4 Mei 2013

Menyoal Bank Syari`ah


Oleh : Muhammad Syarif*

Ifititah

Perbankan syariah pertama lahir pada tahun 1966 di Desa Mit Ghamr, sebuah desa tepi sungai Nil atas prakarsa Hamid An-Naggar, seorang sarjana ekonomi lulusan universitas Kairo. Inspirasi pendirian atas bank syariah muncul akibat penolakan masyarakat setempat atas local saving bank yang menerapkan praktek bunga. Lembaga perbankan syari`ah yang digagas oleh An-Naggar tidak bertahan lama, karena pemerintah setempat menuduh An-Naggar sebagai aktifis gerakan fundamentalis Islam, yang pada akhirnya lembaga yang digagasnya ditutup oleh pemerintah. Sejarat Mit Ghamr kemudian mengilhami para ekonom dunia untuk mendirikan Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975.
Perdebatan bunga Bank semakin tajam menjadi diskursus para ahli ekonomi termasuk kalangan agamawan. Bahkan semua agama sepakat bunga bank haram hukumnya. Bahkan aris toteles dan plato mengecam keras sistem rentenir yang menerapkan bunga atas setiap pinjaman modal. Sistem bunga identik dengan lintah darat alias menzalimi masyarakat.
Penerapan praktek bagi hasil di Indonesia sesungguhnya bukan hal yang baru, bahkan sudah sejak lama berkembang. Sebagai contoh dalam bidang pertanian sering dikenal degan sistem maro,martelu atawa mawah, walaupun pada waktu itu istilah tersebut belum familiar yang sesungguhnya bagian dari apa yang disebut dengan sistem musyarakah dan mudharabah dalam praktek perbankan syari`ah.
Keberadaan Bank Syari`ah ternyata mendapat respon yang cukup siknifikan dari kalangan non muslim. Di Bank Islam Malaysia Berhad, nasabah  keturunan India (Hindu) dan China (Budha dan Kong Hucu) mendominasi, ketimbang nasabah muslim. Di Inggris layanan perbankan syariah terbesar dilakukan oleh HSBC, bank milik group Midland. Di Luxemburg, sebuah Bank Islam hanya dewan pengawasnya saja yang muslim sementara karyawan yang lain adalah non muslim (penganut kristen liberal). Untuk itulah sebebarnya eksistensi Bank Islam/syari`ah merupakan contoh kongkrit universalitas dari ajaran Islam yang memiliki konsep: rahmatan lil al-`alamin.
Eksistensi Bank Syari`ah di Indonesia
Perbankan Syari`ah di Indonesia mulai berdiri sejak tahun 1992. Adapun motif perdirian Bank Syari`ah adalah menjalankan prinsip-prinsip ekonomi sesuai nilai-nilai qur`ani. Secara aspek yuridis keberadaan perbankan diatur dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang No.10 Tahun 1998 serta secara lex spesialis lahirnya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari`ah.
Dari sisi regulasi Indonesia boleh dibilang beruntung, karena negara secara berani mengeluarkan kitab kuning penerapan Bank Syari`ah. Lantas yang patut dipertanyakan sejauh mana eksistensi Bank Syari`ah murni menerapkan konsep syari`ah atau jangan-jangan hanya berobah nama, bahkan ada tudingan sebagian ekonom menilai konsep perbankan syari`ah secara faktual masih bercampur aduk dengan konsep konvensional alias konsep ribawi.
Untuk menjawab dugaan atau tudingan tersebut, penulis mencoba menelusurinya, terutama dari penerapan produk syariah pada sistem perbankan. Menurut Cecep Maskanul, Hakim M.Ec (fakar ekonomi Islam jebolan Internasional Islamic University Islamabad) dalam bukunya Belajar Mudah Ekonomi Islam, catatan kritis terhadap dinamika perkembangan  Perbankan Syariah di Indonesia, mengatakan ada dua metode dalam penerapan produk syari`ah dalam perbankan yaitu:
Pertama metode akomodatif, metode ini berasumsi bahwa produk perbankan konvensional memiliki dasar dalam prinsip syari`ah. Konsekuensi dari metode ini adalah produk perbankan konvensional dicarikan dasar dalam akad-akad syari`ah. Apabila ada sifat sifat akad syari`ah yang tidak bisa memenuhi unsur produk perbankan, maka sifat itu ditinggalkan, meskipun untuk sementara. Metode ini banyak dipakai oleh Malaysia, termasuk Indonesia.
Kedua metode asimilatif, yang berasumsi bahwa produk syariah harus menjadi dasar dari produk perbankan. Hal ini berarti bahwa produk perbankan hanyalah pelaksana administratif produk syari`ah. Jika produk perbankan tidak memenuhi unsur akad syari`ah maka produk itu dimodifikasi agar sesuai dengan produk syari`ah. Kedua metode tersebut memiliki kelebihan dan tantangan.
Metode akomodatif memungkinkan bank syari`ah untuk mengembangkan produknya secara intensif sesuai dengan perkembangan di dunia perbankan. Akan tetapi metode ini banyak mendapat kritikan secara tajam karena cenderung kehilangan esensi syari`ah, yang pada akhirnya tidak ada bedanya dengan bank konvensional.
Untuk itulah menjadi penting penerapan metode asimilatif, sehingga muncul secara terang benderang perbedaan bank syariah dengan bank konvensional. Akan tetapi metode ini juga terkendala dalam penerapannya, karena sistem hukum perbankan di Indonesia belum seutuhnya menerapkan metode asimilatif, disamping itupulan sumber daya pengelola perbankan syari`ah dan masyarakat Indonesia belum siap menerima konsep tersebut secara ideal.

Ada keraguan para fakar ekonomi syari`ah, terhadap produk bank syari`ah di Indonesia sudah muncul sejak tahun 1992, dimana bagi hasil yang diberikan oleh bank syari`ah sama dengan tingkat suku bunga bank konvensional. Bagi masyarakat umum hal itu menjadi kebanggaan, karena bank syari`ah mampu bersaing dengan bank konvensional dalam hal pemberian bunga (profit bagi nasabah). Padahal Bank Syari`ah menerapkan sistem tanazu`u al-haqq, yaitu suatu konsep dimana suatu pihak dapat melepaskan haknya untuk diberikan kepada pihak lain.
Contoh lainnya adalah harga yang diberikan bank syari`ah lebih tinggi ketimbang suku bunga kredit bank konvensional. Ketika diteliti ternyata marjin keuntungan yang diambil oleh bank syari`ah dari nasabah jauh lebih tinggi hal ini karena didasarkan pada tingkat suku bunga pasar, dan diterapkan secara penuh. Alasan penerapan ini adalah karena bank syar`iah pada saat penerapan akad murabahah ditandatangani, maka harga tidak boleh berubah. Padahal faktor-faktor penentu harga seperti inflasi dan biaya lainnya sering fluktuasi.
Mencermati hal tersebut diatas, maka patut dipertanyakan, benarkah produk-produk pada bank syari`ah sudah sesuai dengan nilai-nilai filosofis Ekonomi Islam..? kalau belum maka dimana peran dan tanggungjawab Dewan Pengawas Syari`ah. Wallahu `alam bishawab.

*Penulis adalah Sekum Alumni Hukum Ekonomi Syariah UIN Ar-Raniry Periode 2014-2018

Tidak ada komentar: