Singapura City |
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan
merupakan salah satu syarat mutlak dalam era reformasi ini. Pengabaian terhadap
faktor ini telah menyebabkan terjadinya deviasi yang cukup signifikan terhadap
tujuan pembangunan itu sendiri yaitu keseluruhan upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Untuk itulah pelibatan dalam proses legislasi atau
penyusunan produk hukum wajib terjadinya pelibatan masyarakat di dalamnya[1].
Proses pelibatan partisipasi masyarakat dalam
implementasi program Legislasi Daerah terbukti telah berhasil membawa perubahan
mendasar dalam peningkatan kesadaran hukum masyarakat. Pembangunan hukum lebih
berorientasi pada masyarakat, yang tercermin melalui pengoptimalan keterlibatan
masyarakat dalam rangkaian penyusunan Peraturan Daerah, di Aceh di kenal dengan
Qanun. Ini perlu diyakini oleh aparatur Pemerintah Baik Provinsi maupun
Kabupaten/Kota sebagai strategi yang tepat untuk menggalang militansi kesadaran
masyarakat terhadap ketaatan pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum.
Qanun dibentuk berdasarkan asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang meliputi kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ
pembentuk yang tepat, kesesuaian antar jenis dan materi muatan, keterlaksanaan,
kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan keterbukaan (Pasal 236
UUPA).[2]
Dalam penjelasan Qanun Nomor 3 Tahun 2007 disebutkan
bahwa untuk mewujudkan pembangunan hukum dan tertib pemerintahan di Aceh
diperlukan pembentukan peraturan perundang-undangan sejak perencanaan sampai
dengan pengundangan. Untuk mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006 dan peraturan perundang-undangan lain perlu dibentuk qanun berkualitas dan
partisipatif dengan berbagai persyaratan yang berkaitan dengan sistem, asas,
tata cara penyiapan dan pembahasan, teknik penyusunan maupun pemberlakuannya.[3]
Dalam Pasal 1 angka 14 Qanun No.3 Tahun 2007 disebutkan
Qanun Kabupaten/ Kota adalah Peraturan Perundang-undangan sejenis peraturan
daerah kabupaten/kota yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan
masyarakat kabupaten/kota di Aceh.
Qanun dibentuk berdasarkan asas pembentukan Paraturan
Perundang-undangan yang meliputi kejelasan tujuan, kesesuaian antara jenis dan
materi muatan, keterlaksanaan, kedayagunaan, kehasil gunaan, kejelasan rumusan,
keterbukaan dan keterlibatan publik (Pasal 2 Ayat (1) Qanun Aceh No.3 Tahun
2007). Pembentukan Qanun tersebut tidak boleh bertentangan dengan syariat
Islam, kepentingan umum, qanun lainnya dan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi (Pasal 2 Ayat (2) Qanun Aceh No.3 Tahun 2007)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan landasan
yuridis pembentukan peraturan perundang-undangan, baik di tingkat pusat maupun
daerah. Undang-Undang ini memuat secara lengkap pengaturan baik menyangkut
sistem, asas, jenis dan materi muatan, proses pembentukan yang dimulai dari
perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan,
pengundangan, dan penyebarluasan. Tertib pembentukan peraturan
perundang-undangan, baik di tingkat pusat maupun daerah, diatur sesuai dengan
proses pembentukan dari jenis dan hirarki serta materi muatan peraturan
perundang-undangan.[4]
Dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 menggariskan materi muatan
Qanun adalah seluruh materi muatan dalam rangka: (a) penyelenggaraan otonomi
dan tugas pembantuan; (b) menampung kondisi khusus daerah; serta (c) penjabaran
lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dari segi materi muatan,
Qanun adalah peraturan yang paling banyak menanggung beban. Sebagai peraturan
terendah dalam hierarki peraturan perundang-undangan,[5].
Pasal 239 Ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan bahwa :
(1)
Rancangan qanun dapat berasal dari DPRA, Gubernur dan
DPRK, atau Bupati/Walikota.
(2)
Apabila dalam satu masa sidang, DPRA atau Gubernur dan
DPRK atau bupati/walikota menyampaikan rancangan qanun mengenai materi yang
sama, maka yang dibahas adalah rancangan qanun yang disampaikan oleh DPRA/DPRK,
sedangkan rancangan qanun yang disampaikan Gubernur dan Bupati/Walikota digunakan
sebagai bahan untuk dipersandingkan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan
rancangan qanun yang berasal dari Gubernur dan Bupati/Walikota diatur dengan
qanun.
Untuk melaksanakan ketentuan tersebut maka dikeluarkan
Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan Qanun, ini
merupakan acuan yang harus diikuti oleh Pemerintah Aceh, Kabupaten/Kota dalam
melahirkan qanun, rancangan qanun atas usulan legislatif atau eksekutif yang
diusulkan dari SKPD, harus melibatkan masyarakat.
Pasal 238 Undang-Undang Pemerintah Aceh
menyebutkan bahwa :
(1) Masyarakat
berhak memberikan masukan secara lisan atau tulisan dalam rangka penyiapan dan
pembahasan rancangan qanun.
(2) Setiap tahapan
penyiapan dan pembahasan qanun harus terjamin adanya ruang partisipasi publik.
Selain itu penyusunan qanun yang berkualitas dalam
Pasal 2 Ayat (1) Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 disebutkan bahwa qanun dibentuk
berdasarkan asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Asas pembentukan
peraturan perundangan-undangan tersebut meliputi diantaranya adalah keterbukaan
dan keterlibatan publik. Keterlibatan publik dalam proses pembentukan qanun
tersebut lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 23 Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007
sebagai berikut:
(1)
Setiap tahapan penyiapan dan pembahasan qanun harus
terjamin adanya ruang partisipasi publik
(2)
Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau
tulisan dalam rangka penyiapan dan pembahasan rancangan qanun.
(3)
Masyarakat dalam memberi masukan harus menyebutkan
identitas secara lengkap.
(4)
Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat
pokok-pokok materi yang diusulkan.
(5)
Masukan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diagendakan dalam rapat penyiapan atau pembahasan rancangan qanun
Keterlibatan partisipasi masyarakat dalam pembentukan qanun ini sesuai dengan yang
disebutkan oleh Friedrich Karl von Savigny yang menyatakan bahwa hukum itu
tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat.
Hukum bukan merupakan konsep dalam masyarakat karena hukum tumbuh secara
alamiah dalam pergaulan masyarakat yang mana hukum selalu berubah seiring
perubahan sosial.[6] Sehingga hukum yang baik adalah hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), dengan kata lain adalah
pembentukan hukum tersebut haruslah dimulai dari bawah (buttom up) yaitu sesuai dengan aspirasi dari masyarakat melalui
ruang partisipasi publik.
B. Identifikasi
Masalah
Berdasarkan ilustrasi diatas, maka dapat di identifikasikan masalahnya
sebagai berikut:
- Apakah keterlibatan masyarakat dalam pembentukan
Qanun Kota Banda Aceh No.4 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029 sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan
yang berlaku?
- Kendala apa saja yang dihadapi oleh Pemerintah Kota
Banda Aceh terhadap partisipasi
masyarakat dalam proses pembentukan Qanun Kota Banda Aceh No.4 Tahun 2009 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029?
C. Tujuan Penulisan
Adapun Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.
Untuk mengetahui tentang pelibatan masyarakat terhadap Pembentukan
Qanun Kota Banda Aceh No.4 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Banda Aceh Tahun 2009-2029.
2.
Untuk memahami kendala apa saja dalam pelibatan masyarakat
terhadap Pembentukan Qanun Kota Banda Aceh No.4 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029.
D. Metodelogi Penulisan
Untuk memperoleh hasil yang tepat, kiranya
metodelogi penulisan menjadi pennting. Untuk dalam penyajian makalah ini,
penulis menggunakan pendekatan/ metodelogi Fiel
Reseach dan Library Reasech.
Fiel Reseach dilakukan dengan melakukan observasi dan wawancara dengan pihak-pihak
yang terlibat dalam proses pembentukan qanun dalam hal ini terdiri dari Unsur
Bagian Hukum, Sekretariat DPRK atau panitian Legislasi di DPRK Banda Aceh.
Sedangkan metode library reseach dilakukan dengan mengkaji aturan-aturan hukum
normatif yang kemudian dianilsis. Atau dengan kata lain melakukan pendekatan study normatif.
BAB II
BAB II
KERANGKA TEORITIS
A.
Pengertian Partisipasi Masyarakat
Istilah partisipasi (participation)
seringkali istilah tersebut diasumsikan hanya sebagai kontribusi financial,
material, dan tenaga dalam suatu program. Kadang juga diberi pengertian sebagai
self-help, self reliance, cooperation dan local autonomy dimana istilah-istilah
tersebut kurang menggambarkan apa yang dimaksud dengan partisipasi itu sendiri.
Self-help, self reliance dan local autonomy menggambarkan kondisi akhir yang
diharapkan dari suatu program yang memakai pendekatan partisipatif. Cooperation
menunjukkan cara bagaimana partisipasi masyarakat diimplementasikan pada suatu
kegiatan atau program.[7]
Bank dunia memberikan batasan
partisipasi masyarakat sebagai: (1) keterlibatan masyarakat yang terkena dampak
pengambilan keputusan tentang hal-hal yang harus dikerjakan dan cara
mengerjakannya, (2) keterlibatan tersebut berupa kontribusi dari masyarakat
dalam pelaksanaan kegiatan yang telah diputuskan dan (3) bersama-sama
memamfaatkan hasil program sehingga masyarakat mendapatkan keuntungan dari
program tersebut.[8]
Dapat disimpulkan partisipasi masyarakat
dalam proses pembentukan hukum adalah; “Suatu proses keterlibatan yang
bertanggung jawab dalam suatu kegiatan yang merupakan suatu unit kegiatan (unit of action) dalam proses pengambilan
keputusan, kontri busi dalam pelaksanaannya dan pemamfaatan hasil kegiatan,
sehingga terjadi peningkatan kamampuan kelompok tersebut dalam mempertahankan
perkembangan yang tercapai secara mandiri. Dalam pengertian partisipasi
tercakup dua system dalam suatu
kegiatan. Kedua system adalah system pemerintah yang merupakan icon
pembuat regulasi dan sistem masyarakat dipihak lain.
Kedua pihak secara fungsional sering
mempuyai karakteristik dan pandangan yang sangat berbeda dalam konteks
partisipasi. Berdasarkan pandangan bahwa semua program pengembangan masyarakat
adalah sama dengan pengembangan kelompok masyarakat pedesaan yang miskin (rurar
poor community). Pandangan ini sering ada pada sudut pandang pemerintah atau provider,
partisipasi masyarakat seolah-olah merupakan kewajiban yang harus diemban oleh
masyarakat yang mendapat bantuan. Dalam keadaan tersebut, masyarakat tidak
mempunyai otoritas terhadap kegiatan karena semuanya telah diatur dan
dijadwalkan oleh pemberi kegiatan.
Dipihak lain masyarakat menyatakan bahwa
program pengembangan itu dapat pada siapa saja, tidak peduli apakah kelompok
sasaran tersebut merupakan kelompok masyarakat pedesaan yang miskin atau
kelompok masyarakat di kota
yang sudah cukup dari segi ekonomi. Pendapat itu menganggap bahwa partisipasi
merupakan hak dari masyarakat. Masyarakat boleh menggunakan atau tidak
menggunakan “hak” tersebut dalam suatu kegiatan yang diadakan oleh pemberi
kegiatan. Apa bila pemberi kegiatan menginginkan partisipasi masyarakat,
diperlukan pendekatan tertentu untuk mendapatkannya.[9]
Peter Oakley dan David Marsden
menyimpulkan bahwa banyaknya variasi dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat
disebabkan oleh setiap batasan menonjolkan dimensi yang berbeda dari partisipasi
masyarakat. Satu pendapat menyatakan bahwa jika ada keterlibatan dari
masyarakat, bagaimanapun bentuk dan prosesnya, maka dikatakan bahwa masyarakat
telah berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Hal itu memang tidak keliru
tetapi masih kurang tepat karena hanya melihat aspek kuantitatif dari
partisipasi. Implementasi pendapat itu sering berupa mobilisasi sumber daya
masyarakat dalam suatu kegiatan tanpa masyarakat tahu apa tujuan kegiatan
tersebut dan keuntungan apa yang akan diperoleh dengan keterlibatannya.
Batasan lain menyatakan bahwa secara
konseptual, partisipasi terjadi apabila telah ada pembangian ulang kekuasaan (redistribution of power) dalam
menentukan pelaksanaan kegiatan tersebut antara penyedia kegiatan (provider)
dengan masyarakat. Namun ada juga yang mengatakan bahwa wewenang dalam
pengambilan keputusan hanyalah salah satu komponen dari yang disebut sebagai
partisipasi. Kontribusi tenaga
kerja, material dan finansial juga merupakan komponen dari partisipasi di
samping komponen lain (Uphoof & Cohen, 1979)[10]
Ann Seidman Robert B mengemukakan Konsep Teori Responsif[11] berkaitan
dengan Partisipasi masyarakat. Beliau mengemukakan bahwa;”pihak-pihak yang
dipengaruhi oleh suatu keputusan yang ditetapkan the stakholders (pihak yang mempunyai kepentingan) memiliki
kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan, kritik dan mengambil bagian
dalam pembuatan keputusan-keputusan pemerintah.
Pengertian
partisipasi tersebut tidak jauh berbeda dengan pengertian partisipasi politik
yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson yaitu bahwa
partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai
pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh
pemerintah.
Philipus M. Hadjon
mengemukakan konsep partisipasi masyarakat berkaitan dengan konsep keterbukaan.
Dalam artian, tanpa keterbukaan pemerintahan tidak mungkin masyarakat dapat
melakukan peran serta dalam kegiatan-kegiatan pemerintah. Menurut Philipus M.
Hadjon keterbukaan baik ”openheid” maupun ”openbaar-heid” sangat penting
artinya bagi pelaksanaan pemerintah yang baik dan demokratis. Dengan demikian
keterbukaan dipandang sebagai suatu asas ketatanegaraan mengenai pelaksanaan
wewenang secara layak.
Konsep partisipasi
terkait dengan konsep demokrasi, sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M.
Hadjon bahwa sekitar tahun 1960-an muncul suatu konsep demokrasi yang disebut
demokrasi partisipasi. Dalam konsep ini rakyat mempunyai hak untuk ikut
memutuskan dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan. Dalam konsep
demokrasi, asas keterbukaan datau partisipasi merupakan salah satu syarat
minimum sebagaimana dikemukakan oleh Burkens dalam bukunya yang berjudul ”Beginselen van de democratische reschsstaat”
yang intinya[12]:
1. pada dasarnya setiap orang mempunyai hak yang sama
dalam pemilihan yang bebas dan rahasia;
2. pada dasarnya setiap orang mempunyai hak untuk
dipilih;
3. setiap orang mempunyai hak untuk dipilih;
4. badan perwakilan rakyat mempengaruhi pengambilan
keputusan melalui sarana ”mede beslissing-recht” (hak untuk ikut memutuskan dan
atau melalui wewenang pengawas);
5. asas keterbukaan dalam pengambilan keputusan dan
sifat keputusan yang terbuka;
6. dihormatinya hak-hak kaum minoritas;
Menurut Sad Dian Utomo mamfaat
partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik, termasuk dalam
pembuatan Perda adalah:
1) memberikan landasan yang lebih baik untuk
pembuatan kebijakan publik
2) memastikan adanya implementasi yang lebih efektif
karena warga mengetahui dan terlibat dalam pembuatan kebijakan publik
3) meningkatkan kepercayaan warga kepada eksekutif
dan legislatif
4) efisiensi sumber daya, sebab dengan keterlibatan
masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik dan mengetahui kebijakan publik,
maka sumber daya yang digunakan dalam sosialisasi kebijakan publik dapat
dihemat.
Sesuai dengan negara hukum,
maka partisipasi masayarakat dalam penyusunan Perda/qanun mesti diatur secara
jelas dalam suatu aturan tertentu. Menurut Bagir Manan sendi utama negara hukum
adalah hukum merupakan sumber tertinggi (supremasi hukum) dalam mengatur dan
menentukan mekanisme hubungan hukum antara negara dan masyarakat ataun antar
anggota masyarakat yang satu dengan yang lain. Hukum mempunyai dua pengertian
yakni hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.[13]
B. Mekanisme Partisipasi Masyarakat
Dalam BAB VI Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 Pasal 23 dijelaskan bahwa
berikut :
(1) Setiap tahapan penyiapan dan pembahasan qanun harus terjamin adanya
ruang partisipasi publik.
(2) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tulisan dalam
rangka penyiapan dan pembahasan rancangan Qanun.
(3) Masyarakat dalam memberikan
masukan harus menyebutkan identitas secara lengkap
(4) Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) membuat pokok-pokok materi
yang diusulkan
(5) Masukan dari masyarakat sebagimana
dimaksud pada ayat (2) diagendakan dalam rapat penyiapan atau pembahasan
rancangan qanun.
Mekanisme pelibatan dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaannya diatur
sebagai berikut (Pasal 25 ayat (1)) :
a. pada fase penyiapan prarancangan qanun oleh pemrakarsa pada
masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
atau oleh Anggota/ Komisi/Gabungan Komisi/ Panitia Legislasi DPRA/DPRK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19;
b. pada fase pembahasan oleh Tim Asistensi yang dibentuk oleh Gubernur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17 melalui forum rapat dengar
pendapat;
c. pada fase pelaksanaan seminar akademik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12;
d. pada fase pembahasan oleh DPRA/DPRK, sesuai dengan mekanisme yang
ditetapkan dalam Tata Tertib DPRA/DPRK.
Lebih lanjut ayat (2) menjelaskan: mekanisme pelibatan dan partisipasi
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan antara lain
melalui Forum Seminar, Lokakarya, Fokus Grup Diskusi, Rapat Dengar Pendapat
Umum (RDPU) dan bentuk-bentuk penjaringan aspirasi publik lainnya.
Mekanisme pelibatan dan partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) meliputi penyebaran draft pra rancangan qanun dan jadwal pembahasan
kepada masyarakat.(Pasal 25 ayat (3) Qanu Aceh No.3 Tahun 2007)
Masa Partisipasi masyarakat ditetapkan dalam jadwal kegiatan pada setiap
fase penyiapan dan pembahasan pra rancangan qanun/rancangan qanun (Pasal 25
ayat (4) Qanu Aceh No.3 Tahun 2007).
Masukan yang diberikan oleh masyarakat melalui mekanisme sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23, Pasal 24 dan Pasal 25 paling lama 7 (tujuh) hari sejak
dilakukan penyebarluasan sudah harus disampaikan kepada DPRA/DPRK atau
Gubernur/Bupati/Walikota untuk menjadi bahan pertimbangan dalam penyempurnaan
materi rancangan qanun (Pasal 26 Qanun Aceh No.3 Tahun 2007)
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Kebijakan
Pemerintah Kota Terhadap Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Qanun No.4
Tahun 2009
Qanun Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan
sejenis peraturan daerah kabupaten/kota yang mengatur penyelenggaraan
pemerintahan dan kehidupan masyarakat kabupaten/kota di Aceh. Sebagaimana
dijelaskan dalam Pasal 25 mekanisme pelibatan dan partisipasi masyarakat dalam
pelaksanaannya sebagai berikut:
a. pada fase penyiapan prarancangan qanun oleh pemrakarsa pada
masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
atau oleh Anggota/ Komisi/Gabungan Komisi/ Panitia Legislasi DPRA/DPRK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19;
b. pada fase pembahasan oleh Tim Asistensi yang dibentuk oleh Gubernur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17 melalui forum rapat dengar
pendapat;
c. pada fase pelaksanaan seminar akademik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12;
d. pada fase pembahasan oleh DPRA/DPRK, sesuai dengan mekanisme yang ditetapkan
dalam Tata Tertib DPRA/DPRK.
Proses pembentukan qanun berpedoman pada asas-asas
perundang-undangan yang baik maka ada beberapa ciri atau syarat-syarat yang
perlu mendapat perhatian dalam proses pembentukan qanun, yaitu asas kejelasan
tujuan, asas manfaat, asas kewenangan, asas kesesuaian, asas dapat
dilaksanakan, asas kejelasan rumusan, asas keterbukaan, asas efisiensi, dan asas-asas materi muatan. Setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas untuk apa peraturan perundang-undangan
tersebut dikeluarkan.
Pembentukan qanun baik yang berasal dari legislatif maupun yang berasal
dari eksekutif dilakukan melalui beberapa tahapan. Adapun tahapan pembentukan qanun
sama dengan tahapan penyusunan peraturan perundang-perundangan yang lain
meliputi perencanaan, perancangan, pembahasan, pengesahan, pengundangan,
pelaksanaan, dan evaluasi. Ruang partisipasi bagi masyarakat harus ada di
setiap tahapan tersebut. Dengan demikian diharapkan akan lahir qanun yang
partisipatif, masyarakat yang kritis, dan pemerintahan yang responsif terhadap
kebutuhan sosial (society need).
Partisipasi masyarakat merupakan wujud demokrasi dimana kekuasaan adalah
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sehingga harusnya dalam setiap
proses politik, rakyat berhak untuk mengetahui, berpendapat, berperan serta,
dan bereaksi positif maupun negatif terhadap segala kebijakan pemerintah sesuai
dengan hati nurani masyarakat.[14]
Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai
hasil dari proses kebijakan harus didasarkan pada kepentingan orang banyak atau
masyarakat sebagai pemangku kepentingan (stake holders) dan tentu saja
membutuhkan partisipasi masyarakat secara langsung maupun tidak langsung dalam
setiap prosesnya. Namun realitas yang ada, keterlibatan masyarakat dalam
kerangka kedaulatan rakyat, demokrasi konstitusional masih jauh dari yang
seharusnya. Masyarakat belum sampai pada tahapan civil society
dimana masyarakat mampu mempengaruhi dan mengawasi proses kebijakan publik.[15]
Beberapa
hal yang dapat dilakukan dalam kaitannya dengan pelaksanaan peran serta
masyarakat dalam pembentukan qanun/qanun antara lain; dilakukannya Rapat Dengar
Pendapat Umum atau rapat-rapat lainnya yang bertujuan menyerap aspirasi
masyarakat, dilakukannya kunjungan oleh anggota DPRK untuk mendapat masukan
dari masyarakat, ataupun diadakannya seminar-seminar atau kegiatan yang sejenis
dalam rangka melakukan pengkajian atau menindak lanjuti berbagai penelitian
untuk menyiapkan suatu Rancangan Qanun.
Dalam pelaksanaannya
kadang masih terdapat berbagai penafsiran tentang siapa yang dimaksud dengan
istilah masyarakat. Masyarakat adalah setiap orang pada umumnya terutama
masyarakat yang ”rentan” terhadap
peraturan tersebut, setiap orang atau lembaga terkait, atau setiap lembaga
swadaya masyarakat yang terkait.[16]
Masyarakat Sipil menurut Robert N. Bellah terbentuk melalui tahapan-tahapan
sebagai berikut:
1. Masyarakat alam yaitu masyarakat tanpa aturan/bebas untuk bertindak tanpa
terikat aturan hukum.
2. Masyarakat politik yaitu masyarakat yang terikat oleh kepentingan kekuatan
politik kelompok/negara.
3. Masyarakat sipil yaitu masyarakat yang mempunyai kedaulatan untuk membuat,
mempengaruhi, dan mengawasi kebijakan umum, dan semua masyarakat kedudukannya
sama di muka hukum.[17]
Cara mewujudkan masyarakat sipil tersebut adalah melalui demokrasi. Sebab
demokrasi menjamin kebebasan masyarakat untuk berpartisipasi. Partisipasi[18] berarti ada peran serta atau keikutsertaan dalam mengawasi, mengontrol dan
mempengaruhi masyarakat dalam suatu kegiatan pembentukan peraturan mulai dari
perencanaan sampai dengan evaluasi pelaksanaan peraturan daerah. Oleh sebab itu
partisipasi masyarakat termasuk dalam kategori partisipasi politik.[19]
Apapun
konsep partisipasi yang diterapkan oleh pemerintah, setidaknya keterlibatan
masyarakat dapat memberikan legitimasi terhadap kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah dan menimbulkan kepercayaan adanya keberpihakan pemerintah terhadap
kepentingan masyarakat.
Peran
partisipasi masyarakat di Kota Banda Aceh
dalam pembentukan qanun secara
yuridis terakomodir dalam Pasal 238 Ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang
Pemerintahan Aceh yang menyebutkan bahwa Masyarakat berhak memberikan masukan
secara lisan atau tulisan dalam rangka penyiapan dan pembahasan rancangan qanun
dan dalam setiap tahapan penyiapan dan pembahasan qanun harus terjamin adanya
ruang partisipasi publik. Selanjutnya dalam Pasal 23 Qanun Aceh Nomor 3 Tahun
2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun yang menyebutkan bahwa :
(6)
Setiap tahapan penyiapan dan pembahasan qanun harus
terjamin adanya ruang partisipasi publik
(7)
Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau
tulisan dalam rangka penyiapan dan pembahasan rancangan qanun.
(8)
Masyarakat dalam memberi masukan harus menyebutkan
identitas secara lengkap.
(9)
Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat
pokok-pokok materi yang diusulkan.
(10)
Masukan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diagendakan dalam rapat penyiapan atau pembahasan rancangan qanun
Mekanisme pembuatan kebijakan daerah dalam bentuk Qanun
Kota Banda Aceh dimulai dari proses Prolek sebagai instrumen perencanaan
program pembentukan qanun, dalam hal ini Tim Prolek Eksekutif dan Tim Prolek
Legislatif duduk bersama untuk menetapkan Daftar Prioritas Prolek Masa
Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) dan Daftar Prioritas Prolek
setiap tahun, dalam daftar Prolek tersebut terangkum rancangan qanun yang
menjadi usul inisiatif legislatif dan yang menjadi usul inisiatif dari
eksekutif.
Menurut Nani,[20]
pelaksanan (Prolek) baru mulai dilaksanakan pada tahun 2008 sebagaimana
tercantum dalam Keputusan DPRK Banda Aceh Nomor 5 Tahun 2008 tentang Program Legislasi Kota
Masa Keanggotaan 2004-2009 dan Keputusan DPRK Banda Aceh Nomor 6 Tahun 2008
tentang Daftar Rancangan Qanun Prioritas Tahun Anggaran 2008.
Pengajuan rancangan qanun yang berasal dari eksekutif
langsung diajukan kepada ke DPRK melalui surat pengantar Walikota Banda Aceh
kepada Ketua DPRK, dimana pembahasan qanun di tingkat legislatif tidak melalui
Prolek.
Berdasarkan
hasil observasi yang dilakukan di Kota Banda Aceh selama terlibat dalam Tim Asistensi Qanun sejak tahun 2008 sampai tahun
2009, ruang partisipasi masyarakat dapat
disimpulkan antara lain sebagai berikut :
- Pemerintah mempublis jadwal setiap pembahasan Rancangan Qanun melalui
Wibesite Jaringan Dokumentasi dan
Informasi Hukum yang dikelola oleh Bagian Hukum Setda Kota Banda Aceh.
- Pemerintah Kota Banda Aceh melakukan Hearing Pendapat dengan Stakholder
terhadap pembentukan Rancangan Qanun sebelum di sahkan mejadi Qanun.
- Pemerintah Kota Banda Aceh
menjaring partisifasi masyarakat lewat Workshop, Semiloka, Focus Group
Discussion (FGD) terkait Ranqanun yang akan di bahas bersama DPRK
- Pemerintah Kota Banda Aceh mempublis Raqan tersebut pada Wibesite Pemko
dan Wibsite Jaringan Dokumentasi Hukum atau Harian Serambi Indonesia untuk
diminta masukan kepada masyarakat selama 7 hari sejak Rancangan qanun tersebut
di publis,
Menurut Nizwar,[21]
penetapan prolek tersebut dilalui melalui tahapan sebagai berikut:
7.
Rapat Internal Prolek eksekutif
8.
Workshop penjaringan informasi
dari SKPD
9.
Rapat kerja Internal eksekutif
10.
Rapat Kerja Antara Panleg dan Walikota
11.
Rapat Kerja Antara Panleg dan Walikota (Pembahasan draft)
12.
Konsultasi public
13.
Rapat Kerja Antara Panleg dan Walikota (Penyepakatan dan
pembahasan rancangan)
14.
Laporan Panleg kepada Paripurna
15.
Penetapan Panlek
Menurut Edi Saputra,[22]
ruang partisipasi Publik tetap di buka melalui Wibesite Pemerintah Kota Banda
Aceh dan Wibesite Jaringan Dokumentasi Hukum dan MIMS (Manajemen Informasi
Sistem).
Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan mengamanatkan "Perencanaan penyusunan
Peraturan Daerah dilakukan dalam suatu Program Legislasi Daerah". Pasal
ini merupakan landasan bagi eksistensi perlunya suatu perencanaan pembentukan
produk hukum qanun yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis.
Amanat tersebut diperkuat dan ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh dalam Pasal 35. Dalam pasal tersebut dinyatakan
“Tugas Panitia Legislasi sebagai pusat perencanaan pembentukan qanun adalah
menyusun program legislasi daerah yang memuat daftar urutan rancangan qanun
untuk 1 (satu) masa keanggotaan dan prioritas setiap tahun anggaran, yang
selanjutnya dilaporkan dalam Rapat Paripurna untuk ditetapkan dengan keputusan
DPRA/DPRK.” Tidak adanya penetapan qanun pajak dan retribusi daerah melalui
prolek menyebabkan tidak adanya ruang partisipasi masyarakat dalam tahap
perencanaan qanun, sebab dalam tahapan pelaksanaan prolek ini konsultasi publik
prolek merupakan wadah peran masyarakat dalam pelaksanaan pembentukan qanun.
Partisipasi Publik
didefinisikan sebagai aktivitas oleh warga Negara untuk mempengaruhi pembuatan
kebijakan oleh pemerintah.[23] Partisipasi Publik atau dengan sebutan masyarakat/ warga Negara dilaksanakan agar setiap kebijakan yang
dihasilkan tidak hanya menimbulkan dampak positif, manfaat bagi sekelompok
masyarakat tertentu saja, tapi dapat memberikan dampak positif bagi kelompok
masyarakat lainnya. Berbicara partisipasi Publik maka setiap
warga Negara mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan, akan tetapi kiranya hal ini akan merepotkan untuk itu
pembentuk peraturan perundang-undangan kiranya dapat membatasi.
Terkait dengan pembentukan qanun, Pemerintah
dalam hal ini perlu memberikan tekanan khusus bagi beberapa kelompok masyarakat
yaitu :[24]
a. Kelompok marginal (kaum miskin, kaum cacat,
anak-anak dan perempuan)
b. Kelompok yang terkena dampak langsung dari
peraturan.
Kepastian
keterlibatan Publik dalam pembentukan qanun selain diatur dalam Undang-undang
Nomor 10 Tahun 2004, secara khusus di Aceh dipertegas kembali dalam
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006, pada pasal 238 ayat (2) menyatakan bahwa
setiap tahapan penyiapan dan pembahasan qanun harus terjamin adanya ruang
partisipasi publik, lebih jauh lagi jaminan ketersediaan ruang partisipasi publik
dalam pembentukan qanun diatur secara khusus dalam Bab IV Qanun Aceh Nomor 3
Tahun 2007.
Partisipasi masyarakat dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan diatur pada Bab X pasal 53 yang menyatakan
bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam
rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan
peraturan daerah. Penjelasan Pasal 53 itu
menjelaskan bahwa hak masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan
Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Senada dengan hal tersebut, dalam Pasal 139 ayat
(1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah juga terdapat
ketentuan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis
dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Qanun. Penjelasan Pasal 139 (1) tersebut menjelaskan bahwa hak masyarakat dalam
ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPRD. Dari bunyi
pasal 53 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 dan pasal l39 ayat (1) Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004, serta Penjelasannya dapat diketahui bahwa:
1.
Masyarakat berhak memberikan
masukan dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Qanun;
2.
Masukan masyarakat tersebut
dapat dilakukan secara lisan atau tertulis; dan
3.
Hak masyarakat tersebut
dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPRD.
Partisipasi
masyarakat dalam penyusunan qanun merupakan hak masyarakat, yang dapat
dilakukan baik dalam tahap penyiapan maupun tahap pembahasan. Dalam konteks
pemungutan pajak dan retribusi daerah, setiap hak pada masyarakat menimbulkan
kewajiban pada pemerintah, sehingga haruslah jelas pengaturan mengenai
kewajiban Pemerintahan Daerah untuk memenuhi hak atas partisipasi masyarakat
dalam penyusunan qanun tersebut.
B. Kendala
yang dihadapi dalam partisipasi Masyarakat terhadap Proses Pembentukan Qanun Kota
Banda Aceh Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda
Aceh 2009-2029.
Proses pelibatan partisipasi masyarakat dalam pembentukan Qanun Kota Banda
Aceh Nomor 4 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh 2009-2029
merupakan sesuatu yang amat penting demi keberlangsungan hukum. Sehingga dengan
ruang partisipasi publik ini, diharapkan nantinya qanun tersebut betul-betul
berjalan sesuai keinginan. Dalam tatanan hukum, partisifasi masyarakat adalah
sesuatu yang amat penting. Hal ini dapat dilihat dengan lahirnya Undang-Undang
yang berkaitan dengan Partisipasi Publik, ini menandakan sebuah proses
demokrasi yang baik dalam pembentukan hukum kedepan. Akan tetapi partisipasi
masyarakat (partisipasi publik) bukanlah sesuatu hal yang tanpa kendala. Ini
dikarenakan aturan yang memerintahkan berkaiatan partisipasi masyarakat tidak
ada sanksi yang tegas berkaitan dengan ruang partisipasi masyarakat. Maka dari
itu terkadang eksekutif dan legislatif mengabaikan atau menganggap ruang
partisipasi masyarakat hanya dijadikan sebagai pelengkap saja atau dengan
bahasa lain dijadikan sebagai upaya untuk menjalankan mekanisme sebagaimana
yang diamanahkan oleh undang-undang.
Berdasarkan hasil kajian selama terlibat dalam Tim Asistensi Qanun Pemerintah Kota Banda Aceh dapat disimpulkan
kendala dimaksud sebagai berikut:
- Kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap pembuatan qanun
- Timbulnya budaya pesimis terhadap masyarakat akan
pentingnya partisifasi publik
- Masyarakat merasa apa yang disampaikan tidak di
tindak lanjuti oleh pengambil kebijakan.
- Responsibilitas masyarakat yang kurang.
- Masyarakat tidak mengetahui mekanisme penyaluran aspirasi.
- Masyarakat jarang membuka Wibesite Pemko atau
saluran informasi leawat jalur “Wibesite”
hanya di lakukan oleh segelintir orang.
- Adanya ketentuan partisipasi yang tidak mengikat
karena tidak adanya sanksi atas pengabaiannya.
BAB IV
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan penting antara lain:
1.
Ruang partisipasi masyarakat sangat berguna demi
terciptanya epektifitas terhadap pemberlakuan qanun.
2.
Pemerintah Kota Banda Aceh telah berusaha membuka ruang
partisipasi masyarakat melalui media massa dan elektronik (Harian Serambi
Indonesia, Wibesite Pemko dan Wibesite Jaringan Dokumetasi & Informasi
Hukum serta MIMS (Manajemen Informasi Sistem)
3.
Ada kesan masyarakat a priori terhadap ruang partisipasi
Publik ini terjadi di sebabkan masyarakat masih meragukan apakah ide-ide yang
di sampaikan lewat jalur partisipasi masyarakat diakomudir oleh pengambil
kebijakan.
B. Saran-saran
1.Pemerintah Kota Banda Aceh
diharapkan senantiasa membuka ruang partisipasi masyarakat terhadap pembentukan
qanun guna terciptanya epektifitas pemberlakuan qanun di Kota Banda Aceh.
