Oleh:
Muhamamd Syarif, S.HI.M.H*
Ilustrasi Sosok Kartini dalam Wujud lain |
Wahai
ibu kita kartini, putri sejati, putri Indonesia harum namanya. Inilah penggalan
lagu yang diajarkan pada saat saya mengenyam pendidikan Sekolah Dasar di Meukek Aceh, Selatan, 24 Tahun yang lalu. Saat itu memang belum
ada terpikirkan ingin menggungat; benarkan Ibu Kartini itu, Putri sejati yang
pada akhirnya Negara Indonesia member gelar Pahlawan Nasional. Lalu bagaimana
dengan Cut Nyak Dien, Cut Mutia, Laksamana Malahayati dan putri-putri yang
lainnya. Adakah penambalan gelar pahlawan bagi Kartini sarat dengan muatan
politis kenegaraan..? ini perlu kajian yang dalam bagi penggiat sejarawan.
Raden
Ajeng Kartini (RA) Kartini, lahir pada tanggal 21 April 1879 di Kota Jepara
berasal dari keluarga Bangsawan. Ayahnya bernama RM. Sosroninggrat, putra dari
pangeran Ario Tjondronegoro IV, seorang bangsawan yang menjabat sebagai bupati
jepara. Beliau ini merupakan kakek dari RA Kartini. Ayah RA Kartini merupakan
orang yang terpandang sebab menjabat sebagai kepala Daerah dikala itu.
Ibunya
bernama MA. Ngasirah, anak seorang Kiyai (guru) agama di Telukawur, Kota
Jepara. Ada yang bilang Kartini merupakan keturunan Sri Sultan Hamangkubuwono
VI, ada juga yang mengatakan bahwa garis keturunan Ayahnya berasal dari
Kerajaan Majapahit.
Tentu
garis nasab tidak menjadi menarik untuk dikupas dalam tulisan ini. Yang menjadi
soal adalah apa sesungguhnya peran dan kontribusi RA Kartini bagi Negara dan
Bangsa Indonesia. Sehingga setiap 21 April dijadikan sebagai hari Kartini.
Berdasarkan
bacaan yang saya peroleh RA Kartini, lebih banyak melakukan gerakan
korespodensi atau surat menyurat dengan temannya yang berada di Belanda. Beliau
juga lebih banyak menulis tentang Emansipasi Wanita, Persahabatan, gender dan
tema-tema sosial tentang perjuangan akan marwah wanita. Gerakan yang dilakukan
justru lewat tulisan di berbagai media di Eropa. Kemampuan Bahasa Asingnya yang
mempuni terutama bahasa Belanda, membuatnya dikenal secara meluas. Ketajaman
Pikirannya dan produktifitas menulis membuat Negara tertarik dan simpati kepada
RA Kartini.
Disinilah beda RA Kartini dengan Cut Nyak Dien,Cut
Mutia dan Laksamana Malahayati. Kemampuannya menguasai Bahasa Asing dan gerakan
menulisnya di berbagai media internasional ternyata jauh lebih dahsyat dalam
mengangkat nama RA Kartini. Gerakan Dakwah RA Kartini, konsisten lewat jalur
penanya. Sehingga namanya melambung tinggi.
Ada
keinginan besar dari RA Kartini agar wanita Indonesia menuntut ilmu
setinggi-tingginya. Sebuah nawaitu yang patut diberikan Apresiasi. Semangat
inilah menjadi penting untuk diwariskan bagi anak cucu. Kita boleh berbeza
dalam memberikan tafsiran pahlawan. Setidaknya semangat perubahan dalam bayak
hal menjadi inspirasi bagi Wanita Aceh.
Spirit
perubahan harus dibangun lewat gerakan menulis sehingga Aceh akan melahirkan
banyak Kartini-kartini yang lain. Kalau boleh kita sepakati Kartini itu tidak
berjuang mengangkat Senjata mengusir Penjajahan layaknya Cut Nyakdien, Tetapi
ia berjuang lewat pena membuka wacana dan pemikiran emansipasi Wanita.
Disinilah
beza nya. Ingat perjuangan itu banyak metodenya. Ada yang berjuang dengan jalur
angkat senjata, ada juga yang lewat jalur politik, Akademisi, Birokrasi,
Profesi Medis, Nelayan, Petani, Pengacara, Pengusaha dan sebagainya. Hari
Kartini itu menurutku hanya sebuah simbol perjuangan melawan ketidak adilan,
membawa kemaslahatan sesuai profesi kita. Khususan para wanita tanggung. Termasuk
didalamnya Ibu yang melahirkan kita layak disebut sang “Kartini” yang secara
naluri Negara simpati kepadanya, sehingga setiap tanggal 21 April dijadikan
sebagai Hari Kartini.
*Penulis
adalah Pengurus KAHMI Aceh dan Ketua Remaja Masjid Raya Baiturrahman Periode
2006-2015 (Dua Periode), Mantan Aktivis`98, Dosen Legal Drafting FSH UIN Ar-Raniry
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar