Misalkan ada suatu
kasus dimana, Anisa Subandari (perempuan) Warga Negara Indonesia (WNI) menikah dengan Raimond (laki-laki) seorang Warga Negara Asing (WNA) berkewarganegaraan
Amerika Serikat, dan telah menetap
di Indonesia selama 10 tahun. Kemudian rumah tangga mereka diguncang prahara akibat KDRT yang dilakukan
suaminya sehingga mengakibatkan istrinya lari dari rumah dan tinggal bersama
orang tua sang istri dengan membawa seorang anaknya yang berumur 6 tahun.
Setelah beberapa
bulan kemudian sang istri mengajukan gugatan hak asuh atas anaknya dengan
berdasarkan hukum perdata internasional ke PN Jakarta Selatan, serta melaporkan
tindak pidana ke Polda Metro Jaya dengan melaporkan KDRT.
Berdasarkan ilustrasi diatas ada beberapa
hal yang perlu kita identifikasi antara lain:
1. Tentukan titik taut primer dan titik taut sekundernya?
1. Tentukan titik taut primer dan titik taut sekundernya?
2.Bagaimana cara qualifikasi kasus tersebut dan menggunakan
hukum apa (lex causae)?
3. Apakah PN jak- Sel mempunyai kewenangan
mengadili?
Penjelasan Kasus:
Untuk menjawab kasus tersebut diatas,
kiranya perlu dilakukan langkah-langkah antara lain: menentukan titik taut (
titik taut primer dan titik taut skunder) serta menentukan kaulifikasi hukumnya. Untuk itu kiranya perlu
dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Titik taut primer berkaitan untuk menyatakan apakah
suatu peristiwa hukum merupakan peristiwa yang termasuk dalam bidang Hukum
Antar Tata Hukum (HATAH) atau tidak. Pertanyaan diatas berkaitan dengan bidang
HATAH, tepatnya HATAH ekstern yaitu
Hukum Perdata Internasional karena telah terjadi perkawinan campuran dimana
suami dan istri berbeda kewarganegaraan dan tunduk pada hukum yang berbeda.
Berdasarkan kasus yang diungkap dalam pertanyaan, titik-titik pertalian primer
dapat dilihat pada kewarganegaraan dan domisili
para pihak. Dalam kasus terdapat dua kewarganegaraan yang berbeda, yaitu pihak
wanita (istri) yang berkewarganegaraan Indonesia dan laki-laki (suami) yang
berkewarganegaraan Amerika. Dalam kasus disebutkan bahwa pasangan yang menikah
tersebut telah menetap di Indonesia selama sepuluh tahun,
dengan demikian laki-laki (suami) yang berkewarganegaraan Amerika tersebut
memilih berdomisili di Indonesia.
2. Titik taut sekunder berkaitan dengan "hukum mana yang harus
diberlakukan".
Titik-titik pertalian sekunder dalam
bidang Hukum Perdata Internasional adalah adanya pilihan hukum, tempat letaknya
benda (situs), tempat dilangsungkannya suatu perbuatan hukum, tempat terjadinya
pelanggaran hukum. Berdasarkan kasus, titik-titik pertalian sekunder dapat
dilihat pada tempat dilangsungkannya suatu perbuatan
hukum yaitu perkawinan, dan juga dapat dilihat pada tempat terjadinya
pelanggaran hukum yaitu tindakan kekerasan dalam rumah tangga.
Mengenai hukum mana yang harus diberlakukan, apakah hukum Indonesia atau hukum
negara bagian di Amerika Serikat, maka jawanbannya akan dijawab lebih lanjut
pada pertanyaan nomor tiga.
3. Kualifikasi menurut lex
causae adalah proses
pembagi-bagian fakta-fakta yang ada ke dalam istilah-istilah hukum yang sudah
tersedia, yang dilakukan menurut sistem hukum dari mana istilah atau
terminologi hukum tersebut berasal.
Pada kasus yang diilustrasikan, perkawinan
dilangsungkan oleh dua mempelai yang berbeda kewarganegaraan, mempelai wanita
berkewarganegaraan Indonesia dan mempelai laki-laki berkewarganegaraan Amerika.
Istilah "perkawinan" menurut hukum dari masing-masing pihak
bergantung pada hukum yang mengatur status personal seseorang.
Status personal adalah wewenang untuk
mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban hukum pada umumnya. Hukum yang
mengatur status personal dari wanita WNI adalah hukum Indonesia sebagaimana
diatur pada Pasal 16 AB (Algemeene Bepalingen) yang menentukan bahwa
setiap warga Indonesia dimana pun ia berada tetap tunduk pada ketentuan hukum
Indonesia. Oleh karena itu, menurut hukum yang berlaku di Indonesia, jika
ilustrasi kasus terjadi setelah tahun 1975 maka tunduk pada Undang-Undang
tentang Perkawinan No. 7 tahun 1974 (UUP). Perkawinan yang dalam kasus ini
memiliki fakta-fakta yaitu adanya perbedaan kewarganegaraan namun tidak
diketahui tempat pelaksanaan perkawinannya. Berdasarkan fakta-fakta yang ada,
perkawinan tersebut, menurut Undang-Undang Perkawinan (selanjutnya disebut UUP)
dapat diklasifikasikan sebagai "perkawinan campuran"
adalah perkawinan antara dua orang yang ada di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia
(Pasal 57 UUP).
Perlu dicatat bahwa tempat berlangsungnya
upacara perkawinan akan mempengaruhi proses kualifikasi perbuatan hukum.
Sebelumnya digunakan istilah hukum dari hukum yang mengatur perkawinan di Indonesia
dengan asumsi bahwa kalimat yang terdapat pada ilustrasi kasus "dan
telah menetap di Indonesia selama 10 tahun" menyatakan bahwa pasangan
tersebut melakukan perkawinan di Indonesia. Apabila upacara perkawinan
dilakukan di negara lain, fakta-fakta tersebut harus dikualifikasi kepada
istilah "perkawinan" menurut hukum di tempat berlangsungnya
perkawinan. Perlu diingat, hal-hal yang berkaitan dengan syarat-syarat
perkawinan dari para pihak yang berbeda kewarganegaraan, harus merujuk pada hukum
yang mengatur status personalnya masing-masing. Dimana hukum yang mengatur status personal dari wanita WNI adalah
hukum Indonesia sebagaimana diatur pada Pasal
16 AB (Algemeene Bepalingen) yang menentukan bahwa setiap warga Indonesia dimana pun ia berada
tetap tunduk pada ketentuan hukum Indonesia. Sedangkan, bagi laki-laki berkewarganegaraan Amerika, tunduk pada hukum
yang mengatur syarat-syarat perkawinan di negara bagian di Amerika yang jadi
domisilinya.
Pada kasus yang diilustrasikan, telah
terjadi kekerasan dalam rumah tangga (selanjutnya disebut dengan KDRT) yang
dialami oleh istri yang berkewarganegaraan Indonesia dimana tempat
berlangsungnya KDRT tersebut adalah dalam wilayah hukum negara Indonesia.
Dengan adanya fakta bahwa pelanggaran hukum dilakukan di Indonesia, dimana
pelaku kekerasan dan korban kekerasan berdomisili di Indonesia, maka
kualifikasi pelanggaran hukum tersebut dilakukan menurut istilah hukum dari
hukum yang mengatur mengenai KDRT di Indonesia. Oleh karena itu, perbuatan
pelanggaran hukum tersebut dapat dikualifikasikan sebagai kekerasan dalam rumah
tangga yang diatur dalam Undang-Undang
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga No. 23 tahun 2004 Pasal 1
angka 1 yang memiliki pengertian sebagai berikut.
"Kekerasan dalam
Rumah Tangga" adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.
Dalam hal pelaku kekerasan dalam rumah
tangga adalah warga negara Amerika, Hakim Indonesia yang mengadili perkara
dapat saja tiba pada kesimpulan bahwa kualifikasi kekerasan dalam rumah tangga
harus dilakukan berdasarkan sistem hukum Amerika. Oleh karena itu Hakim yang
mengadili perkara harus memilih hukum mana yang harus diberlakukan pada kasus
tersebut dengan melihat banyaknya titik pertautan dalam kasus. Dilihat dari
domisili pasangan yang berada di Indonesia dan tindak kekerasan yang terjadi di
Indonesia, kasus tersebut lebih banyak memiliki titik taut dengan hukum
Indonesia maka seharusnya diberlakukan hukum Indonesia.
3. Pertanyaan mengenai
kompetensi relatif PN-JakSel berkaitan dengan dimana suami-istri tersebut bertempat tinggal dan bila
mereka tinggal di Jaksel maka PN Jaksel berwenang untuk mengadilinya.
Namun, dalam kasus ini, tidaklah pasti
bahwa PN Jaksel tersebut berwenang. Karena yang terjadi adalah perkawinan
campuran sehingga penting untuk melihat dimana perkawinan tersebut
dilakukan dan apakah perkawinan tersebut dicatatkan pada kantor catatan sipil
atau tidak. Bila perkawinan dilangsungkan di Amerika Serikat, namun ketika
suami-istri tersebut kembali ke Indonesia, namun tidak mencatatkan
perkawinannya ke kantor catatan sipil, maka PN Jaksel tidak berwenang untuk
mengadilinya. Ataupun perkawinan dilangsungkan di Indonesia, tapi tidak
dicatatkan atau disebut juga perkawinan dibawah tangan, PN Jaksel tidak
berwenang untuk mengadili dan memutus mengenai hak asuh atas anak tersebut,
karena tidak dapat dibuktikan adanya perkawinan tersebut.
Maka mengenai kewenangan PN Jaksel untuk
mengadili, tergantung apakah perkawinan tersebut sudah dicatat pada kantor
catatan sipil atau belum. Dan berhubungan dengan pertanyaan mengenai hukum mana
yang harus diberlakukan dalam masalah ini apakah hukum Amerika atau hukum
Indonesia, adalah tergantung apakah perkawinan tersebut dicatat pada kantor
catatan sipil di Indonesia atau tidak. Bila memang dicatatkan, maka hukum
Indonesialah yang akan diberlakukan dan bila tidak dicatat, dan perkawinan
dilangsungkan di negara bagian di Amerika Serikat, maka hukum tersebutlah yang
berlaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar