Ifititah
Perbankan syariah pertama lahir pada tahun 1966 di Desa Mit Ghamr, sebuah desa tepi sungai Nil atas prakarsa Hamid An-Naggar, seorang sarjana ekonomi lulusan universitas Kairo. Inspirasi pendirian atas bank syariah muncul akibat penolakan masyarakat setempat atas local saving bank yang menerapkan praktek bunga. Lembaga perbankan syari`ah yang digagas oleh An-Naggar tidak bertahan lama, karena pemerintah setempat menuduh An-Naggar sebagai aktifis gerakan fundamentalis Islam, yang pada akhirnya lembaga yang digagasnya ditutup oleh pemerintah. Sejarat Mit Ghamr kemudian mengilhami para ekonom dunia untuk mendirikan Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975.
Perdebatan bunga Bank semakin tajam menjadi diskursus para ahli ekonomi
termasuk kalangan agamawan. Bahkan semua agama sepakat bunga bank haram
hukumnya. Bahkan aris toteles dan plato mengecam keras sistem rentenir yang
menerapkan bunga atas setiap pinjaman modal. Sistem bunga identik dengan lintah
darat alias menzalimi masyarakat.
Penerapan praktek bagi hasil di Indonesia sesungguhnya bukan hal yang
baru, bahkan sudah sejak lama berkembang. Sebagai contoh dalam bidang pertanian
sering dikenal degan sistem maro,martelu
atawa mawah, walaupun pada waktu itu istilah tersebut belum familiar yang
sesungguhnya bagian dari apa yang disebut dengan sistem musyarakah dan
mudharabah dalam praktek perbankan syari`ah.
Keberadaan Bank Syari`ah ternyata mendapat respon yang cukup siknifikan
dari kalangan non muslim. Di Bank Islam Malaysia Berhad, nasabah keturunan India (Hindu) dan China (Budha dan
Kong Hucu) mendominasi, ketimbang nasabah muslim. Di Inggris layanan perbankan
syariah terbesar dilakukan oleh HSBC, bank milik group Midland. Di Luxemburg,
sebuah Bank Islam hanya dewan pengawasnya saja yang muslim sementara karyawan
yang lain adalah non muslim (penganut kristen liberal). Untuk itulah sebebarnya
eksistensi Bank Islam/syari`ah merupakan contoh kongkrit universalitas dari
ajaran Islam yang memiliki konsep: rahmatan
lil al-`alamin.
Eksistensi Bank Syari`ah di Indonesia
Perbankan Syari`ah di Indonesia mulai berdiri sejak tahun 1992. Adapun
motif perdirian Bank Syari`ah adalah menjalankan prinsip-prinsip ekonomi sesuai
nilai-nilai qur`ani. Secara aspek yuridis keberadaan perbankan diatur dalam
Undang-Undang No.7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang No.10 Tahun 1998 serta secara lex spesialis lahirnya Undang-Undang
No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari`ah.
Dari sisi regulasi Indonesia boleh dibilang beruntung, karena negara
secara berani mengeluarkan kitab kuning penerapan Bank Syari`ah. Lantas yang
patut dipertanyakan sejauh mana eksistensi Bank Syari`ah murni menerapkan
konsep syari`ah atau jangan-jangan hanya berobah nama, bahkan ada tudingan
sebagian ekonom menilai konsep perbankan syari`ah secara faktual masih
bercampur aduk dengan konsep konvensional alias konsep ribawi.
Untuk menjawab dugaan atau tudingan tersebut, penulis mencoba
menelusurinya, terutama dari penerapan produk syariah pada sistem perbankan.
Menurut Cecep Maskanul, Hakim M.Ec (fakar ekonomi Islam jebolan Internasional Islamic University Islamabad) dalam
bukunya Belajar Mudah Ekonomi Islam, catatan kritis terhadap dinamika
perkembangan Perbankan Syariah di
Indonesia, mengatakan ada dua metode dalam penerapan produk syari`ah dalam
perbankan yaitu:
Pertama metode akomodatif, metode
ini berasumsi bahwa produk perbankan konvensional memiliki dasar dalam prinsip
syari`ah. Konsekuensi dari metode ini adalah produk perbankan konvensional
dicarikan dasar dalam akad-akad syari`ah. Apabila ada sifat sifat akad syari`ah
yang tidak bisa memenuhi unsur produk perbankan, maka sifat itu ditinggalkan,
meskipun untuk sementara. Metode ini banyak dipakai oleh Malaysia, termasuk
Indonesia.
Kedua metode asimilatif, yang
berasumsi bahwa produk syariah harus menjadi dasar dari produk perbankan. Hal
ini berarti bahwa produk perbankan hanyalah pelaksana administratif produk
syari`ah. Jika produk perbankan tidak memenuhi unsur akad syari`ah maka produk
itu dimodifikasi agar sesuai dengan produk syari`ah. Kedua metode tersebut
memiliki kelebihan dan tantangan.
Metode akomodatif memungkinkan bank syari`ah untuk mengembangkan
produknya secara intensif sesuai dengan perkembangan di dunia perbankan. Akan
tetapi metode ini banyak mendapat kritikan secara tajam karena cenderung
kehilangan esensi syari`ah, yang pada akhirnya tidak ada bedanya dengan bank
konvensional.
Untuk itulah menjadi penting penerapan metode asimilatif, sehingga muncul
secara terang benderang perbedaan bank syariah dengan bank konvensional. Akan
tetapi metode ini juga terkendala dalam penerapannya, karena sistem hukum
perbankan di Indonesia belum seutuhnya menerapkan metode asimilatif, disamping
itupulan sumber daya pengelola perbankan syari`ah dan masyarakat Indonesia
belum siap menerima konsep tersebut secara ideal.
Ada keraguan para fakar ekonomi syari`ah, terhadap produk bank syari`ah
di Indonesia sudah muncul sejak tahun 1992, dimana bagi hasil yang diberikan
oleh bank syari`ah sama dengan tingkat suku bunga bank konvensional. Bagi
masyarakat umum hal itu menjadi kebanggaan, karena bank syari`ah mampu bersaing
dengan bank konvensional dalam hal pemberian bunga (profit bagi nasabah).
Padahal Bank Syari`ah menerapkan sistem tanazu`u
al-haqq, yaitu suatu konsep dimana suatu pihak dapat melepaskan haknya
untuk diberikan kepada pihak lain.
Contoh lainnya adalah harga yang diberikan bank syari`ah lebih tinggi
ketimbang suku bunga kredit bank konvensional. Ketika diteliti ternyata marjin
keuntungan yang diambil oleh bank syari`ah dari nasabah jauh lebih tinggi hal
ini karena didasarkan pada tingkat suku bunga pasar, dan diterapkan secara
penuh. Alasan penerapan ini adalah karena bank syar`iah pada saat penerapan
akad murabahah ditandatangani, maka
harga tidak boleh berubah. Padahal faktor-faktor penentu harga seperti inflasi
dan biaya lainnya sering fluktuasi.
Mencermati hal tersebut diatas, maka patut dipertanyakan, benarkah
produk-produk pada bank syari`ah sudah sesuai dengan nilai-nilai filosofis
Ekonomi Islam..? kalau belum maka dimana peran dan tanggungjawab Dewan Pengawas
Syari`ah. Wallahu `alam bishawab.
*Penulis
adalah Sekum Alumni Hukum Ekonomi Syariah UIN Ar-Raniry Periode 2014-2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar