Oleh : Muhammad Syarif
Tatkala Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia
memproklamirkan kemerdekaan negara Indonesia (17 Agustus 1945) pada saat itulah
sebenarnya sistem hukum nasional Indonesia mulai dibangung[1].
Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib
Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Perundangan Republik Indonesia
mengungkapkan mementum tersebut dengan kata-kata: ”Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia yang dinjatakan oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama Bangsa
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1954 adalah detik pendjebolan tertib hukum
nasional tertib hukum Indonesia”.
Kalau kita berbicara sistem hukum maka tentu saja kita
pahami sebagai suatu organ yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang
selalu pengaruh mempengaruhi dan terkait satu sama lainnya oleh satu atau
beberapa asas. Donald Black
menyebutkan hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah. Sehingga hukum adalah
sistem kontrol sosial yang didalamnya diatur tentang struktur, lembaga dan
proses kontrol sosial tersebut.[2]
Menurut Sri Soemantri dewasa ini ada
5 sistem hukum yang berkembang
di dunia saat ini, sistem hukum tersebut adalah :[3]
1. Sistem Hukum Anglosaxon atau Common law
yang dipelopori oleh Inggris, sistem ini juga dianut atau diikuti oleh
negara-negara jajahan Inggris lainnya seperti Amerika Serikat, Australia,
India, Malaysia, Singapura dan sebagainya.
2.
Sistem
Hukum Hukum Eropa Kontinental atau Civil Law. Sistem ini dipelopori oleh
Perancis, yang kemudian dianut oleh negara jajahannya seperti Belanda, Jerman,
Swiss. Termasuk Indonesia yang merupakan jajahan
Belanda.
3.
Sistem Hukum Islam, dimana
sistem hukum Islam ini berasal dari ajaran Allah SWT, sumber hukum utama adalah
Alquran dan hadist. Hakim atau Qadhi memutuskan perkara bersumber pada Alquran
dan hadist. Apabila tidak ditemukan dasar hukum pada sumber utama maka hakim
mengambil sumber lain yakni qiyas (persamaan Illat), dan ijma’ (kesepakatan
ulama).
4.
Sistem hukum sosialis, sistem
ini dianut oleh negara-negara berpaham sosialis-komunis.
5.
Sistem Hukum China , sistem ini dianut oleh negara China
Dari kelima sistem hukum tersebut Indonesia menganut sistem hukum Eropa
Kontinental, hal ini karena Indonesia merupakan negara jajahan Belanda,
dengan demikian maka sistem hukum Indonesia mengikuti hukum kolonial Belanda
yakni Eropa kontinental.
Lawren M. Friedman menyebutkan sistem hukum tidak saja merupakan perintah
atau larangan, tapi lebih dari pada itu sebagai serangkaian aturan yang bisa
menunjang, meningkatkan, mengatur dan menyuguhkan cara untuk mencapai tujuan.[4]
Sistem hukum Indonesia sangat terpengaruh dengan
sistem hukum kolonial. Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945 menegaskan bahwa “Segala Badan Negara dan Peraturan yang
ada masih langsung berlaku selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Ini artinya sistem hukum
Indonesia adalah sistem hukum Belanda, yaitu ketentuan yang berlaku sejak jaman
Belanda. Kemudian setelah merdeka Indonesia menginginkan sistem hukum Indonesia
sebenarnya apa yang ada dalam UUD 1945, karena didalamnya sudah ada sistem
pemerintahan, sistem perundang-undangan, sistem peradilan dan sebagainya.
Tetapi ada juga ketentuan-ketentuan yang lama yang masih tetap berlaku selama
sebelum di ubah, contohnya KUHP.
Sistem hukum di Indonesia secara struktural mempunyai
banyak kesamaan dengan sistem hukum ketika kolonialisme Belanda masih bercokol
di Nusantara. Tetapi, struktur hukum Indonesia tersebut sekarang ini
dilaksanakan oleh bangsa Indonesia, bukan oleh bangsa Belanda. Hal ini penting
artinya bagi hukum adat Indonesia, karena hukum adat mudah terpengaruh oleh
cita-cita imajinasi kaum elite Indonesia yang menginginkan perubahan, termasuk
perubahan dalam hukum waris adat Hukum adat pada zaman Hindia Belanda
ditempatkan sebagai bagian kehidupan hukum kolonial.[5]
Berdasarkan pandangan sistemik, maka dalam Sistem
Hukum Nasional yang berlaku di Indonesia, adalah Sistem Hukum Nasional yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, maka setiap bidang hukum
yang akan merupakan bagian dari Sistem Hukum Nasional wajib bersumber pada
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.[6]
Surnayarti Hartono membuat klasifikasi
corak sistem hukum yang berlaku di Indonesia sampai setelah berlakunya IS,
sebagaimana tergambar dalam tabel di bawah ini[7]:
Keadaan sebelum Abad ke-14
|
Keadaan pada Abad ke-14
|
Keadaaan pada Abad ke-17
|
Keadaan setelah IS
(S.1855 No.2)
|
Berlakunya
hukum adat (asli Indonesia) yang bersifat komunal dan tidak tertulis)
|
Terdapat
unsur:
Hukum
adat (asli) dan resepsi atas Hukum Agama Hindu dan Hukum Islam
|
Terdapat
Unsur:
Hukum
adat (asli) dan resepsi atas; Hukum agama Hindu, Hukum Islam, Hukum agama
Kristen/Katolik
|
Terdapat
unsur:
Hukum
adat (asli), Hukum Islam, Hukum Barat
|
Sunaryati Hartono mencatat, bahwa sampai abad ke-14 keadaan sistem hukum di
Indonesia masih sepenuhnya Asli karena belum mendapat masukan dari hukum-hukum
agama, khususnya Hindu dan Islam. Menurutnya sistem hukum ketika itu mungkin
hanya memiliki dua unsur yang sama yaitu sifat kekeluargaan (komunitas) dan
tidak tertulis (dengan pengecualian Hukum Majapahit, Hukum Wadjo dan beberapa
daerah lainnya).
Dengan masuknya agama Islam ke Nusantara pada abad ke-14, maka muncul tiga
corak sistem hukum di Indonesia[8].
Pertama ada daerah-daerah yang
banyak meresap unsur-unsur agama Islam dalam bentuk hukum adatnya seperti;
Aceh, Banten, Sulawesi Selatan dan Lombok. Kedua
ada pula yang lebih banyak mempertahankan sifat keasliannya seperti; Nias
dan Mentawai, Toraja dan Asmat). Ketiga ada
yang tetap mempertahankan agama Hindu seperti; Jawa Tengah dan Bali.
Kondisi sistem hukum di Indonesia setelah
masuknya agama Islam pada Abad ke-14 yang oleh Sutan Takdir Alisjahbana
kondisai tatanan hukum dicirikan sebagai ”tiga lapisan budaya” (Indonesia asli,
Hindu dan Islam).
Perkembangan selanjutnya terjadi pada Abad ke-17,
tatkala agama Kristen/Katolik masuk ke Indonesia, dibawah bangsa Portugis,
Belanda dan Eropa lainnya. Pengaruhnya antara lain terjadi di Batak, Sulawesi
Utara, Maluku, Irian Jaya, Flores dan Timor.[9] Secara Nasional pengaruh hukum
agama Kristen/Katolik seperti halnya juga hukum agama Hindu dan Budha dapat
dikatakan kurang signifikan di bandingkan dengan hukum Islam. Hukum-hukum Agama
selain Islam biasanya terbatas pengaruhnya yakni di lingkungan internal
penganutnya dalam lapangan hukum keluarga, khususnya perkawinan. Sunaryati
menyatakan bahwa setelah IS tidak berlaku lagi, yakni sesudah ia digantikan
oleh Pancasila, maka komposisi unsur-unsur dalam sistem hukum Indonesia juga
berubah. Momentum pergantian itu adalah
pada saat Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945.
Lawrence M. Friedman menyebutkan sitem hukum tidak saja merupakan
serangkaian larangan atau perintah, tetapi lebih dari itu sebagai serangkaian
aturan yang bisa menuunjang, meningkatkan, mengatur dan menyuguhkan cara untuk
mencapai tujuan. Negara Indonesia mengenal beberapa sistem hukum antara lain:
Sistem Hukum Adat, Sistem Hukum Islam, Sistem Hukum Kolonial dan Sistem Hukum
Nasional.[10]
Secara sistemik sistem hukum nasional Indonesia adalah sistem hukum yang bersumber
pada Pancasila dan UUD 1945.
Menurut Profesor Natabaya, Sistem Hukum Nasional berdasarkan Pasal II
Aturan Peralihan UUD 1945 plus dipengaruhi oleh sistem hukum kolonial. Walaupun
setelah kemerdekaaan, kita berusaha mencari sistem hukum Indonesia.[11]
Selanjutnya khusus untuk Provinsi Aceh, dengan
diberlakukan Undang-undang
Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah
Istimewa Aceh, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Naggroe Aceh Darussalam,
Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000 tentang
Pelaksanaan Syariat Islam dan beberapa Qanun Provinsi yang telah berlaku saat
ini (Qanun No.11 Tahun 2002 tentang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam, Qanun No.12
Tahun 2003 tentang Minuman Khamar, Qanun No.13 Tahun 2003 tentang Maisir
(perjudian), Qanun No.14 Tahun 2003 tentang Khalwat) dimana disebutkan bahwa
untuk Provinsi NAD berlaku hukum syariat, maka sistem hukum di daerah NAD telah
menjadi sistem hukum Islam.[12]
Sejalan
dengan lahirnya Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,
dimana Nomenklatur Nanggroe Aceh berubah menjadi Pemerintah Aceh. Berkaitan dengan penerapan Hukum Islam dijelaskan
dalam Pasal 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 137,
138, 139 dan 140.
Jika
di lihat dari segi Tiori Resepsi di Indonesia, Eksistensi sistem hukum Islam
dan adat memunculkan 3 konsep tiori resepsi yaitu[13]:
a. Teori Reception in Complexu yaitu
setiap penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing (LWC.Van den Berg); ada
pengadilan agama (priesterrad) disamping landraad.
b. Teori Receptie (van Vollenhoven dan
Snouck Hugronye) yaitu hukum Islam berlaku bagi orang Islam bila diterima dan
telah menjadi hukum adat mereka.
c. Teori Receptio A Contrario yaitu
hukum adat baru berlaku bila tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Sejumlah Aturan agama Islam yang telah dijadikan
hukum positif di Indonesia
Kenyataan Undang-Undang agama Islam
berlaku bagi penduduk Asli bangsa Indonesia yang sebenarnya telah berjalan lama
sebelum Tahun 1855 itu dirumuskan dalam bentuk Undang-Undang. Dengan dikeluarkannya Regeering Reglement
1855 itu maka keadaan yang telah ada itu lebih diperkokoh dan diperkuat dengan
peraturan perundang-undangan.
Dalam Reglement
op het beleid der Regeering van Nederlandsch Indie, dipendek dengan
Regeeringsreglement (R.R) yang dimuat dalam Stbl. Belanda 1854: 129 atau
Stbl.Hindia Belanda 1855:2 berlakunya Undang-Undang Islam bagi Indonesia itu
telah di tegaskan Pasal 75 R.R Stbl. Hindia Belanda 1855: 2 yang berbunyi dalam
ayat (3) oleh Hakim Indonesia hendaknya diperlakukan undang-undang agama[14]
dan kebiasaan penduduk Indonesia. Ayat (4) berbunyi: Undang-Undang Agama,
Instelling dan kebiasaan itu juga dipakai untuk mereka hakim eropa pada
pengadilan yang lebih tinggi andai kata terjadi hoger beroep atau permintaan
pemeriksa banding.
Lebih
lanjut adapun Aturan Agama Islam
yang telah di jadikan hukum Positif di Indonesia antara lain:
¨ Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
Hukum Perkawinan
¨ Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama
¨ Undang-Undang No.38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat
¨ Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan yang memberikan peluang eksisnya Perbankan Syariah di Indonesia
¨ Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang
Perubahan UU No.7 Tahun 1992, dimana ini masa booming pertumbuhan Bank Syari`ah
di Indonesia.[15]
¨ Undang-Undang No. 17 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji
¨ Undang-Undang No.44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh.
¨ Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang
Otsus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
¨
Undang-Undang No.11 Tahun 2006
Tentang Pemerintahan Aceh
¨ Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari`ah.
Benturan Antar Sistem Hukum
Dalam konteks pluralitas masyarakat Indonesia, sangat di mungkinkan coalition
of norm atau benturaan norma sebagai berikut:
1. Kontraksi antara
hukum Islam dengan hukum positif.
2. Kontraksi antara
hukum Islam dengan adat atau urf.
3. Kontraksi antara
hukum positif dengan hukum adat.
Sebagai contoh terjadinya kontradiksi antar hukum Islam dengan hukum
positif bahwa jika seseorang yang terikat pernikahan melakukan zina, menurut
syariat Islam harus dirajam atau dilempar dengan batu sampai mati dan apabila
pelaku zina belum terikat pernikahan di hukum dengan cambuk seratus kali.
Penerapan hukum tersebut tidak bisa dibenarkan menurut hukum positif. Contoh
lain perbedaan konstruksi hukum mengenai zina antara konsep Islam dengan KUHP
sebagai hukum positif. Zina menurut hukum Islam pelakunya tidak mensyaratkan
terikat oleh perkawinan sedangkan KUHP sebaliknya yakni salah satu pelaku atau
keduanya terikat perkawinan.
Apabila kita merujuk kepada Al-urf / Al-Adat / Al-Ta’ammul, sebagai
salah satu metode dalam penetapan hukum, persoalan adat di Indonesia cukup
menarik untuk dikaji. Apakah semua hukum adat dapat diadopsi menjadi hukum
syara` atau kaidah lain. Sikap Islam terhadap adat, adalah jelas bahwa adat
kebiasaan yang benar (al-adat al shahihah) yang dapat diadopsi ke dalam
hukum Islam.
Aceh juga rentan terhadap benturan norma. Sebagai contoh kongkrit Qanun
No.14 Tahun 2003 tentang Khalwat. Dimana hukum adat masyarakat setempat lebih
dominan. Sehingga benturan itu sulit di hindari. Oleh karena itu diperlukan
langkah-langkah yang tepat untuk mengakomudir norma-norma yang mengakar terjadi
di masyarakat untuk di jadikan hukum positif. Budaya lokal perlu di respon
dalam pembentukan hukum. Solusinya adalah dengan melakukan upaya hukum
progresif dan Responsif.[16]
Simposium tahun 1975 mengenai pentingnya
sejarah hukum
Perbincangan sejarah hukum mempunyai arti penting
dalam rangka pembinaan hukum nasional, karena dalam pembinaan hukum tidak saja
memerlukan bahan-bahan tentang perkembangan hukum masa kini saja, tetapi juga
bahan-bahan mengenai perkembangan hukum masa lampau. Melalui sejarah hukum kita
akan mampu menjajaki berbagai aspek hukum pada masa lampau, sehingga dapat
memberikan bantuan kepada kita memahami kaidah-kaidah serta institusi-institusi
hukum yang ada dewasa ini dalam masyarakat bangsa kita.[17]
Arah perkembangan Hukum Islam
dan Hukum Adat di Aceh di Era
Globalisasi
Negara Indonesia
tidak bisa lepas dari arus globalisasi yang terjadi saat ini. Salah satu akibat globalisasi adalah cukup banyak
peraturan-peraturan hukum yang asing atau yang bersifat internasional akan
dituangkan dalam perundang-undangan nasional.
Tetapi, Indonesia tidak boleh mengikuti arus globalisasi secara
otomatis, karena justru harus dapat memilih secara sadar kaidah-kaidah asing,
internasional, atau transnasional mana yang baik atau boleh diterima, dan yang
mana yang seharusnya tidak diterima ke dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia.
Pengaruh globalisasi yang paling
dirasakan adalah perkembangan ekonomi yang sangat pesat. Sehingga membutuhkan
pengaturan perundang-undangan yang juga cepat dan tanggap. Dalam hal ini hukum
dapat dijadikan sarana rekayasa sosial-ekonomi. Karena sebenarnya hal itu telah
ditentukan dalam Undang-undang Dasar 1945, yaitu dengan asas bahwa segala
cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai dan
diarahkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat 3). Inilah
filsafat ekonomi Indonesia ,
sehingga ciri-ciri demokrasi ekonomi Indonesia tidak perlu lagi mencari
acuan pada teori asing.[18]
Oleh karena perkembangan globalisasi sekarang banyak dominasi oleh
Inggris, Amerika serikat, Australia, India, Malaysia, Singapura dan sebagainya,
maka pengaruh sistem hukum Aglosaxon sangat
mewarnai sistem hukum Indonesia terutama dibidang hukum perjanjian, Penanaman
Modal, Hukum Keuangan dan Perbankan, Hak
Asasi Manusia dan lain sebagainya.
Sebagaimana telah kita ketahui, era
globalisasi ditandai dengan kemajuan di bidang teknologi komunikasi,
transportasi dan informasi yang sedemikian cepat. Kemajuan di bidang ini
membuat segala kejadian di negeri yang jauh bahkan di benua yang lain dapat
kita ketahui saat itu juga, sementara jarak tempuh yang sedemikian jauh dapat
dijangkau dalam waktu yang singkat sehingga dunia ini menjadi seperti sebuah
kampung yang kecil, segala sesuatu yang terjadi bisa diketahui dan tempat
tertentu bisa dicapai dalam waktu yang amat singkat.[19]
Sulit rasanya meletakkan proses
perubahan sosial, budaya dan politik dewasa ini lepas dari perkembangan
dinamika global. Kemajuan teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi memberi pengaruh
luas dalam kehidupan sehari-hari, bahkan merombak sistem
sosial. Globalisasi ekonomi dan budaya berpengaruh pada penciptaan kultur
yang homogen yang mengarah pada penyeragaman selera, konsumsi, gaya hidup,
nilai, identitas, dan kepentingan individu. Sebagai produk
modernitas, globalisasi tidak hanya memperkenalkan masyarakat di
pelosok dunia akan kemajuan dan kecanggihan sains dan teknologi
serta prestasi lain seperti instrumen dan institusi modern hasil capaian
peradaban Barat sebagai dimensi institusional modernitas, tetapi juga
mengintrodusir dimensi budaya modernitas, seperti nilai-nilai demokrasi,
pluralisme, toleransi, dan hak-hak asasi manusia.
Persoalan-persoalan
yang terjadi di suatu negara yang semula disembunyikan atau ditutup-tutupi
menjadi transparan dan dapat diketahui secara detail, begitu juga dengan
persoalan-persoalan pribadi seseorang yang dipublikasikan melalui media massa.
Dalam konteks ekonomi-politik, kenyataan tersebut bahkan dijadikan faktor penting
untuk melihat kemungkinan memudarnya batas-batas teritorial negara-bangsa, yang
oleh Kenichi Ohmae dibahasakan sebagai “the end of the nation state[20].
Proses globalisasi
ini memiliki pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan nilai-nilai agama.
Realitas ini mendapat respon yang cukup beragam dari kalangan pemikir dan
aktivis agama. Agama sebagai sebuah pandangan yang terdiri dari berbagai
doktrin dan nilai memberikan pengaruh yang besar bagi masyarakat. Hal ini
diakui oleh para pemikir, antara lain Robert N. Bellah dan Jose Casanova,
mereka mengakui pentingnya peran agama dalam kehidupan sosial politik
masyarakat dunia. Dalam konteks ini agama memainkan peranan yang penting di
dalam proses globalisasi. Agama bukan hanya pelengkap tetapi menjadi salah satu
komponen penting yang cukup berpengaruh di dalam berbagai proses globalisasi.
Karena begitu pentingnya peran agama dalam kehidupan masyarakat, maka perlu
kiranya kita memahami sejauh mana posisi agama di dalam merespon berbagai
persoalan kemasyarakatan.
Posisi Agama
Agama sebagai
sebuah ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia, mempunyai pengaruh yang
besar terhadap kehidupan manusia sehari-hari.[21]
Agama diturunkan guna memberikan aturan-aturan hidup yang akan membawa
kebahagiaan bagi kehidupan manusia. Selain itu agama juga dipandang sebagai
instrumen untuk memahami dunia. Namun demikian kehadiran agama selalui disertai
dengan “dua muka” (janus face). Pada satu sisi secara inheren agama memiliki identitas
yang bersifat “exclusive, particularist”, dan “primordial”. Akan
tetapi, pada waktu yang sama agama juga kaya akan identitas yang bersifat “inclusive,
universalist”, dan “transcending”
Untuk meletakkan
hubungan antara keduanya dalam situasi yang lebih empirik, sejumlah pemikir dan
aktivis social-politik telah berusaha membangun paradigma yang dipandang
memungkinkan. Tentu konstruk pemikiran yang ditawarkan, antara lain dipengaruhi
dan dibentuk oleh asal usul teologis dan sosiologis ataupun spacio-temporal
serta partikularitas yang melingkupi mereka.[9]
Terlepas dari variasi konstruk
pemikiran yang ditawarkan, pada dasarnya di dalam memahami posisi agama
terhadap persoalan kemasyarakatan ada tiga aliran besar dalam hal ini. Pertama
adalah perspektif mekanik-holistik, yang memposisikan hubungan antara agama dan
persoalan kemasyarakatan sebagai sesuatu yang tak terpisahkan. Kedua adalah
pemikiran yang mengajukan proposisi bahwa keduanya merupakan wilayah-wilayah (domains)
yang antara satu dengan lainnya berbeda, karenanya harus dipisahkan. Ketiga
adalah pandangan tengah yang mencoba mengintegrasikan pandangan-pandangan yang
antagonistik dalam melihat hubungan antara agama dan persoalan kemasyarakatan.
Di pihak lain, pandangan ini juga ingin melunakkan perspektif mekanik-holistik
yang seringkali melakukan generalisasi bahwa agama selalu mempunyai kaitan atau
hubungan yang tak terpisahkan dengan masalah-masalah kemasyarakatan.
Berbagai
Paradigma Islam dalam Menghadapi Globalisasi
Pada
mulanya agama-agama muncul dari unsur kebudayaan sebuah masyarakat sebagai
bagian ritus transendental yang didominasi kekuatan mistis. Agama ini lahir
dalam bentuk-bentuk yang plural sesuai dengan corak ekonomi sosial tiap-tiap
masyarakat pada masanya. Meskipun tidak secara linier bentuk tersebut sesuai
dengan kondisi transformasi sosioekonominya, setidaknya fakta telah menunjukkan
bahwa agama pada era kini telah mengalami perubahan yang cukup signifikan
dibandingkan awal kemunculannya. Perubahan nonlinier ini kemudian membentuk beragam
kategori. Namun, secara general kualifikasinya hanya menjadi dua bentuk
paradigma yang sekarang ada dalam umat Islam. Perspektif ini hampir berlaku
pada setiap agama. Demikian pula dengan Islam yang berdiri di atas tiga
pilar doktrin dasarnya yaitu akidah, syariah dan akhlak. Dalam perkembangannya
mengalami perubahan bentuk aplikasi pemaknaan di kalangan umatnya. Sejalan dengan
perubahan tersebut, dapat dikemukakan bahwa pada saat ini ada dua paradigma
fundamental yang berkembang di kalangan umat Islam dalam
menghadapi globalisasi yaitu :
1. Paradigma Konservatif
Paradigma pertama ini adalah paradigma yang cenderung bersifat
konservatif, yang memposisikan Islam sebagai agama yang memiliki doktrin
dan ikatan-ikatan tradisi lama yang belum mau bersentuhan dengan wacana
keilmuan selain Islam. Unsur-unsur sosial selain Islam dalam hal ini
dianggap sebagai bagian yang senantiasa berlawanan bahkan mengancam. Dalam
dimensi teologi, Tuhan menempati pokok segala kekuasaan yang telah
diterjemahkan dalam kajian-kajian pendahulunya dengan peletakan unsur mazhab
yang dianggap representatif. Tuhan dengan segala kekuasaannya telah memberikan ukuran
dan solusinya sesuai dengan ajaran yang tertulis. Bagi mereka menafsirkan ayat
yang berkaitan dengan ketuhanan dengan metode baru adalah kesesatan.
Demikian pula
dalam bidang syariat yang menjadi pusat kajian hukumnya. Aspek hukum yang telah
ada dalam kitab-kitab tersebut sudah menjadi final untuk dijadikan acuan
hukumnya. Alasannya, hukum tersebut murni bersumber dari Alquran dan hadis.
Oleh karenanya, tidak ada yang perlu disempurnakan lagi. Realitas sosial
politik yang menandai kemunculan hukum-hukum tersebut nyaris tak mendapatkan
tempat kajian yang mendalam. Dalam kategori sosiologis Islam seperti di atas,
menurut Ali Syariati (1933-1977), Islam hanya menjadi kumpulan-kumpulan
dari tradisi asli dan kebiasaan masyarakat yang memperlihatkan suatu semangat
kolektif suatu kelompoknya. Ia berisi kumpulan kepercayaan nenek moyang,
perasaan individual, tata cara, ritual, aturan, kebiasaan, dan praktik-praktik
dari suatu masyarakat yang telah mapan, berlangsung dari generasi ke generasi.
Kebiasaan inilah yang biasanya dipelihara oleh penguasa politik untuk
melegitimasi kekuasaan. Karena indoktrinasi menjadi bagian yang kuat dalam
pemaknaan ajaran agama maka paradigma ini sering pula disebut paradigma
konservatif.
Bagi orang-orang Islam berpaham
konservatif ini, “ketidakberubahan” (unchangingness) merupakan
suatu hal yang ideal bagi individu dan masyarakat serta merupakan suatu
persepsi hakikat manusia dan lingkungannya. “Ketidakberubahan” merupakan
asumsi berpengaruh luas yang mewarnai hampir seluruh aspek pemahaman kelompok
ini. Doktrin “ketidakberubahan”, baik sebagai fakta maupun sebagai
cita-cita, barangkali bermula dari pengalaman kehidupan nomadik bangsa Arab,
yang mengakibatkan timbulnya paham bahwa keselamatan terletak pada upaya
mengikuti jejak para leluhur. Bangsa nomad Arabia
tentu saja menyadari perubahan. Suku-suku berhasil dan berkembang semakin
meningkat, lalu mengalami nasib pahit, mundur dan terkadang lenyap sekaligus.
Namun variasi perubahan seperti itu tidak berarti bahwa pada dasarnya kehidupan
mengalami perubahan. Dengan demikian, lebih baik melakukan apa-apa yang telah
dilakukan “nenek moyang” sebab dalam banyak hal, cara itu
membuahkan hasil yang memuaskan. Iklim Arabia itu tidak menentu dan tak teratur
sehingga orang nomad tidak dapat menghindari bencana dengan membuat
rencana-rencana cermat, tetapi terpaksa membiasakan diri menerima apa saja yang
terjadi pada dirinya. Corak
berpikir seperti itu mengakibatkan doktrin mengikuti “jejak leluhur”
menjadi opini paling kuat. Segala yang baru pasti akan dicurigai. Dalam teologi
Islam, kata yang lazim dipakai untuk “hal baru” ialah bid’ah.
Berlandaskan corak pemikiran tersebut akhirnya kelompok Konservatif pun
memandang bahwa globalisasi adalah unsur yang sangat mengancam bagi
keberlangsungan nilai-nilai Islam.
Bentuk pemahaman konservatif
ini dapat dilihat melalui pemahaman kelompok ini di dalam memahami
hubungan agama dengan negara. Kelompok ini berpendirian bahwa Islam
bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut
hubungan antara manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu agama yang
sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia
termasuk kehidupan bernegara. Para penganut
paham ini pada umumnya berpendirian bahwa : (1). Islam adalah suatu agama
yang serba lengkap. Di dalamnya terdapat pula antara lain sistem ketatanegaraan
atau politik. Oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali
kepada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem
ketatanegaraan Barat. (2). Sistem ketatanegaraan atau politik Islam yang
harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi besar Muhammad
dan oleh empat al-Khulafa al-Rasyidin.
Melihat pemahaman tersebut dapat
kita mengerti bahwa kelompok ini, sebagaimana telah penulis jabarkan di atas
cenderung memposisikan Islam sebagai agama yang serba lengkap, sehingga doktrin
dan ikatan-ikatan tradisi lama yang ada tidak dapat bersentuhan dengan wacana
keilmuan selain Islam.
2. Paradigma Liberal
Paradigma kedua adalah paradigma yang bersifat antagonistik
dengan paradigma konservatif. Islam diasumsikan sebagai agama
yang dapat berperan sebagai agen perubahan sosial. Unsur-unsur sosial
selain Islam dalam hal ini menjadi komponen yang diterima bahkan menjadi
acuan penting di dalam merumuskan berbagai solusi terhadap persoalan kekinian
yang dihadapi umat. Dalam dimensi teologi paradigma ini mengedepankan
aspek rasionalisme. Teologi bukan semata menjadi objek kajian bagaimana
meyakinkan umat secara doktriner, melainkan sebagai pembimbing tindakan praksis
sosial. Selain itu, teologi juga harus lepas dari paradigma kekuasaan negara,
bahkan harus menjadi bagian transformasi sosial yang terus menyuarakan
kepentingan mayoritas umat. Paradigma ini berpendirian bahwa walaupun Islam
memiliki doktrin dan ikatan-ikatan tradisi lama tapi harus dilakukan banyak
dekonstruksi terhadap pemahaman doktrin tersebut melalui pengembangan wacana
keilmuan yang dapat diperoleh pada sumber-sumber eksternal.
Berkebalikan dengan teologi kaum
konservatif yang gigih membela Tuhan, dimensi teologi yang mereka ajukan justru
menginginkan konsistensi menjelmakan nilai tauhid sebagai ajaran yang
membebaskan umat dari penindasan kultural dan struktural. Mereka lebih
menekankan pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, sehingga terkadang
melampaui garis-garis “larangan” demi mewujudkan teologis humanisnya.
Dalam dimensi syariat paradigma ini mengambil hukum-hukum melalui pemahaman
yang cenderung terlalu kontekstual, sehingga terkadang mengabaikan tekstualitas
dan latar belakang munculnya doktrin-doktrin agama. Mereka juga mengajukan
berbagai wacana tentang perlunya tafsir ulang terhadap al-Qur’an dan hadis.
Paradigma pemikiran yang cenderung sangat liberal ini sering diistilahkan
dengan paradigma liberal.
Secara ringkas, penulis
berpendapat bahwa "mazhab" liberal ini
sebenarnya berakar pada ide demokrasi. Pemikiran-pemikiran lain sebagai
derivatnya akan terlihat sangat bertumpu di atas paham demokrasi ini; seperti
gagasan pemisahan negara dengan agama, hak-hak wanita dalam kepemimpinan
politik dan kekuasaan, kebebasan penafsiran teks-teks agama, kebebasan berpikir
dan berpendapat, toleransi beragama, dialog dan keterbukaan antar agama,
pluralisme, demokrasi religius, dan lain-lain.
Pemikiran mengenai hubungan negara
dengan agama (Islam) merupakan persoalan krusial yang paling banyak mendapat
penolakan dan tantangan dari pengusung Islam liberal. Argumentasi yang sering
dipakai: (1) Negara Islam tak pernah dikenal dalam sejarah; (2) Negara
adalah kehidupan duniawi, berdimensi rasional, dan kolektif; sedangkan agama
berdimensi spiritual dan pribadi; (3) Masalah kenegaraan tidak menjadi bagian
integral dari Islam; (4) Islam tidak mengenal konsep pemerintahan
definitif, misal dalam suksesi kekuasaan; (5) Rasulullah Muhammad hanya menjadi
penyampai risalah, tidak mengepalai suatu institusi politik; (6) Al-Quran dan
Sunnah tidak pernah menyebut, "Dirikanlah negara Islam!" dan
sebagainya. Penolakan gagasan ini, pada akhirnya mengantarkan pada penerimaan
secara total atas ide demokrasi dalam urusan kekuasaan,politik, dan
pemerintahan. Konsekuensi berikutnya, menolak kebolehan seorang wanita terlibat
dalam urusan kekuasaan adalah bertentangan dengan prinsip demokrasi. Menolak
keterlibatan warga negara berdasarkan perbedaan prinsip agama adalah tidak
sesuai dengan demokrasi. "Memasung" pikiran dan pendapat
bertentangan dengan hak kebebasan dan demokrasi. Mengambil peraturan dan
hukum-hukum kemasyarakatan dari satu agama saja (baca: Islam) merupakan diskriminasi
atas agama lain, yang berarti sama saja dengan tidak demokratis. Kebebasan dan
kebolehan beragamnya menafsirkan teks-teks agama (dalil-dalil) menjadi imbas
dari gagasan liberalisasi dan kebebasan berpikir serta berpendapat.
Demikianlah, semua pemikiran derivat ini akan berlindung di balik induknya:
pemikiran "demokrasi."
Dapat disimpulkan bahwa kelompok
ini dalam memahami hubungan Islam dan negara berpendirian bahwa Islam
adalah agama dalam pengertian barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan
kenegaraan. Kelompok ini meyakini bahwa Nabi Muhammad hanyalah seorang Rasul
biasa seperti halnya Rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak
manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi
pekerti luhur, dan Nabi tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan dan
mengepalai satu negara.
Berbagai penjelasan di atas dengan
jelas memperlihatkan bahwa di dalam pemahaman kelompok ini unsur-unsur sosial
selain Islam dapat menjadi komponen yang diterima bahkan menjadi acuan
penting di dalam merumuskan berbagai solusi terhadap persoalan kekinian yang
dihadapi umat.
Dua paradigma di atas sesungguhnya
telah menjadi bagian internal Islam di Indonesia . Paradigma pertama
biasanya mengakar pada kalangan kelas bawah yang belum sepenuhnya tersentuh
oleh tradisi keilmuan positivisme seperti di pesantren. Sementara
paradigma liberal lahir dari rahim generasi muda yang cukup paham terhadap
wacana Islam. Namun, juga tersentuh oleh tradisi positivisme dari barat serta
memiliki motivasi kuat untuk perubahan sosial. Namun, apakah perkembangan
paradigma Islam ini akan hanya berhenti di sini? Inilah sesungguhnya yang
harus kita kaji secara mendalam. Yang harus diingat adalah bahwa perubahan kajian ijtihad
tersebut berlandaskan aspek perubahan sosial dan mengembalikan semangat
pembelaan Islam terhadap umat manusia. Oleh karena itu, pilihan baru harus
segera diadakan sebab situasi kekinian telah mengubah transformasi sosial
dengan adanya globalisasi.
3. Paradigma Alternatif
Untuk mengintegrasikan dua kubu
paradigma yang paradoks ini maka perlu kiranya dikembangkan satu paradigma
alternatif, yang mungkin dapat mengkompromikan dua pandangan di atas. Sebab
dengan mengkompromikan dua pandangan tersebut paling tidak kita berusaha
menjembatani adanya titik temu sebagai salah satu upaya mencari konsepsi final
yang paling ideal dalam Islam, meski memang untuk mengejawantahkannya dalam
tataran realitas bukanlah persoalan mudah. Paradigma alternatif yang coba
penulis tawarkan adalah paradigma moderat yakni paradigma yang cenderung
mencoba mengintegrasikan pandangan-pandangan yang antagonistik dalam melihat
hubungan Islam dan persoalan kemasyarakatan. Di pihak lain, pandangan ini
juga ingin melunakkan Paradigma Konservatif yang seringkali melakukan
generalisasi bahwa Islam selalu mempunyai kaitan atau hubungan yang tak
terpisahkan dengan masalah-masalah kemasyarakatan. Serta berusaha mengakomodasi
dilakukannya pembaruan wacana sesuai dengan diinginkan kalangan liberal
dengan tetap memperhatikan nilai-nilai luhur dan keislaman.
Dalam dimensi teologi paradigma ini
selain mengedepankan aspek rasionalisme namun juga tidak melupakan aspek
keimanan, sebab aspek keimanan ini merupakan salah satu faktor penting di dalam
menyikapi berbagai persoalan kekinian. Teologi selain menjadi obyek kajian
bagaimana meyakinkan umat secara doktriner, tetapi juga sebagai pembimbing
tindakan praksis sosial. Selain itu, teologi juga harus lepas dari paradigma
kekuasaan negara, bahkan harus menjadi bagian transformasi sosial yang terus
menyuarakan kepentingan mayoritas umat. Berbeda dengan teologi kaum konservatif
yang gigih membela Tuhan dan kaum liberal yang terlalu humanis, paradigma
ini selain berusaha memelihara nilai-nilai ketauhidan yang bersifat formalistik
tetapi juga berusaha secara konsisten menjelmakan nilai tauhid sebagai ajaran
yang membebaskan umat dari penindasan kultural dan struktural. Dalam arti nilai
tauhid harus “membumi” dalam kehidupan sehari-hari. Dalam dimensi
syariat, paradigma ini selain mengambil hukum-hukum Islam dari aspek
nilai/substansi tetapi berusaha pula memahami secara tekstual
kitab-kitab Islam lama yang dimapankan oleh kalangan konservatif. Alquran
dan Hadis memang harus ditafsir ulang tetapi harus dengan pertimbangan ilmiah
teoretis dalam pertimbangan praksis sosialnya.
Karena paradigma ini berusaha
mengintegrasikan dua kubu paradigma yang antagonistik
maka paradigma ini lebih cenderung penulis istilahkan dengan paradigma
moderat. Karena istilah moderat cenderung pada pemahaman
mencari jalan tengah dari kecenderungan-kecenderungan yang bersifat
antagonistik. Hal ini juga sesuai dengan konsep Islam sebagai agama Wasathan
(moderat). Dalam melihat hubungan Islam dan negara paradigma
moderat menolak pendapat bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap
dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Tetapi kelompok ini
juga menolak anggapan bahwa agama adalah dalam pengertian barat yang hanya
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Paradigma ini juga berpendirian
bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan tetapi terdapat
seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.
Paradigma ini tidak hanya
ingin menonjolkan isu seputar konsep "Negara Islam" dan "Pemberlakuan
syariat", tetapi yang paling penting bagaimana substansi dari nilai
dan ajaran agama itu sendiri. Agama adalah sejumlah ajaran moral dan etika
sosial, serta fungsinya mengontrol negara. Paradigma
moderat berpandangan, keterlibatan agama secara praktis ke dalam negara
jangan sampai memandulkan nilai luhur yang terkandung dalam agama karena agama
akan menjadi ajang politisasi dan kontestasi. Di sisi lain, paradigma moderat
mengampanyekan dimensi kelenturan, kesantunan, dan keadaban Islam. Islam
sebagai agama penebar kasih, cinta dan sayang (rahmatan li al-’alamien)
harus menjadi paradigma yang mengakar di tengah masyarakat. Hal ini
penting guna meminimalisir pandangan keagamaan yang selalu berwajah sangar dan
keras yang digunakan secara sistematis oleh beberapa kalangan Muslim.
Hanya, yang menjadi
tantangan paradigma moderat di masa datang adalah situasi global yang
kian tidak menentu serta menampakkan hegemoni yang memungkinkan munculnya
resistensi kultural yang bersifat radikal dan anarkis, selain kebijakan politik
nasional yang tidak memihak kaum lemah, seperti gejala penggusuran dan hilangnya
pekerjaan bagi sejumlah buruh perusahaan dan pabrik. Hal-hal seperti ini akan
turut menghambat kampanye paradigma moderat di tanah air.
Wacana paradigma moderat akan selalu tampil ke permukaan dengan
tradisi dan khazanah keagamaan yang dimilikinya. Paradigma akan kian
sempurna bila mendapat "ruang publik" yang memungkinkan
terwujudnya wawasan keagamaan yang terbuka dan damai, yaitu kondisi obyektif
yang dapat memayungi keadilan bagi tiap warga, kesetaraan bagi keragaman suku
dan agama, serta kedamaian di antara pelbagai konflik horizontal yang
menyelimuti masyarakat kita belakangan ini.
Namun untuk merealisasikan
bentuk paradigma alternatif tersebut, yang merupakan respon terhadap dua
paradigma yang sudah cukup berkembang di Indonesia bukanlah persoalan mudah,
tetapi memerlukan banyak upaya guna mengaktualisasikan ide tersebut. Dan juga
yang harus kita sadari sepenuhnya, bahwa agama Islam telah lengkap dan
komprehensif. Namun, "kesempurnaan" Islam hanyalah
sebatas dalam tataran teoretis. Pada tataran praksisnya -- terutama ketika
era globalisasi bergerak -- Islam belumlah cukup memiliki konsepsi
final dan pengalaman praktik perjuangan melawan hegemoni kapitalisme. Untuk
itulah kita harus senantiasa melakukan kajian mendalam dan intens guna mencari solusi
dan jawaban terhadap berbagai persoalan yang dihadapi oleh umat saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qardawi, Yusuf, Islam
dan Globalisasi Dunia (terj), Jakarta :
Pustaka Al-Kaustar, 2001
Daniel
S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Bandung, 2000
Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspek Jilid I, Jakarata: UI Press,
Cet.V, 1985
Ilhami Bisri, Sistem
Hukum Indonesia, Prinsip-prinsip dan Implementasi Hukum di Indonesia, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004
Jusuf Anwar, Aspek-aspek
Hukum Keuangan dan Perbankan Suatu Tinjauan Praktis, Disampaikan pada
Lokakrya Pembangunan Hukum Nasional VIII, Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia, Badan Pembinaan Hukum Nasional di Denpasar-Bali, 14-18 Juli 2003
Mochtar Kusumadja, Konsep-konsep
Hukum dalam Pembangunan, Bandung ,1980
Sunaryati
Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem
Hukum Nasional, Binacipta, Bandung , 1991
Sajuti Thalib, Receptio A Contario (Hubungan Hukum Adat
dengan Hukum Islam), PT: Bina Aksara yakarta, 1985
Sri Soemantri, Bahan Mata Kuliah Politik Hukum, Universitas
Padjadjaran Bandung (UNPAD), Bandung , 2004
[1]Bahan Kuliah Prof.Dahlan, S.H, M.H, Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan,
Hlm. 279 (13 September 2009)
[3] Sri Soemantri, Bahan Mata Kuliah Politik Hukum, UNPAD, Bandung, 2004
[4] Lawrence M. Friedman, Amirican
Law: An Introduction, W.E. Norton & Company, New York, 1984, Hlm. 5-14,
sebagaimana dikutip dalam Jurnal Hukum, Mencari
Sistem Hukum Nasinal Indonesia
[5] Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di
Indonesia, Bandung, 2000. Hlm. 37
[6] Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional, Binacipta, Bandung, 1991
[7] Bahan Kuliah Prof.Dahlan, S.H, M.H, Penalaran
Hukum dalam Konteks Keindonesiaan, Hlm. 300 (13 September 2009)
[8]Ibid, Hlm.301
[9]Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung Alumni, 1991, Hlm.61
[10] Bahan Ngajar Prof. Dahlah, S.H, M.H, Mencari Sistem Hukum Nasional Indonesia
(Artikel), Hlm.1
[11]Ibid. Hlm.2
[12] Drs. M.Natsir Ilyas, M.Hum (Kadis Syariat
Islam dan KS Kota Banda Aceh), Laporan Pelaksanaan Kegiatan Syariat Islam
dan KS Kota Banda Aceh Tahun 2006
[13] Sajuti Thalib, SH, Receptio A Contrario (Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam), PT
Bina Aksara Jakarta, 1985, Hlm.5-9
[14]Sajuti Thalib, S.H, Re Receptio A Contrario (Hubungan Hukum Adat
dengan Hukum Islam), PT Bina Aksara Jakarta, 1985, Hlm.6-8
[15]Muhammad Budi Setiawan, Politik Hukum
Perbankan Syariah (artikel).www.google. perbankan syariah.
[16]Prof. Sujipto, Hukum Progrefif dan
Responsif, www.google.
[17] Oyas, Sejarah
Hukum (Simposium Sejarah Hukum tanggal 1-3 April 1975)
[18] Sunaryati Hartono, OpCit. Hlm. 58
[19]Bachtiar Efendi, Masyarakat Agama dan Tantangan Globalisasi (makalah), Hlm.2
[20]Yusuf Al-Qardawi, Islam dan Globalisasi Dunia (Terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kausar,
2001, Hlm.21-23.
[21]Harun Nasution, Islam di tinjau dari berbagai Aspe jilid I, Jakarta: UI Pres Cet V,1985, Hlm.10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar