Negara
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat
kekhususan dan keistimewaan yang atur oleh UUD 1945 Amandemen ke IV. Sebagai
implementasi dari amanat UUD 1945 pemerintah telah mengeluarkan berbagai
peraturan perundang-undangan seperti UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, dimana
pemerintah daerah diberi 2 jenis kewenangan urusan yaitu urusan yang
bersifat wajib dan urusan pemerintah yang bersifat pilihan.
Urusan
pemerintah yang bersifat wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan
dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan
hidup minimal, prasarana lingkungan dasar. Sedangkan urusan pemerintahan yang
bersifat pilihan adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan
berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,
kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Adapun
yang menjadi urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah Kabupaten Kota
berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006 pasal 17 meliputi empat belas unsur.
Diantaranya, perencanaan, pemamfataan dan pengawasan tata ruang; perencanaan
dan pengendalian pembangunan; penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat; hingga pelayanan pertanahan; pelayanan kependudukan dan catatan
sipil; dan pelayanan administrasi umum pemertintahan.
Disamping
itu ada urusan wajib lainya yang menjadi kewenangan khusus pemerintah
kabupaten/ kota pada pelaksanaan keistimewaan Aceh. Sebut saja penyelenggaraan
kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya di
Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama; penyelenggaraan
kehidupan adat yang bersendikan agama Islam; dan penyelenggaraan pendidikan yang
berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syariat Islam.
Mencermati
hal tersebut diatas disinilah Aceh dituntut untuk mengidentifikasi lembaga apa
saja yang dibutuhkan dalam rangka menyahuti peraturan perundang-undangan
terutama dalam rangka pembentukan kelembagaan perangkat daerah sebagaimana PP
No.41/2007 serta Permendagri No.57/2007. Dimana keberadaan organisasi perangkat
daerah harus menyelaraskan karesteristik Aceh yang bersifat keistimewaan dan
kekhususan, diatur dalam UU Nomor 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Aceh dan UU Nomor 11/2006 tentang Pemerintah Aceh.
Sebagai
implementasi peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan syariat Islam
di Provinsi Aceh khususnya di Kota Banda Aceh berdasarkan Undang-Undang Nomor
44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Istimewa Aceh berupa
kewenangan Istimewa dalam penyelengaraan kehidupan beragama, adat,
pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan pemerintah, tentunya
pemerintah daerah berkewajiban membentuk lembaga yang mengurusi penerapan
syariat Islam di Aceh.
Dasar
utama menyusun perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi adalah
adanya urusan wajib dan pilihan yang perlu ditangani. Penataan organisasi perangkat daerah (OPD)
diarahkan kepada upaya penyederhanaan organisasi dan mengembangkan birokrasi
yang lebih proposional dan ini sesuai dengan Amanah PP No.41/2007.
Disamping
itu juga besaran OPD harus sesuai dengan Pasal 19 ayat (1) PP No.41/2007,
dimana harus melihat dengan variabel antara lain: jumlah penduduk, luas
wilayah dan jumlah APBDnya. Lebih lanjut, Pasal 21 ayat 1-3, berbicara tentang
skorsing yang menetukan berapa jumlah OPD meliputi Sekda, Sekwan, Dinas dan
Lembagaa Teknis Daerah.
Eksistensi
Pemda adalah melayani. Karenanya pemda harus memahami benar kebutuhan
masyarakat yang selalu dinamis. Untuk menata OPD, langkah pertama pemda
harus melakukan analisis kelembagaan berdasarkan kebutuhan. Baik
tentang unsur staf apa saja yang dubawahi dalam sekretariat, Lembaga teknis apa
saja sebagai unsur pendukung tugas kepala daerah atau kelembagaan apa saja yang
dapat menangani kebutuhan dasar (urusan wajib) dan lembaga-lembaga apa yang
menangani kebutuhan pengembangan (urusan pilihan).
Dalam
penataan perangkat daerah, perlu kajian lebih dalam paling tidak 3 syarat
utama haru di penuhi dalam rangka menentukan besaran organisasi perangkat
daerah. Adanya ketiga syarat tersebut anatara lain: luas wilayah, jumlah
penduduk, dan jumlah Pendapatan Asli Daerah ini dalam rangka memformulasikan
berapa jumlah dinas, Badan dan Kantor seusai kaedah kelembagaan perangkat
daerah. Ini menjadi penting sehingga tidak salah langkah dalam menentukan
kebutuhan ril jumlah perangkat daerah.
Tentunya
dalam konteks mendorong penerapan syariat Islam, upaya-upaya yang telah
dilakukan oleh Pemerintah seperti di Kota Banda Aceh, terutama dalam rangka
optimalisasi penerapan syariat berbasis OPD yaitu membentuk lembaga-lembaga yang
nantinya diharapkan mampu bekerja secara maksimal dalam penerapannya. Seperti
MPU, Badan Baital Mal, MPD, MAA, Satpol PP-WH, dan Dinas Syariat Islam itu
sendiri.
Seiring
dengan perjalanan waktu, kiranya lembaga yang telah di bentuk dapat memainkan
peran dan fungsi sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Secara political will,
tentu pemerintah dalam hal ini gubernur atau Bupati dan Walikota selaku top
leader telah memberikan mandatnya pada unit kerja yang telah ada untuk mengawal
serta memastikan lembaga yang dibentuk berjalan sesuai dengan harapan
masyarakat. Mestinya lembaga yang telah di bentuk harus di isi oleh orang-
orang yang tepat bukan hanya sekedar menempatkan orang. Bila tidak maka adagium Dassein
dan Dassolen (harapan dan kenyataan) akan jauh panggang dari api.
Saatnya
peningkatan capasity building lembaga yang bersentuhan dengan penerapan syariat
Islam menjadi penting dalam rangka mengembalikan kejayaan Aceh. Ini menjadi
penting jika kita memiliki komitmen dalam rangka penerapan dan penegakan
syariat Islam di Bumi Serambi Mekkah selama lima tahun ke depan. Wallahu `alam
Bishawab
*Tulisan ini telah dimuat pada Gema Baiturrahman
Online 8 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar