Sebagaimana biasanya setiap
tanggal 13 diadakan musyawarah atas aksi protes warga kerajaan sejuta pesona. Hari
itu bertepatan dengan hari “Protes Nasional” (13 Januari 2014). Musyawarah tersebut
bertujuan mengadili berbagai kasus yang patut diduga terjadi pelanggaran
konstitusi.
Raja sejuta pesona memanggil hakim agung
guna menggelar perkara tersebut. Satu persatu berkas gugatan dibacakan oleh
panitera. Lalu sang raja mengetok palu tanda jalannya sidang. Sang "paduka yang
mulia" kerajaan sejuta pesona membuka sidang dengan membaca al-fatihan sebagai
muqaddimah awal.
Sidang gelar perkarapun dimulai.
Satu persatu paduka yang mulia meminta pendapat para Hakim kerajaan sejuta pesona. Berbagai opinipun
bermunculan. Ada yang setuju atas kasus tersebut dihukum, ada pula yang tidak, bahkan ada juga yang tidak memberi tanggapan apapun alias "mengambang" dalam bahasa politik
sikap tersebut dianggap abstain.
Seorang hakim secara
terang-terangan beranggapan bahwa apa yang dilakukan oleh salah seorang warga kerajaan sejuta
pesona adalah sikap perampokan alias pencurian yang tidak profesional. Maklumlah
mungkin warga yang satu ini terkesan sangat polos, jujur dan lugu.
Mungkin juga ianya melakukan tindakan ini karena ada suruhan
atasan yang tidak mungkin dielak. Seorang hakim agung geleng-geleng kepala saat
membaca statemen para hakim yang terkesan gamang. Tapi seorang hakim yakin dan percaya
jika pada saat itu “Raja Akbar” ada dipusaran kerajaan maka suasanapun
diprediksi bakal berubah.
Memang berbagi kasus seringkali
diselesaikan dengan kompromi politik. Kalau bahasa kerennya “beuk hana meoh”. Lalu
apakah setiap saat sidang para hakim beradegan "beuk hana mangat", amankan saja….atau
sikap-sikap yang mendua…yang pada akhirnya melemahkan wibawa hakim konstitusi…?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar