Oleh: Muhammad Syarif
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Kebijakan
penyelenggaraan kepariwisataan pada prinsipnya diarahkan untuk peningkatan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dalam rangka
mewujudkan masyarakat adil dan makmur melalui peningkatan pendapatan nasional,
perluasan dan pemerataan kesempatan usaha dan lapangan kerja. Untuk mewujudkan
maksud penyelenggaraan kepariwisataan itu,
diperlukan keterpaduan peranan pemerintah dan pemerintah daerah, badan
usaha dan masyarakat secara serasi sehingga dapat mewujudkan potensi pariwisata
nasional yang memiliki kemampuan daya saing baik ditingkat regional maupun
global.
Di samping itu, penyelenggaraan kepariwisataan harus memberi manfaat secara merata bagi setiap warga negara di seluruh tanah air. Pemerintah berkewajiban untuk menjamin agar domain kepariwisataan sebagai salah hak setiap warga negara dapat ditegakkan sehingga mendukung tercapainya peningkatan harkat dan martabat manusia dan peningkatan kesejahteraannya. Sekaligus kepariwisataan telah berkembang menjadi suatu fenomena global, menjadi kebutuhan dasar, serta menjadi bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus dihormati dan dilindungi.
Wisata Bahari menjadi idol Turis Asing |
Keindahan Pantai Barat-Selatan |
- Kemampuan untuk
mendorong dan meningkatkan perkembangan kehidupan ekonomi dan
sosial budaya;
- Nilai-nilai agama, adat istiadat, serta pandangan
dan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat;
- Kelestarian budaya dan mutu lingkungan hidup; dan
- Kelangsungan usaha wisata.
Lebih lanjut Pasal 7 Undang-undang
Nomor 10 Tahun 2009 mengungkapkan lingkup pembangunan kepariwisataan meliputi;
a) Industri Parawisata, b) Destinasi Parawisata, c) Pemasaran dan d)
Kelembagaan Kepariwisataan. Agar kondisi yang mendukung penyelenggaraan
kepariwisataan dapat terlaksana, maka
berdasarkan Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009
pembangunan kepariwisataan di daerah dilakukan berdasarkan Rencana Induk
Pembangunan Kepariwisataan Daerah (RIPKD) Provinsi dan Kabupaten/Kota yang
diatur dengan Peraturan Daerah.
Prasasti Kapal Apung |
Pantai Aceh Besar |
Kehadiran Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh telah
memberi ruang atau wadah bagi keistimewaan Aceh untuk dapat diaktulisasi kembali. Karenanya, maka
kebijakan pembangunan kepariwisataan di provinsi Aceh harus dilihat dalam
kerangka wilayah kekhususannya. Sehingga kebijakan-kebijakan kepariwisataan
dapat dilaksanakan dan tidak bertentangan satu sama lain (antara kebijakan
pusan dan daerah).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapatlah dirumuskan
permasalahannya sebagai berikut:
- Apakah kebijakan kepariwisataan dapat dilaksanakan
sesuai dengan harapan.
- Apakah yang menjadi kendala dalam pelaksanaan kebijakan
kepariwisataan di provinsi Aceh.
BAB II
LANDASAN
TEORITIS
A. Otonomi Daerah
Susunan
Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari dua tingkat, yaitu tingkat
pusat dan tingkat daerah. Susunan negara tingkat pusat mencerminkan seluruh
cabang-cabang pemerintahan negara dan fungsi kenegaraan pada umumnya. Di
tingkat daerah terbatas pada susunan penyelenggaraan pemerintahan (eksekutif)
dan unsur-unsur pengaturan (regeleren)
dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan.
Keberadaan susunan pemerintah daerah
(tingkat lebih rendah) merupakan salah satu sendi ketatanegaraan Republik
Indonesia. Hal ini secara eksplisit terlihat dalam Pasal 18 Undang-undang Dasar
1945 sebagai sumber penyelenggaraan pemerintahan tingkat lebih rendah.
Pasal 18:
(1)
Negara Republik Indonesia di bagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur
dengan undang-undang.
(2)
Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan.
(3)
Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota
memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui
pemilihan umum.
(4)
Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai
kepala pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.
(5)
Pemerintah daerah menjalan otonomi seluas-luasnya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
pemerintah pusat.
(6)
Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
(7)
Susunan dan tatacara penyelenggaraan pemerintahan daerah
diatur dalam undang-undang.
Pasal 18 A
(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan
kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman
daerah.
(2)
Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber
daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Pasal 18 B
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur
dengan undang-undang.
(2)
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.
Pantai Ulee Lheu |
Masjid Agung, Meulaboh-Aceh Barat |
Dalam perkembangan ketatanegaraan,
pemberian otonomi kepada daerah pada umumnya dikenal 2 (dua) sistem otonomi
yang pokok, yaitu:
1.
Sistem otonomi materiil atau pengertian rumah tangga
materiil (materuele huishoudingsbegrip);
2. Sistem otonomi formil, atau pengertian rumah tangga
formil (formeele huishoudingsbegrip).
Di samping itu, ada juga sistem lain yang merupakan
kombinasi antara kedua sistem itu,
yakni:
3. Sistem otonomi riil, atau pengertian rumah tangga riil (riele huishoudingsbegrip).[5]
Dalam sistem otonomi materiil, antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah ada pembagian tugas (wewenang dan
tanggung jawab) yang eksplisit (diperinci dengan tegas) dalam undang-undang.
Artinya otonomi daerah itu hanya meliputi tugas-tugas yang telah ditentukan
satu per satu, jadi bersifat definitif. Hal itu berarti pula, apa yang tidak
tercntum dalam undang-undang, tidak termasuk urusan pemerintah daerah otonom,
tetapi urusan pemerintah pusat.[6]
Di dalam pengertian sistem otonomi
formil, tidak ada perbedaan sifat antara urusan-urusan yang diselenggarakan
oleh pemerintah pusat dan oleh daerah-daerah otonom. Pembagian wewenang, tugas
dan tanggung jawab antara pusat dan daerah untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan tertentu tidak dibatasi secara positif atau ditetapkan secara
rinci.[7]
Pandangan yang dipakai dalam sistem ini
adalah tidak ada perbedaan sifat antara urusan yang diselenggarakan pusat dan
yang diselenggarakan daerah. Apa saja yang dapat diselenggarakan oleh pusat
pada dasarnya dapat pula diselenggarakan oleh daerah. Pembagian tugas, wewenang
dan tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus suatu urusan pemerintahan
semata-mata didasarkan pada keyakinan bahwa suatu urusan pemerintahan akan
lebih baik dan lebih berhasil kalau diurus dan diatur oleh satuan pemerintah
tertentu.[8]
Dalam sistem otonomi nyata ini
penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan kepada daerah didasarkan pada
faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan atau kemampuan yang riil
dari daerah maupun pemerintah pusat serta pertumbuhan masyarakat yang terjadi.
Oleh karena itu pemberian tugas dan kewejiban serta wewenang ini didasarkan
pada keadaan yang riil di dalam masyarakat, membawa konsekuensi bahwa tugas
atau urusan yang selama ini menjadi
wewenang pemerintah pusat dapat diserahkan kepada pemerintah daerah, dengan
memperhatikan kemampuan masyarakat daerah untuk mengaturnya dan mengurusnya
sendiri. Sebaliknya, tugas yang telah menjadi kewenangan daerah pada suatu
ketika, bilamana dipandang perlu dapat ditarik kembali oleh pemerintah pusat.[9]
B. Demokrasi
Menurut
Bagir Manan bahwa keperluan memberikan otonomi kepada daerah yaitu dalam rangka
melaksanakan dasar kedaulatan rakyat.[10]Paham
kedaulatan rakyat tercermin dalam Pasal 1 ayat (2) Undang Undang Dasar 1945
yang menyebutkan bahwa ”kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar. Diktum pasal tersebut bermakna bahwa agar
pemerintahan selalu dijalankan dengan tidak menyimpang dari keinginan rakyat.
Sebelum perubahan Pasal 18 UUD 1945,
menyebutkan pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk
susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan
mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak
asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Kata-kata dasar
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara tidak diragukan lagi
mengandung makna demokrasi.[11]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
prinsip kedaulatan rakyat melihat bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat,
sehingga dalam penyelenggaraan pemerintahan harus berpegang pada kehendak
rakyat. Kedaulatan rakyat atau kerakyatan secara harfiah berarti kekuasaan
tertinggi ada pada rakyat. Negara yang menempatkan kekuasaan tertinggi pada
rakyat disebut negara demokrasi. Demokrasi diartikan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat
dan untuk rakyat.[12]
Artinya, kekuuasaan itu pada pokoknya diakui berasal dari rakyat, dan karena
itu rakyatlah yang sebenarnya menentukan dan memberi arah serta yang
sesungguhnya menyelenggarakan kehidupan kenegaraan. Keseluruhan sistem
penyelenggaraan negara itu pada dasarnya juga diperuntukkan bagi seluruh rakyat
itu sendiri. Bahkan negara yang baik diidealkan pula agar diselenggarakan
bersama-sama dengan rakyat dalam arti dengan melibatkan masyarakat dalam arti
yang seluas-luasnya.
Kranenburg (dalam Kuntjoro Poerbopranoto)
menafsirkan kata ”democratie”
sebagai cara memerintah negara oleh
rakyat. Tidak digolongkan ke dalam pengertian demokrasi adalah pemerintahan
yang dilaksanakan oleh seseorang (absolute
monarchie) dan pemerintahan yang dilakkukan oleh golongan kecil rakyat
saja.[13]
Oleh karena itu, suatu negara yang
menjalankan demokrasi menurut Arend Lijphart yang dikutip oleh Husni Jalil,
apabila dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut:[14]
1.
Freedom to form and
joint organization
(ada kebebasan untuk membentuk dan menjadi anggota perkumpulan);
2.
Freedom of
expression
(ada kebebasan menyatakan pendapat);
3.
The right to vote (hak untuk
memilih);
4.
Eligibility gor
public office
(hak untuk dipilih);
5. The right of
political leaders to compete for support and votes (hak bagi bagi aktivis politik
untuk berkampanye untuk memperoleh dukungan atau suara);
6.
Alternative sources
of information
(terdapat berbagai sumber informasi);
7.
Free and fair
elections
(ada pemilihan yang bebas dan jujur)
8. Institutions for
making government policies depend on votes and other expressions of preference (semua lembaga
bertugas merumuskan kebijaksanaan pemerintah, harus tergantung pada keinginan
rakyat).
Bagaimana kaitan antara otonomi dengan dengan demokrasi, dalam hal ini Muh. Yamin menegaskan bahwa di
dalam susunan negara yang demokratis dibutuhkan pemencaran kekuasaan
pemerintahan bagian pusat sendiri (horizontal)
dan pembagian kekuasaan antara pusat dengan daerah. Asas demokrasi dan
desentralisasi berlawanan dengan asas yang hendak menghimpun segala-galanya
pada pusat pemerintahan.[15]
Pendapat di atas, menunjukkan otonomi
daerah dan desentralisasi merupakan bagian dari negara yang menganut faham
demokrasi, karena tanpa otonomi dan desentralisasi negara bukan lagi demokrasi
melainkan dapat menjadi otokrasi. Sistem desentralisasi dengan memberikan hak
otonomi kepada daerah-daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan bukan sekedar
reaksi terhadap sistem penyelenggaraaan pemerintahan Hindia Belanda yang serba
sentralistik, melainkan atas dorongan untuk membentuk ssuatu pemerintahan yang
demokratis dimana seluruh rakyat bertanggung jawab. Otonomi haruslah menjadi
salah satu sendi susunan pemerintahan yang demokratis, artinya di negara demokrasi dituntut adanya
pemerintahan yang memperoleh hak otonomi.
C. Negara Hukum
Dalam negara demokrasi yang
berkedaulatan rakyat, menempatkan rakyat sebagai pilar utama dalam penentuan
kebijakan negara mengandung arti bahwa kekuasaan rakyat bukanlah tidak tak
terbatas, melainkan dibatasi oleh hukum dan sekaligus pula menempatkan hukum di
atas kekuasaan atau supreme dibandingkan semua alat kekuasaan yang ada. Dengan
kata lain negara menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaannya dan
penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah
kekuasaan hukum.
Sebelum perubahan ketiga, dalam
Undang-Undang Dasar 1945 tidak terdapat istilah negara hukum, namun dalam
penjelasan Undang-Undang Dasarr 1945 terdapat istilah ”negara berdasarkan atas
hukum (Rechtsstaat). Setelah
perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 1 ayat (3), secara tegas
disebutkan bahwa ”Negara Indonesia adalah negara hukum”.[16]
Negara hukum mengandung unsur
pembatasan kekuasaan, sehingga pengertian mendasar dari negara hukum adalah
kekuasaan berdasarkan hukum dan semua orang sama di depan hukum. Dalam bahasa
lain negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan
penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah
kekuasaan hukum.
Dalam hal ini Abdul Hakim Nusantara,
mengatakan bahwa UUD 1945 menganut prinsip negara hukum (rechtsstaat) yang berorientasi pada prinsip demokrasi dan keadilan
sosial dan ada beberapa syarat untuk terlaksananya negara hukum:[17]
1. Adanya sistem pemerintahan negara yang didasarkan pada
asas kedaulatan rakyat;
2. Adanya pembagian kekuasaan yang seimbang antara
lembaga-lembaga pemerintah (eksekutif), legislatif dan yudikatif;
3. Adanya peran social
control anggota masyarakat untuk turut mengawasi pelaksanaan kebijaksanaan
pemerintah;
4.
Berlakunya asas supremasi hukum bahwa tindakan pemerintah
senantiasa didasarkan atas hukum positif
yang berlaku;
5. Adanya lembaga peradilan yang bebas dan mandiri dengan
diikuti peran masyarakat melakukan social
control;
6.
Adanya jaminan untuk perlindungan hak asasi manusia;
7.
Adanya sistem perekonomian yang menjamin pembangunan yang
merata bagi kemakmuran warga negara.
Philipus M.Hadjon, makna yang paling
mendalam dari negara hukum Indonesia
(Pancasila) adalah:[18]
- Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat
berdasarkan asas kemakmuran;
- Hubungan fungsional yang proporsional antara
kekuasaan-kekuasaan negara;
- Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan
peradilan merupakan sarana terakhir;
- Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Menurut faham klasik, negara hukum
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:[19]
- Ada UUD sebagai peraturan tertulis yang mengatur
hubungan antara pemerintah dan warganya;
- Ada pembagian kekuasaan (machtenscheiding) yang
secara khusus menjamin suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka;
- Ada pemencaran kekuasaan negara/pemerintah (spreiding van destaatsmacht);
- Ada jaminan terhadap hak asasi manusia;
- Ada jaminan persamaan di muka hukum dan jaminan
perlindungan hukum;
- Ada legalitas, pelaksanaan kekuasaan pemerintahan
harus didasarkan atas hukum.
Dari berbagai ciri negara hukum di
atas, ada beberapa yang berkaitan langsung dengan desentralisasi (otonomi),
dimana prinsip pemencaran kekuasaan merupakan suatu keharusan sebagaimana
diatur dalam Pasal 18 UUD 1945. Dengan kata lain secara konstitusional
pemencaran kekuasaan menurut UUD 1945 hendak dilakukan melalui desentralisasi.
Pemecahan kekuasaan menurut desentralisasi dilakukan melalui badan-badan
publik. Badan badan tersebut adalah badan yang mandiri pemdukung wewenang,
tugas dan tanggung jawab yang mandiri, sehingga organ-organ atau kelengkapan pemerintah
desentralisasi tidak berada dalam kedudukan hubungan berjenjang dengan
organ-organ satuan pemerintahan tingkat lebih atas.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Kebijakan
Kepariwisataan Dalam Kerangka Otonomi
Dalam sepanjang sejarah negara Republik
Indonesia senantiasa terjadi tolak tarik atau pasang surut dan pasang naik
secara bergantian antara desentralisasi dan sentralisasi kekuasaan. Pertukaran
pola itu selalu berkembang sejalan
dengan pergantian sistem politik. Desentralisasi dan otonomi cendrung menguat
ketika sistem politik tampil demokratis, sedangkan dekonsentrasi mengemuka
ketika sistem politik tampil otoriter.
Prinsip otonomi daerah dan
desentralisasi dalam hubungan kekuasaan
antara pemerintah pusat dan daerah merupakan salah satu cara untuk
mengimplementasi prinsip demokrasi. Artinya prinsip demokrasi itu harus
diimplementasikan melalui pemencaran kekuasaan baik secara horizontal maupun
secara vertikal. Suatu kekuasaan yang tidak dipencar bukanlah kekuasaan yang
dapat diterima di negara demokrasi, melainkan merupakan model kekuasaan yang
terjadi di negara-negara dengan sistem politik yang absolut atau otoriter.
Pemencaran kekuasaan secara horizontal
(kesamping) melahirkan lembaga-lembaga negara di tingkat pusat yang
berkedudukan sejajar seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif yang diatur
dengan mekanisme check and balances,
sedangkan pemencaran kekuasaan vertikal melahirkan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah otonom yang memikul hak desentralisasi.
Jika ditelaah desentralisasi memang
bukan satu-satunya bentuk implementasi dari prinsip demokrasi karena di dalam
sistem yang sentralistik pun demokrasi masih dapat dilaksanakan, tetapi adanya
desentralisasi dan otonomi daerah memberi jaminan yang lebih kuat bagi
pelaksanaan demokrasi di negara yang menganut bentuk susunan negara kesatuan.
Menurut Mahfud MD, meskipun secara
formal pemerintah orde baru menyebut ”otonomi” dan ”desentralisasi” sebagai
bagian sistem politik yang dibangunnya, sebenarya yang dibangun adalah
”sentralisasii dan otoriterisme. Desentralisasi dan otonomi menjadi semu dan
sekedar formalitas saja.[20]
Tolak tarik konfigurasi politik yang
demokratis dan otoriter terjadi
sepanjang sejarah republik Indonesia, sehingga pola hubungan pusat dan daerah
juga memberi kesan terjadi proses eksperimental karena selalu berubah-ubah
sejalan dengan perubahan konfigurasi politiknya. Ketika era reformasi lahir
sebagai pertanda tergesernya konfigurasi politik otoriter Orde Baru, dan
munculah konfigurasi politik yang demokratis.
Dalam keadaan demokratis ini makalah
terbukalah peluang desentralisasi dan otonomi. Di Provinsi Aceh melalui
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menjadi titik awal sebagai wadah bagi
penyelenggaraan keistimewaan Aceh yang sudah tertahan selama sekian lama.
Diikuti dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Sejak itu
keistimewaan Aceh menemukan legitimasi yuridiknya.
Berdasarkan Pasal 18 UUD 1945 membuka
kemungkinan penyelenggaraan pemerintahan di Aceh disesuaikan dengan sistem adat dan budayanya.Maka lahirlah
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Lebih lanjut sesuai
dengan perkembangan politik lokal, maka UU No.18 Tahun 2001 dicabut dan
digantikan dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Pasal 165 Undang-undang Nomor 11 Tahun
2006 memberi kewenangan kepada pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota mengelola
wisata dan pengelolaan kepariwisataan menurut undang-undang tersebut akan
diatur dengan Qanun. Akan tetapi sampai
hari ini Qanun tentang Kepariwisataan belum ada. Maka untuk itu kebijakan
kepariwisataan dapat dilihat dalam undang-undang nasional. Kebijakan kepariwisataan
secara nasional dituangkan dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang
Kepariwisataan dan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996 tentang
Penyelenggaraan Kepariwisataan. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 kemudian
dicabut dan digantikan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan.
ngelolaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca
Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
Selain sudah berusia hampir 20 tahun, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan menitik beratkan pada usaha pariwisata. Oleh karena itu, sebagai salah satu syarat untuk menciptakan iklim yang kondusif dalam pembangunan kepariwisataan yang bersifat menyeluruh dalam rangka menjawab tuntutan zaman akibat perubahan lingkungan strategis, baik eksternal maupun internal, pemerintah bersama DPR mengganti mengganti Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009.
Pengelolaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
Dari latar belakang pemikiran atas penggantian UU No 9 Tahun 1990 sebagaimana dikemukakan di atas, tentu saja konseksuensinya melahirkan perubahan paradigma, konsepsi dan perubahan regulasi dibidang kepariwisataan di Indonesia. Hal ini tercermin dari prinsip-prinsip penyelenggaraan kepariwisataan, yakni: (a). menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan lingkungan; b. menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal; (c). memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat, keadilan, kesetaraan, dan proporsionalitas; (d.) memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup; (e). memberdayakan masyarakat setempat; (f). menjamin keterpaduan antar sektor, antar daerah, antara pusat dan daerah yang merupakan satu kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah, serta keterpaduan antar pemangku kepentingan; (g). mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan internasional dalam bidang pariwisata; dan (h). memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.lolaa Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
usca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
olaan durusataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
Lumrah disetiap terjadi perubahan atau pergantian UU, maka dengan sendirinya akan mempengaruhi kebijakan dan regulasi dari bidang yang diatur UU bersangkutan. Sama halnya dengan diundangkannya UU No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan sebagai pengganti UU No.9 Tahun 1999, mau tidak mau daerah harus menyesuaikan diri pengaturan dan pengeloaan bidang kepariwisataan.
Pengelolaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
Disadari atau tidak di bawah UU No 9 Tahun 1990 kecenderungan kegiatan kepariwisataan memang lebih tertuju pada usaha pariwisata. Disetiap kali kita membicarakan soal kepariwisataan pikiran kita tertuju lepada objek-objek wisata dan disisi lain bagi pemerintah sendiri yang diharapkan usaha pariwisata diharapkan memberikan kontribusi bagi pendapatan negara/daerah, apakah dalam bentuk pajak, restribusi dan lain-lain.
Pengelolaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
Tidak ada yang salah memang dengan dominasi pembangunan kepariwisataan yang lebih menitik beratkan pada usaha pariwisata. Tetapi dari perjalanannya, usaha pariwisata tidak berjalan dengan mulus dan berkembang pesat. Banyak usaha-usaha pariwisata yang gulung timar atau berjalan ditempat dengan berbagai hambatan dan penyebab. Bahkan kunjungan wisata dan jumlah wisatawan yang selama ini sering dijadikan indikator untuk mengukur tingkat kemajuan dunia kepariwisataan tampaknya masih semu dan temporer.
ngelolaan dansataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
gelolaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
Kondisi itu tidak terlepas dari aturan hukum, kebijakan dan regulasi di bidang kepariwisataan selama ini setidaknya dibawah payung UU No.9 Tahun 1999 yang memang menempatkan pengaturan dan pengelolaan kepariwisataan yang dominan dari sudut usaha pariwisata. Dengan diundangkannya UU No 10 Tahun 2009,masalah-masalah yang dihadapi selama ini akan bisa teratasi dan pembangunan kepariwisataan lebih berkepastian. Hal ini setidaknya ditunjukkan UU No.10 tahun 2009 yang menyatakan bahwa pembangunan kepariwisataan meliputi: (a) . industri pariwisata; (b) . destinasi pariwisata; (c). pemasaran; dan (d) kelembagaan kepariwisataan.
Pengelolaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
Pembangunan kepariwisataan tersebut dilakukan berdasarkan rencana induk pembangunan kepariwisataan yang terdiri atas rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional, rencana induk pembangunan kepariwisataan provinsi, dan rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota. Ini berarti pada masa yang akan datang keberhasilan pembangunan kepariwisataan akan Sangat tergantung dari adanya rencana induk pembangunan kepariwisataan yang sekaligus menjadi pondasi dan pedoman bagi setiap pemangku kepentingan dunia kepariwisataan.
Selain sudah berusia hampir 20 tahun, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan menitik beratkan pada usaha pariwisata. Oleh karena itu, sebagai salah satu syarat untuk menciptakan iklim yang kondusif dalam pembangunan kepariwisataan yang bersifat menyeluruh dalam rangka menjawab tuntutan zaman akibat perubahan lingkungan strategis, baik eksternal maupun internal, pemerintah bersama DPR mengganti mengganti Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009.
Pengelolaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
Dari latar belakang pemikiran atas penggantian UU No 9 Tahun 1990 sebagaimana dikemukakan di atas, tentu saja konseksuensinya melahirkan perubahan paradigma, konsepsi dan perubahan regulasi dibidang kepariwisataan di Indonesia. Hal ini tercermin dari prinsip-prinsip penyelenggaraan kepariwisataan, yakni: (a). menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan lingkungan; b. menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal; (c). memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat, keadilan, kesetaraan, dan proporsionalitas; (d.) memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup; (e). memberdayakan masyarakat setempat; (f). menjamin keterpaduan antar sektor, antar daerah, antara pusat dan daerah yang merupakan satu kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah, serta keterpaduan antar pemangku kepentingan; (g). mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan internasional dalam bidang pariwisata; dan (h). memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.lolaa Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
usca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
olaan durusataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
Lumrah disetiap terjadi perubahan atau pergantian UU, maka dengan sendirinya akan mempengaruhi kebijakan dan regulasi dari bidang yang diatur UU bersangkutan. Sama halnya dengan diundangkannya UU No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan sebagai pengganti UU No.9 Tahun 1999, mau tidak mau daerah harus menyesuaikan diri pengaturan dan pengeloaan bidang kepariwisataan.
Pengelolaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
Disadari atau tidak di bawah UU No 9 Tahun 1990 kecenderungan kegiatan kepariwisataan memang lebih tertuju pada usaha pariwisata. Disetiap kali kita membicarakan soal kepariwisataan pikiran kita tertuju lepada objek-objek wisata dan disisi lain bagi pemerintah sendiri yang diharapkan usaha pariwisata diharapkan memberikan kontribusi bagi pendapatan negara/daerah, apakah dalam bentuk pajak, restribusi dan lain-lain.
Pengelolaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
Tidak ada yang salah memang dengan dominasi pembangunan kepariwisataan yang lebih menitik beratkan pada usaha pariwisata. Tetapi dari perjalanannya, usaha pariwisata tidak berjalan dengan mulus dan berkembang pesat. Banyak usaha-usaha pariwisata yang gulung timar atau berjalan ditempat dengan berbagai hambatan dan penyebab. Bahkan kunjungan wisata dan jumlah wisatawan yang selama ini sering dijadikan indikator untuk mengukur tingkat kemajuan dunia kepariwisataan tampaknya masih semu dan temporer.
ngelolaan dansataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
gelolaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
Kondisi itu tidak terlepas dari aturan hukum, kebijakan dan regulasi di bidang kepariwisataan selama ini setidaknya dibawah payung UU No.9 Tahun 1999 yang memang menempatkan pengaturan dan pengelolaan kepariwisataan yang dominan dari sudut usaha pariwisata. Dengan diundangkannya UU No 10 Tahun 2009,masalah-masalah yang dihadapi selama ini akan bisa teratasi dan pembangunan kepariwisataan lebih berkepastian. Hal ini setidaknya ditunjukkan UU No.10 tahun 2009 yang menyatakan bahwa pembangunan kepariwisataan meliputi: (a) . industri pariwisata; (b) . destinasi pariwisata; (c). pemasaran; dan (d) kelembagaan kepariwisataan.
Pengelolaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
Pembangunan kepariwisataan tersebut dilakukan berdasarkan rencana induk pembangunan kepariwisataan yang terdiri atas rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional, rencana induk pembangunan kepariwisataan provinsi, dan rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota. Ini berarti pada masa yang akan datang keberhasilan pembangunan kepariwisataan akan Sangat tergantung dari adanya rencana induk pembangunan kepariwisataan yang sekaligus menjadi pondasi dan pedoman bagi setiap pemangku kepentingan dunia kepariwisataan.
Persoalannya kemudian, kerberhasilan
itu ditentukan pula oleh sejauh mana pemerintah dan pemerintah daerah menyusun
rencana induk pembangunan kepariwisataan itu dan sekaligus menjadi tugas besar.
Rencana Induk pengembangan kepariwisataan itu secara nasional ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah dan untuk propinsi, kabupaten/kota ditetapkan dengan
Peraturan Daerah. Artinya, dalam kaitan ini pemerintah daerah tidak cukup hanya
memiliki Peraturan Daerah yang mengatur tentang penyelenggaraan dan restribusi
izin usaha pariwisata dan retribusi tempat rekreasi.
Pengelolaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
oleh BOY YENDRA TAMIN
Polaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
Apabila dalam UU yang baru pariwisata merupakan berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah, maka konsepsi ini tentu lebih luas konsepsi pariwisata yang selama ini dipahami sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata serta usaha–usaha yang terkait dibidang tersebut. Dalam konsepsi pariwisata yang baru dunia kepariwisataan melibatkan secara aktif masyarakat, pengusaha dan pemerintah (pusat/daerah) dengan tugas, peran, hak dan kewajiban masing-masing.
Pengelolaan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
ngelolaan dngurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
ngelolaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
Dengan adanya kewenangan yang jelas yang sudah ditetapkan dalam UU, maka tentu pemerintah daerah membentuk peraturan-peraturan daerah untuk meingimplentasi kewenangan yang sudah diberikan undang-undang. Adanya kewenangan yang jelas tentu seharusnya tidak ada lagi tumpang tindih pengaturan dan pengelolaan kepariwisataan sebagaimana yang terjadi selama ini. Pada sisi lain, pembuatan peraturan daerah dalam mengurus dan mengelola kepariwisataan yang sistematis akan memberikan kepastian berusaha dan kepastian hukum bagi setiap pemangku kepentingan pembangunan kepariwistaan. [21]
Pengelolaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
Dengan arah dan tujuan penyelenggaraan kepariwisataan berdasarkan UU No 10 Tahun 2009 mengalami orientasi yang berbeda tajam dibanding UU No 9 Tahun 1990. Penyelenggaraan kepariwisataan bukan lagi memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan dan meningkatkan mutu obyek dan daya tarik wisata, melainkan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menghapus kemiskinan, mengatasi pengangguran. Disamping melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya; memajukan kebudayaan; mengangkat citra bangsa; memupuk rasa cinta tanah air; memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan mempererat persahabatan antarbangsa.
Pengelolaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
Jika demikian, penyelenggaraan dan pengeloaan usaha pariwisata mau tidak mau harus diurus dan dikelola secara profesional. Hal ini tentu saja, peraturan-peraturan daerah yang memuat dan mengatur pengurusan dan pengelolaan kepariwistaan mengarah atau memuat usaha kepariwisataan bermutu dan sesuai dengan estándar yang sudah ditetapkan disamping sertifikasi. Artinya, peraturan-peraturan daerah mengenai kepariwisataan tidak dapat lagi sekedar mengejar restribusi atau pengendalian, melain berupa peraturan daerah yang memberikan perspektif bagi pengembangan dunia usaha pariwisata yang diposisikan untuk meningkatkan pertumbuhan ekónomo atau menghapus kemiskinan.
Pengelolaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
olaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa kebijakan kepariwisataan di provinsi Aceh di samping dapat dilakukan berdasar Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006, tetapi peraturan yang telah disebutkan di atas menjadi bagian penting untuk dilaksanakan. Artinya kebijakan kepariwisataan di provinsi Aceh dilaksanakan dengan prinsip menjunjung nilai-nilai budayadan agama, pemberdayaan masyarakat, peka terhadap isi global dan meperkukuh keutuhan NKRI.
nya UU
Pengelolaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
oleh BOY YENDRA TAMIN
Polaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
Apabila dalam UU yang baru pariwisata merupakan berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah, maka konsepsi ini tentu lebih luas konsepsi pariwisata yang selama ini dipahami sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata serta usaha–usaha yang terkait dibidang tersebut. Dalam konsepsi pariwisata yang baru dunia kepariwisataan melibatkan secara aktif masyarakat, pengusaha dan pemerintah (pusat/daerah) dengan tugas, peran, hak dan kewajiban masing-masing.
Pengelolaan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
ngelolaan dngurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
ngelolaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
Dengan adanya kewenangan yang jelas yang sudah ditetapkan dalam UU, maka tentu pemerintah daerah membentuk peraturan-peraturan daerah untuk meingimplentasi kewenangan yang sudah diberikan undang-undang. Adanya kewenangan yang jelas tentu seharusnya tidak ada lagi tumpang tindih pengaturan dan pengelolaan kepariwisataan sebagaimana yang terjadi selama ini. Pada sisi lain, pembuatan peraturan daerah dalam mengurus dan mengelola kepariwisataan yang sistematis akan memberikan kepastian berusaha dan kepastian hukum bagi setiap pemangku kepentingan pembangunan kepariwistaan. [21]
Pengelolaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
Dengan arah dan tujuan penyelenggaraan kepariwisataan berdasarkan UU No 10 Tahun 2009 mengalami orientasi yang berbeda tajam dibanding UU No 9 Tahun 1990. Penyelenggaraan kepariwisataan bukan lagi memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan dan meningkatkan mutu obyek dan daya tarik wisata, melainkan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menghapus kemiskinan, mengatasi pengangguran. Disamping melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya; memajukan kebudayaan; mengangkat citra bangsa; memupuk rasa cinta tanah air; memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan mempererat persahabatan antarbangsa.
Pengelolaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
Jika demikian, penyelenggaraan dan pengeloaan usaha pariwisata mau tidak mau harus diurus dan dikelola secara profesional. Hal ini tentu saja, peraturan-peraturan daerah yang memuat dan mengatur pengurusan dan pengelolaan kepariwistaan mengarah atau memuat usaha kepariwisataan bermutu dan sesuai dengan estándar yang sudah ditetapkan disamping sertifikasi. Artinya, peraturan-peraturan daerah mengenai kepariwisataan tidak dapat lagi sekedar mengejar restribusi atau pengendalian, melain berupa peraturan daerah yang memberikan perspektif bagi pengembangan dunia usaha pariwisata yang diposisikan untuk meningkatkan pertumbuhan ekónomo atau menghapus kemiskinan.
Pengelolaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
olaan dan Pengurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa kebijakan kepariwisataan di provinsi Aceh di samping dapat dilakukan berdasar Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006, tetapi peraturan yang telah disebutkan di atas menjadi bagian penting untuk dilaksanakan. Artinya kebijakan kepariwisataan di provinsi Aceh dilaksanakan dengan prinsip menjunjung nilai-nilai budayadan agama, pemberdayaan masyarakat, peka terhadap isi global dan meperkukuh keutuhan NKRI.
nya UU
No.10
Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
ngurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
B. Kendala Dalam Pelaksanaan Kebijakan Kepariwisataan di Aceh
ngurusan Kepariwisataan Pasca Diundangkannya UU No.10 Tahun 2009 oleh BOY YENDRA TAMIN
B. Kendala Dalam Pelaksanaan Kebijakan Kepariwisataan di Aceh
Berdasarkan beberapa hal yang telah
dikemukakan konsep dan pemikiran pembangunan dan pengembangan kepariwisataan,
menurut maka pemerintah daerah perlu melakukan revisi atau merumuskan kembali
pengaturan-pengaturan tentang kepariwisataan yang sudah ditetapkan dalam
peraturan daerah yang dibuat berdasarkan UU No 9 Tahun 1990, perlu segera
disesuaikan dengan UU No.10 Tahun 2009.
Apalagi dengan adanya kewajiban dari
Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengembangkan dan melindungi usaha mikro,
kecil, menengah, dan koperasi dalam bidang usaha pariwisata dengan cara:
membuat kebijakan pencadangan usaha pariwisata untuk usaha mikro, kecil,
menengah, dan koperasi; dan memfasilitasi kemitraan usaha mikro, kecil,
menengah, dan koperasi dengan usaha skala besar. Demikian pula ada pertintah
Undang-undang terhadap Pemerintah Daerah mengalokasikan sebagian dari
pendapatan yang diperoleh dari penyelenggaraan pariwisata untuk kepentingan
pelestarian alam dan budaya
Konsep kebijakan kepariwisataan yang
telah ditetapkan secara nasional dan lokal tidak dapat dilaksanakan sebagaimana
diharapkan oleh karena beberapa kendala:
- Qanun yang mengatur kepariwisataan di Aceh belum
ada;
- Bandar wisata Islam belum ada konsep pelaksanaannya
yang jelas;
- Pengalokasian dana untuk kepentingan kepariwisataan
oleh pemerintah daerah amat kecil;
- Fasilitas infrastruktur menuju destinasi wisata
tidak diperhatikan (terbengkalai)
- Promosi pariwisata masih sangat kurang, sehingga orang
berfikir syari’at Islam tidak boleh berwisata
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dengan arah dan tujuan penyelenggaraan kepariwisataan
berdasarkan UU No 10 Tahun 2009 mengalami orientasi yang berbeda tajam
dibanding UU No 9 Tahun 1990. Penyelenggaraan kepariwisataan bukan lagi memperkenalkan,
mendayagunakan, melestarikan dan meningkatkan mutu obyek dan daya tarik
wisata, melainkan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menghapus kemiskinan,
mengatasi pengangguran. Disamping melestarikan alam, lingkungan, dan sumber
daya; memajukan kebudayaan; mengangkat citra bangsa; memupuk rasa cinta tanah
air; memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan mempererat persahabatan
antarbangsa.
2. Kebijakan kepariwisataan dalam kerangka otonomi khusus di Aceh dilaksanakan sesuai dengan
prinsip-prinsip kepariwisataan nasional
dan memperhatikan kekhususan budaya dan agama atau ketentuan syariat Islam.P
B. Saran
- Pemerintah Aceh perlu menyusun Rencana Induk
Pengembagan Pariwisata dalam rangka Visit Years 2013.
- Kepada pemerintah agar segera mepersiapkan Qanun
Kepariwisataan sehingga pembangunan kepariwisataan di provinsi Aceh
memiliki landasan yuridisnya.
- Promosi pariwisata perlu ditingkatkan, sehingga
masyarakat (terutama masyarakat luar Aceh) memahami bahwa syari’at Islam
bukanlah penghalang untuk berwisata.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
A. Buku Teks
Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia, LBHI, Jakarta, 1998.
Bagir Manan, Menyongsong
Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi
Hukum, FH UII, Yogyakarta, 2001.
___________, Perjalanan
Historis Pasal 18 UUD 1945, Unsika, Krawang, 1993.
Bhenyamin Hoessein, Hubungan
Penyelenggaraan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, Makalah,
Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta, 1999.
Boy Yendra Tamin, Peraturan
Kepariwisataan, Makalah, Padang, 2009.
Husni Jalil, Eksistensi
Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dalam Negara Kesatuan RI
Berdasarkan UUD 1945, CV Utomo, Bandung, 2005.
Jimly Asshidiqie, Hukum
Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, Cet ke-II, Konstitusi Press,
Jakarta, 2005.
Krishna D.Darumurti dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah, Perkembangan Pemikiran, Pengaturan dan Pelaksanaan,
Cet II, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2003.
Kuntjoro Poerbopranoto, Sistem Pemerintahan Demokrasi, Eresco, Bandung, 1978.
Moh.Mahfud MD, Pergulatan
Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999.
Muh Yamin, Naskah
Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1982.
Philipus M.Hadjon,
Perlindungan Hukum Bagi Rakyat
Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987.
The Liang Gie, Pertumbuhan
Pemerintah Daerah di Negara Republik Indonesia, Cet III, Liberty,
Yogyakarta, 1995.
B. Peraturan
Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar