28 Apr 2013

Menyoal Birokrasi Patrimonial

Oleh: Muhammad Syarif*


Gaung reformasi yang didengungkan di era 1998, ternyata belum mampu membawa arah baru dalam tatanan kehidupan bernegara. Setelah mahasiswa mampu menumbangkan rezim politik orde baru, ternyata gerakan reformasi legah dan belum mampu menata pemerintahan menjadi lebih baik. Bahkan di Tahun 2013 penyelenggara pemerintahan baik ditingkat Pusat maupun Daerah cendrung belum menunjukkan perubahan yang siknifikan. Banyak pejabat tersangkut korupsi, bahkan orang-orang yang getol memperjuangkan Gerakan perubahan dan anti korupsi ternyata tersandung dalam “buih”. Lantas apa yang harus kita lakukan...?
Hasil survei Transparansi Internasional, Tahun 2007 Indek Prestasi Korupsi (IPK) Indonesia berada diurutan ke-126 dari 180 negara yang disurvei. Indonesia satu kelompok dengan Negara Eritrea, Guyana, Honduras, Libya, Mozambik dan Uganda dengan IPK 2,6. Sementara Negara yang memperoleh pridikat terkorup adalah Negara Somalia dengan IPK 1 disusul Myanmar (1,3) dan Irak (1,3). Sementara 3 negara terbersih adalah Denmark, Selandia Baru dan Swedia dengan IPK 9,3.
Reformasi Birokrasi merupakan keharusan, jika Pemerintahan menuju good goverment and clear goverment. Sepertinya ada kecendrungan model “birokrasi kerajaan baru” merambah pada tatanan pemerintahan baik dilevel pusat maupun dilevel daerah. Model ini cendrung melanggengkan kekuasaan dengan mengandalkan kolega untuk memimpin tampuk pemerintahan. Dimana kemampuan akademik dan managerial bukan menjadi keharusan. Yang paling penting adalah sepaham, se kampung, se partai. Ini patut menjadi bahan kajian kita semua. Semangat model ini sepertinya sudah mendarah daging dan ini sangat bertolak belakang dengan semangat reformasi sebagaimana yang diperjunangkan oleh mahasiswa pada saat melengserkan Suharto dan kroni-kroninya.
Model “birokrasi kerajaan baru” ini sepertinya punya kemiripan dengan Sistem birokrasi patrimonial sebagaimana disinyalir oleh Max Weber. Lebih lanjut Weber berkeyakinan struktur birokrasi patrimonial tidak akan mempu membawa arah kebaikan, bahkan suatu saat akan menuai kebangkrutan. Dorajatun Kontjoro Jakti menyebutkan birokrasi patrimonial serupa dengan lembaga kawula, dimana patron adalah gusti atau juragan dan klien adalah kawula. Hubungan antara juragan dan kawula adalah bersifat ikatan pribadi dengan loyalitas primordial sebagai dasar pertalian hubungan.
Mansyur Semman menegaskan bahwa warisan birokrasi patrimonial modern dan masa feodallisme di Indonesia telah menimbulkan birokrasi nepotisme yang memberikan jabatan atau jasa khusus kepada sanak dan sahabat. Mencermati hal tersebut diatas sepertinya model birokrasi patrimonial pperlu dikikis habis, jika inging menata pemerintahan lebih baik.

Potret Birokrasi Aceh
Aceh sebagai daerah Istimewa sesuai dengan UU No.44 Tahun 1999 mestinya menjadi model baru dalam tatanan pemerintahan, apalagi dengan diperkuat dengan UU No.11 Tahun 2006, mestinya dua payung hukum ini menjadi pedoman utama dalam menjalankan roda pemerintahan. Akan tetapi sayangnya kebanyakan pemimpin di Aceh belum memahi substansi hakiki kedua UU tersebut. Pada tataran empirik kita melihat arah birokrasi Aceh sepertinya masih terbelenggu bahkan cendrung dikontrol oleh kaum patrimonial.
Lebih parah lagi dibeberapa Kabupaten/Kota termasuk Provinsi proses untuk mendapatkan jabatan disinyalir dengan menyetor uang puluhan juta rupiah kepada pihak perantara alias agen jabatan. Ini sungguh memalukan. Ada kawan secara terang-terangan menelpon saya bahwa ditempat dia bertugas, beberapa jabatan dibandrol dengan harga tiga puluh juta rupiah bahkan ada yang seratus juta rupiah.
Maka dari itu, Aparatur dilingkup Kota Banda Aceh perlu berterimakasih dan memberikan apresiasi kepada Mawardy Nurdin  dan Illiza Sa`aduddin Djamal, karena tradisi setor menyetor hampir dipastikan tidak beredar dalam pusaran birokrasi. Oleh karena itu wajar kalau diantara jajaran Pemerintahan, Banda Aceh terus menuai segudang prestasi. Hal ini terjadi karena hampir dipastikan Birokrasi Patrimonial, tidak dikenal bahka dibunuh dengan permanen. Untuk itu sudah saatnya Kepala Daerah di Aceh perlu berguru pada sang Arsitektur Jebolan Austria yang saat ini juga menjabat sebagai Walikota Banda Aceh dua periodesasi. Wallahu `alam bishawab.

*Penulis adalah Pengamat Prilaku Birokrasi di Aceh

1 komentar:

sablon cup mengatakan...

terima kasih artikelnya, mantap.

www.kiostiket.com