15 Jan 2014

Kompromi Politik



Oleh : Abi Sultan

Sebagaimana biasanya setiap tanggal 13 diadakan musyawarah atas aksi protes warga kerajaan sejuta pesona. Hari itu bertepatan dengan hari “Protes Nasional” (13 Januari 2014). Musyawarah tersebut bertujuan mengadili berbagai kasus yang patut diduga terjadi pelanggaran konstitusi.

Raja sejuta pesona memanggil hakim agung guna menggelar perkara tersebut. Satu persatu berkas gugatan dibacakan oleh panitera. Lalu sang raja mengetok palu tanda jalannya sidang. Sang "paduka yang mulia" kerajaan sejuta pesona membuka sidang dengan membaca al-fatihan sebagai muqaddimah awal.

Sidang gelar perkarapun dimulai. Satu persatu paduka yang mulia meminta pendapat para Hakim kerajaan sejuta pesona. Berbagai opinipun bermunculan. Ada yang setuju atas kasus tersebut dihukum, ada pula yang tidak, bahkan ada juga yang tidak memberi tanggapan apapun alias "mengambang" dalam bahasa politik sikap tersebut dianggap abstain.

Seorang hakim secara terang-terangan beranggapan bahwa apa yang dilakukan oleh salah seorang warga kerajaan sejuta pesona adalah sikap perampokan alias pencurian yang tidak profesional. Maklumlah mungkin warga yang satu ini terkesan sangat polos, jujur dan lugu.

Mungkin juga ianya melakukan tindakan ini karena ada suruhan atasan yang tidak mungkin dielak. Seorang hakim agung geleng-geleng kepala saat membaca statemen para hakim yang terkesan gamang. Tapi seorang hakim yakin dan percaya jika pada saat itu “Raja Akbar” ada dipusaran kerajaan maka suasanapun diprediksi bakal berubah.
Memang berbagi kasus seringkali diselesaikan dengan kompromi politik. Kalau bahasa kerennya “beuk hana meoh”. Lalu apakah setiap saat sidang para hakim beradegan "beuk hana mangat", amankan saja….atau sikap-sikap yang mendua…yang pada akhirnya melemahkan wibawa hakim konstitusi…?

Tidak ada komentar: