16 Feb 2013

KASUS KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (suatu tinjauan atas perkawinan campuran)

Oleh : Muhammad Syarif[1]

Misalkan ada suatu kasus dimana, Anisa Subandari  (perempuan) Warga Negara Indonesia (WNI) menikah dengan Raimond (laki-laki) seorang Warga Negara Asing (WNA) berkewarganegaraan Amerika Serikat, dan telah menetap di Indonesia selama 10 tahun. Kemudian rumah tangga mereka diguncang prahara akibat KDRT yang dilakukan suaminya sehingga mengakibatkan istrinya lari dari rumah dan tinggal bersama orang tua sang istri dengan membawa seorang anaknya yang berumur 6 tahun.
Setelah beberapa bulan kemudian sang istri mengajukan gugatan hak asuh atas anaknya dengan berdasarkan hukum perdata internasional ke PN Jakarta Selatan, serta melaporkan tindak pidana ke Polda Metro Jaya dengan melaporkan KDRT.

Berdasarkan ilustrasi diatas ada beberapa hal yang perlu kita identifikasi antara lain:
1. Tentukan titik taut primer dan titik taut sekundernya?
2.Bagaimana cara qualifikasi kasus tersebut dan menggunakan hukum apa (lex causae)?
3. Apakah PN jak- Sel mempunyai kewenangan mengadili?

Penjelasan Kasus:
Untuk menjawab kasus tersebut diatas, kiranya perlu dilakukan langkah-langkah antara lain: menentukan titik taut ( titik taut primer dan titik taut skunder) serta menentukan  kaulifikasi hukumnya. Untuk itu kiranya perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Titik taut primer berkaitan untuk menyatakan apakah suatu peristiwa hukum merupakan peristiwa yang termasuk dalam bidang Hukum Antar Tata Hukum (HATAH) atau tidak. Pertanyaan diatas berkaitan dengan bidang HATAH, tepatnya HATAH ekstern yaitu Hukum Perdata Internasional karena telah terjadi perkawinan campuran dimana suami dan istri berbeda kewarganegaraan dan tunduk pada hukum yang berbeda. Berdasarkan kasus yang diungkap dalam pertanyaan, titik-titik pertalian primer dapat dilihat pada kewarganegaraan dan domisili para pihak. Dalam kasus terdapat dua kewarganegaraan yang berbeda, yaitu pihak wanita (istri) yang berkewarganegaraan Indonesia dan laki-laki (suami) yang berkewarganegaraan Amerika. Dalam kasus disebutkan bahwa pasangan yang menikah tersebut telah menetap di Indonesia selama sepuluh tahun, dengan demikian laki-laki (suami) yang berkewarganegaraan Amerika tersebut memilih berdomisili di Indonesia.
2. Titik taut sekunder berkaitan dengan "hukum mana yang harus diberlakukan".
Titik-titik pertalian sekunder dalam bidang Hukum Perdata Internasional adalah adanya pilihan hukum, tempat letaknya benda (situs), tempat dilangsungkannya suatu perbuatan hukum, tempat terjadinya pelanggaran hukum. Berdasarkan kasus, titik-titik pertalian sekunder dapat dilihat pada tempat dilangsungkannya suatu perbuatan hukum yaitu perkawinan, dan juga dapat dilihat pada tempat terjadinya pelanggaran hukum yaitu tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Mengenai hukum mana yang harus diberlakukan, apakah hukum Indonesia atau hukum negara bagian di Amerika Serikat, maka jawanbannya akan dijawab lebih lanjut pada pertanyaan nomor tiga.
3. Kualifikasi menurut lex causae adalah proses pembagi-bagian fakta-fakta yang ada ke dalam istilah-istilah hukum yang sudah tersedia, yang dilakukan menurut sistem hukum dari mana istilah atau terminologi hukum tersebut berasal.
Pada kasus yang diilustrasikan, perkawinan dilangsungkan oleh dua mempelai yang berbeda kewarganegaraan, mempelai wanita berkewarganegaraan Indonesia dan mempelai laki-laki berkewarganegaraan Amerika. Istilah "perkawinan" menurut hukum dari masing-masing pihak bergantung pada hukum yang mengatur status personal seseorang.
Status personal adalah wewenang untuk mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban hukum pada umumnya. Hukum yang mengatur status personal dari wanita WNI adalah hukum Indonesia sebagaimana diatur pada Pasal 16 AB (Algemeene Bepalingen) yang menentukan bahwa setiap warga Indonesia dimana pun ia berada tetap tunduk pada ketentuan hukum Indonesia. Oleh karena itu, menurut hukum yang berlaku di Indonesia, jika ilustrasi kasus terjadi setelah tahun 1975 maka tunduk pada Undang-Undang tentang Perkawinan No. 7 tahun 1974 (UUP). Perkawinan yang dalam kasus ini memiliki fakta-fakta yaitu adanya perbedaan kewarganegaraan namun tidak diketahui tempat pelaksanaan perkawinannya. Berdasarkan fakta-fakta yang ada, perkawinan tersebut, menurut Undang-Undang Perkawinan (selanjutnya disebut UUP) dapat diklasifikasikan sebagai "perkawinan campuran" adalah perkawinan antara dua orang yang ada di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia (Pasal 57 UUP).
Perlu dicatat bahwa tempat berlangsungnya upacara perkawinan akan mempengaruhi proses kualifikasi perbuatan hukum. Sebelumnya digunakan istilah hukum dari hukum yang mengatur perkawinan di Indonesia dengan asumsi bahwa kalimat yang terdapat pada ilustrasi kasus "dan telah menetap di Indonesia selama 10 tahun" menyatakan bahwa pasangan tersebut melakukan perkawinan di Indonesia. Apabila upacara perkawinan dilakukan di negara lain, fakta-fakta tersebut harus dikualifikasi kepada istilah "perkawinan" menurut hukum di tempat berlangsungnya perkawinan. Perlu diingat, hal-hal yang berkaitan dengan syarat-syarat perkawinan dari para pihak yang berbeda kewarganegaraan, harus merujuk pada hukum yang mengatur status personalnya masing-masing. Dimana hukum yang mengatur status personal dari wanita WNI adalah hukum Indonesia sebagaimana diatur pada Pasal 16 AB (Algemeene Bepalingen) yang menentukan bahwa setiap warga Indonesia dimana pun ia berada tetap tunduk pada ketentuan hukum Indonesia. Sedangkan, bagi laki-laki berkewarganegaraan Amerika, tunduk pada hukum yang mengatur syarat-syarat perkawinan di negara bagian di Amerika yang jadi domisilinya.
Pada kasus yang diilustrasikan, telah terjadi kekerasan dalam rumah tangga (selanjutnya disebut dengan KDRT) yang dialami oleh istri yang berkewarganegaraan Indonesia dimana tempat berlangsungnya KDRT tersebut adalah dalam wilayah hukum negara Indonesia. Dengan adanya fakta bahwa pelanggaran hukum dilakukan di Indonesia, dimana pelaku kekerasan dan korban kekerasan berdomisili di Indonesia, maka kualifikasi pelanggaran hukum tersebut dilakukan menurut istilah hukum dari hukum yang mengatur mengenai KDRT di Indonesia. Oleh karena itu, perbuatan pelanggaran hukum tersebut dapat dikualifikasikan sebagai kekerasan dalam rumah tangga yang diatur dalam Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga No. 23 tahun 2004 Pasal 1 angka 1 yang memiliki pengertian sebagai berikut.
 "Kekerasan dalam Rumah Tangga" adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Dalam hal pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah warga negara Amerika, Hakim Indonesia yang mengadili perkara dapat saja tiba pada kesimpulan bahwa kualifikasi kekerasan dalam rumah tangga harus dilakukan berdasarkan sistem hukum Amerika. Oleh karena itu Hakim yang mengadili perkara harus memilih hukum mana yang harus diberlakukan pada kasus tersebut dengan melihat banyaknya titik pertautan dalam kasus. Dilihat dari domisili pasangan yang berada di Indonesia dan tindak kekerasan yang terjadi di Indonesia, kasus tersebut lebih banyak memiliki titik taut dengan hukum Indonesia maka seharusnya diberlakukan hukum Indonesia.
3. Pertanyaan mengenai kompetensi relatif PN-JakSel berkaitan dengan dimana suami-istri tersebut bertempat tinggal dan bila mereka tinggal di Jaksel maka PN Jaksel berwenang untuk mengadilinya.
Namun, dalam kasus ini, tidaklah pasti bahwa PN Jaksel tersebut berwenang. Karena yang terjadi adalah perkawinan campuran sehingga penting untuk melihat dimana perkawinan tersebut dilakukan dan apakah perkawinan tersebut dicatatkan pada kantor catatan sipil atau tidak. Bila perkawinan dilangsungkan di Amerika Serikat, namun ketika suami-istri tersebut kembali ke Indonesia, namun tidak mencatatkan perkawinannya ke kantor catatan sipil, maka PN Jaksel tidak berwenang untuk mengadilinya. Ataupun perkawinan dilangsungkan di Indonesia, tapi tidak dicatatkan atau disebut juga perkawinan dibawah tangan, PN Jaksel tidak berwenang untuk mengadili dan memutus mengenai hak asuh atas anak tersebut, karena tidak dapat dibuktikan adanya perkawinan tersebut.
Maka mengenai kewenangan PN Jaksel untuk mengadili, tergantung apakah perkawinan tersebut sudah dicatat pada kantor catatan sipil atau belum. Dan berhubungan dengan pertanyaan mengenai hukum mana yang harus diberlakukan dalam masalah ini apakah hukum Amerika atau hukum Indonesia, adalah tergantung apakah perkawinan tersebut dicatat pada kantor catatan sipil di Indonesia atau tidak. Bila memang dicatatkan, maka hukum Indonesialah yang akan diberlakukan dan bila tidak dicatat, dan perkawinan dilangsungkan di negara bagian di Amerika Serikat, maka hukum tersebutlah yang berlaku.



[1]Bahan diskusi Kapsel Hukum Perdata Internasional  dibawah asuhan Prof. DR. Amiruddin A.Wahab, S.H

Tidak ada komentar: