Oleh : Muhammad Syarif,S.HI.,M.H*
Lahirnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18
Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, mengharuskan Pemerintah Daerah melakukan
Restrukturusasi Kelembagaan Perangkat Daerah pada semua level. Regulasi ini
secara legal formil di undangkan pada Lembaran Negara Republik Inodonesia pada
tanggal 19 Juni 2016. Itu artinya keberlakuannya sudah dianggap dimengerti oleh
Penyelenggara Negara termasuk didalamnya seluruh Warga Negara Indonesia.
Persoalan yang muncul kemudian, apakah aturan ini berlaku
secara efektif atau tidak? Lalu apakah ada perbedaan yang cukup siknifikan
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat
Daerah, yang selama ini menjadi Mazhab tunggal Penataan Kelembagaan Perangkat
Daerah di Indonesia, termasuk di dalamnya Aceh.
PP Nomor 18 Tahun 2016 ini sesungguhnya lahir dari
semangat Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Secara
Politik Hukum kerangka pijakan utamanya adalah Undang-Undang Pemerintahan
Daerah. Naluri Politik Hukum Perangkat Daerah terus bergerak dan berevolusi
sesuai keadaan zaman dan kekinian. Barangkali tim perumus yang terlibat dalam
mengkocok ulang Perangkat Daerah, menangkat sinyal, keberadaan perangkat daerah
sesuai PP No.41 Tahun 2007 belum membawa pengaruh yang siknifikan dalam
Optimalisasi Pelayanan Publik. Sehingga prinsip tepat fungsi dan tepat ukuran (rightsizing) berdasarkan beban kerja
yang sesuai dengan kondisi nyata dimasing-masing daerah belum ditemukan,
sehingga mengharuskan pemerintah Pusat melakukan pemetaan ulang dan penentuan
indikator yang rigid baik variable Umum maupun teknis.
Kalau kita cermati secara seksama, pasca lahirnya PP No.18
Tahun 2016, ada beberapa prinsip yang fundamental terkait keberlakuan aturan
ini, antara lain:
Pertama: Dasar Pengelompokan Organisasi Perangkat Daerah
didasari pada konsepsi pembentukan organisasi yang terdiri atas 5 elemen yaitu:
Kepala Daerah (strategig apex),
Sekretaris Daerah (middle line), Dinas
Daerah (Operating Core), Badan/Fungsi
Penunjang (technostructure) dan Staf
Pendukung (Supporting Staff).
Kedua: Dasar Utama Pembentukan Perangkat Daerah yaitu adanya
urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah yang terdiri atas urusan
Pemerintah Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan. Dimana urusan Pemerintahan
wajib dibagi atas urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan
urusan pemerintahan yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar.
Ketiga: Pembentukan Perangkat Daerah mempertimbangkan faktor
luas wilayah, jumlah penduduk, kemampuan keuangan daerah serta besaran beban
tugas sesuai dengan urusan yang diserahkan kepada daerah sebagai mandat yang
wajib dilaksanakan oleh setiap daerah melalui perangkat Daerah.
Keempat; Adanya pengelompokan Tipologi Perangkat Daerah menjadi
tiga katagori yaitu tipe A (beban kerja besar), Tipe B (beban kerja sedang),
dan Tipe C (beban kerja kecil) ini berlaku pada Sekretariat Daerah, Sekretariat
DPRD, Dinas dan Badan sementara Kecamatan dibagi menjadi dua tipologi yaitu
Tipe A dan Tipe B. Konsekwensi dari
Tipologi ini adalah jumlah Jabatan eselonoring dan besaran Eseloring yang
berefek pada tunjangan kinerja kedepan.
Kelima: Penentuan Tipologi tersebut dilihat dari dua aspek
variabel yaitu variabel umum dan variabel teknis. Adapun aspek variabel umum yang
terdiri dari jumlah penduduk, luas wilayah dan jumlah anggaran pendapatan
belanja daerah. Sementara kriteria variabel teknis diatur dengan indikator dan
bobot nilai yang rigid pada tiap-tiap urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah provinsi dan kabupaten/kota. Masing-masing variabel di beri
bobot nilai maksimal. Untuk variable umum nilai maksimal sebesar 20 % sementara
variabel teknis nilai maksimalnya 80 %.
Keenam: Adanya keharusan Kepala Daerah untuk memperhatikan 3
syarat utama dalam pengangkatan dalam jabatan struktural disemua level baik
jabatan Pimpinan Tinggi (Eselon I dan II), jabatan Administrator (Eselon III)
dan jabatan Pengawas (eselon IV) wajib memenuhi Persyaratan Kompetensi Teknis,
Manajerial dan Sosial Kultural. Kompetensi teknis diukur dari tingkat
pendidikan dan spesialisasi pendidikan, pelatihan teknis fungsional dan
pengalaman kerja secara teknis. Sementara Kompetensi manajerial diukur dari
tingkat pendidikan, pelatihan struktural dan pengalaman kepemimpinan. Sedangkan
Kompetensi Sosial Kultural diukur dengan pengalaman kerja yang berkaitan dengan
masyarakat majemuk dalam hal agama, suku, budaya sehingga memilik wawasan
kebangsaan yang luas.
Ketujuh: Adanya pengurangan Jabatan Staf Ahli Kepala Daerah
disebuah tingkatannya, dimana sebelumnya maksimal 5 dikurangi menjadi 3. Ini
dilakukan dalam rangka efisiensi Jabatan, disamping itu juga keberadaan Staf
Ahli Kepala Daerah harus benar-benar orang yang kompenten dibidangnya, bukan
sekedar menampung jabatan atawa perpindahan dari Kepala Dinas yang tidak
produktif dijadikan sebagai Staf Ahli.
Kedelapan: Adanya Keinginan sinergisitas antara Kementrian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi dengan Kementrian Dalam Negeri dalam melakukan
sinergisitas peran dan fungsi dalam mengawal penerapan aturan ini. Ini terlihat
dimana penentuan tipe kelembagaan dibentuk Tim Teknis Lintas Kementrian.
Kesembilan: Adanya keinginan pusat membangun sistem aplikasi
kontroling kelembagaan perangkat daerah, sehingga memudahkan dalam rangka
evaluasi kelembagaan perangkat Daerah kedepan.
Tentunya rambu-rambu Perangkat Daerah yang baru saja
diberlakukan ini di uji apakah akan berlaku efektif atau hanya sebuah aturan
yang mati. Hanya waktu yang membuktikannya. Setidaknya aturan ini sudah
mengatur secara terang benderang kaedah dan rambu-rambu dalam menata kelemgaan
perangkat daerah, termasuk didalamnya menempatkan pejabat sesuai kompetensi
yang tepat.
Peraturan Pemerintah ini juga mengatur limitatif pelaksanaannya paling cepat 2 (dua bulan) dan paling lambat 6 (enam bulan) pasca diundangkan. Itu artinya penerapan
aturan ini paling cepat bulan Agustus
2016 dan paling lambat Januari 2017
sudah berlaku secara efektif. Akankan daya ungkit aturan ini efektif, sekali
lagi itu haya terjawab jika ada sanksi tegas bagi Kepala Daerah yang tidak
konsisten dalam menerapkannya. Wallahu `alam binshawab.
*Penulis adalah Direktur Aceh Research
Institute dan Praktisi Pemerintahan Daerah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar