inilah
lakon yang saya sebut; “politik tanpa syarat sepertinya hanyalah jargon dan
pemanis bumbu politik”. Kalau kita menyelami sesungguhnya kiblat politik negeri
kita sesungguhnya minatur dari transaksional politik. Coba kita jujur pada hati
nurani. Anda boleh berbeza dalam konteks ini. Tapi saya mengambil konklusi
sementara demikian. Sekali lagi jika berbeza ya itu hal yang biasa.
Transaksional politik sesungguhnya kesepakatan politik yang dibuat oleh partai
pengusung dengan para calon yang akan dijagokan. Wujudnya ada yang mengikat
hitam dan putih. Ada juga yang longgar alias lisan.
Ada
kecendrungan trend politik saat ini,
sudah menjurus pada jebakan-jebakan batman, jika tidak hati-hati maka
kemungkinan para “calon” (Presiden, Gubernur, Walikota, Bupati, Anggota
Legislatif) yang dijagokan dan terpilih akan tersandra dengan syarat politik,
bahkan berpotensi dihujat, jika transaksi politi tidak sanggup dipenuhi. Bukan
hanya itu, pembusukan karakterpun akan dimainkan diberbagai media, jika sang
pemenang meulanggeh. Jika ini terjadi
maka tidak tertutup kemungkinan bila memang akan pusing dalam menyetor upeti
dalam berbagai bentuk.
Dalam
Konteks nasional, menyikapi perombakan kabiner Jilid II, era Jokowi, sangat
terasa aroma transaksional dan akomudasi politik mewarnai kabinet nawacita. Beberapa
Menteri di nonjobkan dan diganti dengan orang lain. Bahkan ada menteri yang
tidak ada progres cendrung dipertahankan. Masukknya Partai Golkar dan PAN dalam
kabinet Jokowi, membawa berkah tersendiri. Ya, walau masuk belakangan akhirnya
kebagian “kue pembangunan”. Inilah potret negeri sejuta pesona. Walau
perombakan kabinet hak perogratif Persiden, akan tetapi publik menilai ada aroma
lain dibalik bongkar pasang kabinet Jilid II. Ada kemungkinan masuknya politisi Golkar pada kabinet kali ini, ada barter politik antara Golkar dengan Jokowi dalam ikhtiar politik 2019. Aroma ini tercium bahkan warna politik Golkar saat ini dibawah Setya Novanto semakin lengket dengan Jokowi, begitupun sebaliknya. Akankah Jokowi sedang menabur benih politik bersama Golkar, karena PDIP yang saat ini cendrung tidak bersahabat lagi. Semua bisa terjadi. Politik tidak ada teman sejati, yang ada kepentingan abadi. Lantas masih percayakah kita pada
jargon politik tanpa syarat..?. saatnya jargon itu dibalek saatnya politk
bersyarat. Semoga saja memasuki Tahun politik serempak bansingoem Aceh, Politik
bersyarat bisa dikurangi dosisnya.
*Penulis
adalah Direktur Aceh Research Institute dan Penulis Buku Reformasi Birokrasi
dari Banda Aceh menuju Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar