Sore itu, Jum`at 14
Februari 2014 seperti biasanya saya membeli nasi goreng kesukaan di Punge, tiba-tiba
seorang pak tua menjumpai seorang pemuda namanya Satria (bukan nama asli). Pak tua
ini bermasuk baik, ingin mengatakan bahwa di wilayah ini akan di pasang Baliho/Spanduk
salah seorang calek DPRA. Lalu terjadi perang urat saraf, dimana pemuda
tersebut melarang pak tua itu memasang atribut kampanye berupa Baliho/Spanduk
dan sejenisnya sebelum beliau menghadap secara resmi kepadanya. Mungkin dugaanku
tempat rencana pemasangan Spanduk/Baliho adalah wilayah yuridiksi simpatisan
atau pendukung anak muda tersebut.
Singkat cerita paktua itu
kesal dengan gayanya pemuda yang langsung mengatakan didepan kalayak rame bahwa
jangan pasang Baliho/Spanduk kalau belum ketemu saya. Pak tua tersebut,
ngomel-ngomel” ada-ada saja, kok dia larang, nyoe ka gawat...dst. ini adalah
sepenggal kisah politik menjelang pemilu legislatif April 2014. Tentu suhu
politik dimasing-masing daerah sangat pariatif. Ada yang bertenagan tinggi,
rendah, dan ada juga daerah yang adem-adem ayem saja.
Ini potret awal, gara-gara calon legislatif (Caleg) simpatisan, pendukung, Kader Parpol diakar rumput berpotensi adu mulut bahkan adu jotos. Banyak kasus terjadi perkelahian, pembunuhan terjadi gara-gara atribut partai politik di pasang atau dicabut oleh orang lain atau lawan politiknya.
Lalu apakah kondisi ini dibiarkan
saja...? “hana soe peureumen” alias tidak banyak orang yang mau ambil pusing
dengan persoalan-perseolan seputar “tensi politik bertengangan tinggi”.
Dimoment lain saya menemukan adanya pemukulan salah seorang Caleg gara-gara dipasang Spanduk di lokasi yang tokonya yang barang kali pemilik toko bukan simpatisan Partai tersebut. Tentu kita sangat berharap kedewasaan politik muncul di pesta demokrasi 2014.
Kalau kita mau jujur memang Iklan politik saat ini sudah berserakan. Para peserta pemilu tidak mengindahkan aturan yang ada seperti UU No.8 Tahun 2012, PKPU No.15 Tahun 2013 tentang perubahan atas PKPU No. 1 Tahun2013 serta Surat KPU No.664/KPU/IX/2013. Media massa pun sudah ikut nimbrung melanggar aturan tersebut hal ini sebagaimana opini Sapah Politik di Ruang Publik yang ditulis oleh Mashudi SR (HR SI/Sabtu 15 Februari 2014).
Liberalisme demokrasi politik yang melanda bangsa ini sudah meruntuhkan bangunan ideologi parpol dan media dan pada saat yang sama pragmatisme tumbuh dengan subur cetus Mashudi selaku aktifis Pemuda Muhammadiyah Aceh.
Untuk itulah sudah saatnya rakyat harus lebih cerdas dan dewasa. Biarkan para Politisi berjuang dengan caranya, kita tidak perlu adu jotos, apa lagi fakta selama ini sudah terlihat para caleg hanya bertabur janji manis saat kampanye, dimana saat terpilih mereka pada lupa akan janjinya. “Bek gara-gara caleg” masyarakat jeut keu korban politik. Wallahu `alam bishawab.
*Penulis adalah Mantan Aktifis`98
Tidak ada komentar:
Posting Komentar