2.Pihak-pihak LSM perlu
mendorong pemerintah sekaligus menberikan pencerahan kepada masyarakat agar
setiap pembentukan kebijakan pemerintah yang bersifat Rechgeling senatiasa
dilibatkan masyarakat yang bersentuhan langsung dengan qanun yang akan di
berlakukan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Arnstein, Sheri R, A Ladder of Citizen Participation, Amerikan
Institute of Planner Journal, 1969
Achmad Ali, Menguak
Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Gunung Agung, Jakarta,
2002,
Afrizal tjoetra dkk, Modul
untuk Perancangan Qanun, Merancang Qanun, Merancang Pembaharuan Aceh, ADF
Banda Aceh
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Gravindo Persada,
Jakarta, 2006
Bagir Manan,
Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah menurut UUD 1945, Pustaka Sinar
Harapan , Jakarta, 1994,
Daud Gaurauf, Belajar
Politik Bersama Masyarakat: Membangun demokrasi Menuju Masyarakat
Partisipasif, JeMP dan Pekab Wonoso, 2002
Hans
Kelsen, Teori Hukum Murni, Dasar-dasar
Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Empirik-Deskriptif, Alih Bahasa
:Somardi, Rimi Press, Jakarta, 1995
Henc Van Maarseveen. "Bevoegdheid" dalani PWC. Akkeiinaans, dkk, Algemene
Bcgnppen Van Staats Rccht, deel I, W.E.J.Tjeen Willink Zwolle, 1985.
Indroharto, Usaha
Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara , Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993
Koentjaraningrat,
Metode-metode Penelitian Masyarakat, Gramedia Jakarta, Edisi ketiga
1993,
Khairani dkk, Riset
Analisis Kebijakan Publik, Pusham UNSYIAH, 2009
Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan, Proses dan Pembentukannya, Kanisius:
Yogyakarta, 2007
Rifkin, Primary Health Care:
on Measuring Partisipation, Social Science and Medicine, 1988
B. Karya Ilmiah
dan Artikel di Internet
Andi Mattalatta, Sambutan
Lokakarya Menuju Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance) Melalui Peningkatan Kompetensi Aparatur
Pemerintahan Daerah Dalam Tertib Pembentukan Peraturan Daerah, Jakarta 19-21 November 2007
Ni Made Ari Yuliartini Griadhi dan Anak Agung Sri Utari, Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan
Peraturan Daerah, Artilel Imiah: Kertha Patrika, Vol 33 No.1 Januari 2008
Anwar Sadat, Masyarakat
dalam Penyusunan Produk Hukum, www.google,
partisipasi, 5 Nopember 2009
Rudi
Ismawan, Partisipasi Masyarakat dalam
Penetepan Kebijakan Daerah, www.google, 4
Nopember 2009
D. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
Undang-Undang Nomor 32 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir kalinya dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara
Pembentukan Qanun
[1] Pasal 2 ayat (1) huruf h Qanun Aceh Nomor
3 Tahun 2007 tentang tata cara pembentukan qanun
[4]Andi Mattalatta, Sambutan Lokakarya Menuju Tata Kelola
Pemerintahan yang Baik (Good Governance) Melalui Peningkatan Kompetensi
Aparatur Pemerintahan Daerah Dalam Tertib Pembentukan Peraturan Daerah,
Jakarta 19-21 November 2007
[5]Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004 diurutkan tingkatan peraturan perundangan-undangan mulai dari,
UUD, UU/Perpu, PP, Perpres, Qanun. Selanjutnya Qanun terdiri dari: Qanun
Provinsi, Qanun Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa atau nama lainnya.
[6] Walter Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum : Idealisme
Filosofis dan Problema Keadilan (Susunan II). Jakarta. PT. RajaGrafindo
Persada. 1994. hlm 51-61.
[7]Anwar Sadat, Masyarakat dalam penyusunan produk hukum, www.google.partisipasi masyarakat, 5
Nopember 2009
[8]Rifkin, Primary Health Care: on Measuring Partisipation, Social Science and
Medicine, 1988, Hlm.931-940
[9]Arnstein, Shery R, A Ladder of Citizen Participation, Amerikan
Institutet of Planners Journal, 1969, Hlm. 20.
[10]Rudi Ismawan, Partisipasi masyarakat dalam penetuan kebijakan
daerah, www. Google, 4 Nopember 2009
[11]Ni Made Ari Yuliartini Griadi dan Agung Sri Utami, Partisipasi Masyarakat dalam Pembenntukan Peraturan
Daerah, Hlm. 3. Artikel Ilmiah: Kertha Patrika Vo.33 No.1 Januari 2008
[12]Ibid.
[14] Edi Soeharto, Analisis Kebijakan Publik Panduan Praktis Pengkaji Masalah
dan Kebijakan social, Alfa Beta Bandung, 2005, Hlm. 13
[15] Ibid
[16] Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undagan,
Proses dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 2007, Hlm. 262-265
[17] Daud Gauraf, Belajar Politik Bersama Masyarakat:
Membangun Demokratis Menuju Masyarakat Partisipasif, JeMP dan Pekab Wonoso,
2002, Hlm. 60
[21] Nizwar, Staf Kasubbag Perundang-undangan pada Bagian Hukum Setda Kota Banda
Aceh, Wawancara tanggal 4 Nopember 2009.
[22]Edi Saputra, Kepala Subbag. Dokumentasi dan
Informasi Hukum pada Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kota Bada Aceh, Wawancara
Tanggal 5 Nopember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar