Politik
sulit dibaca dan tebak. Dalam dunia persilatan “politik”, ada kecendrungan
semua mungkin untuk memperoleh hasrat politik. Politik selalu identik dengan
kekuasaan. Anda boleh tidak setuju dengan ungkapan itu. Menarik kalau kita coba
simak, bagaimana jargon-jargon politik dilakoni oleh petualang politik, sebut
saja: “jika saya terpilih maka saya akan memperjuangkan nasib rakyat. Kalimat akan...ini
dan akan itu senantiasa mewarnai baliho di seputaran sudut baik di kota, maupun
di desa/gampong. Bahkan di WC pun, ungkapan akan ini dan akan itu
bergentayangan.
Ilustrasi Kampanye Terbuka
Aceh
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 memberikan warna baru dalam
dunia perpolitikan Indonesia. Partai Politik Lokal (Parlok) merupakan entitas
baru dalam ranah politik nusantara. Eksistensi Parlok Idealnya benar-benar
membawa perubahan baru, akan tetapi sayang seribu kali sayang, kiprahnya belum
terbaca sampai saat ini. Yang ada hanyalah perjuangan semu. Berjuang mengatasnamakan
rakyat, akan tetapi berjuang hanya untuk kepentingan Individual, kader dan
kroninya.
Ilustrasi Kampanye Akbar Prabowo
Maaf
kalau rakyat Aceh nantinya muak dan prustasi. Saat ini Tokoh dan Kader Parlok
merapat ke Parnas dalam menaiki tahta kesenayan di Tahun 2014. Maklum secara
konstitusi Parlok hanya dalam tataran skala lokal, jika mau mulus ke senayan
maka harus merapat ke Partai Nasional (Parnas). Jika kita runut kebelakang,
begitu membabi butanya para pejuang yang mengatasnamakan rakyat yang pada
akhirnya membentuk Parlok, menghajar dan melontarkan Parnas adalah partai yang
dicab dan diberi lebelisasi, partainya Wong Jowo alias partainya orang jawa.
Ilustrasi Kampanye Akbar Jokowi
Ternyata
lebelisasi itu, di Tahun 2014 tidak muncul lagi, malah satu persatu kader dan
pendiri Parlok dengan terang benderang meminang Parnas, untuk memenuhi hasrat “politiknya”
kesenayan. Lantas bukankah ini dalam ajaran Islam disebut “munafik politik” alias tidak konsisten dalam perjuangan
Politik. Seribu macam alasan di keluarkan dalam membenarkan argumentasi sang
politikus. Inilah potret politik negeri ini. Jadi benarlah adagium: tidak ada
musuh abadi dalam dunia persilatan “politik” yang ada hanyalah pertemanan sejati
berdasarkan kepentingan.
Ilustrasi Kampanye Akbar Prabowo
Loncatan
kendaran politik merupakan hal yang biasa dalam dunia politik. Jika dulu
menjadi musuh politik, maka sekarang menjadi sohib politik. Aneh bin ajaib.
Tahun 2014 adalah Tahun berjuang dan bersafari ria menuju impian Politik. Para
punggawa Politik saat ini sedang memburu konstituen untuk memperoleh suara dan simpati
masyarakat.
Ilustrasi Kampanye Akbar Jokowi
Geliat manuver politik sedang gencar-gencarnya di lakoni. Sejumlah program
dan janji di taburi, baik secara terang-tarangan maupun sembunyi-sembunyi, demi
memperoleh berkah politik yakni kursi menuju legislatif baik tingkat Daerah Kabupaten/Kota,
Provinsi maupun menuju senayan. Rakyat tentu berharap akankah kesejahteraan,
keadilan dan kedamaian akan terus langgeng di Tahun 2014 ini? Harapan ini
menjadi penting dipertayakan, karena saat ini, benih konflik berpotensi besar
melihat riak-riak dan letupan emosial sebagian politikus dan mantan pejabat
yang haus akan kekuasaan dengan gagah perkasanya memperjuangkan Provinsi ALA
dan ABBAS.
cang panah sambil santai
Menjelang perhelatan akbar Pilpres 9 Juli 2014, para timses melakukan manuve politik, berbagai politik pencitraan dan politik adu domba saling dipertontonkan. dua media secara terang-terangkan menjagokan kadidatnya. TV one lebih menojolkan Prabowo-Hatta dan Metro TV secara bom bastis merelise berita seputra kiprah kesuksesan Jokowi dalam memimpin Solo dan Jakarta. Perang mediapun tak terbendung. Akrobat Politik Tahun 2014 juga mewarnai dunia maya termasuk masyarakat Aceh. Hujat-menghujat sesama timses sudah menjadi tontonan menarik di berbagai media masa termasuk media online.
Satu meja buat satu kepentingan politik
Gubernur Aceh ikut nimbrung dalam Pilpres 2014 dengan menjagokan Jokowi-Jusuf Kalla, sementara Wagub Aceh menjagokan Prabowo-Hatta. masing-masing Timses punya argumen tersendiri. Semoga saja siapapun pemenangnya nanti Gubernur dan Wagub akan kompak selalu, sebagaimana kompak saat mencalonkan diri pada Pesta Demokrasi Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh.
*
Divisi Hukum dan Pemerintahan Aceh Research
Institute (ARI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar