IFTITAH
Akhir-akhir ini kasus pertanahan
muncul ke permukaan dan merupakan bahan pemberitaan di media massa. Secara
makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut adalah sangat
bervariasi yang antara lain :
· Harga tanah yang meningkat dengan
cepat.
· Kondisi masyarakat yang semakin
sadar dan peduli akan kepentingan / haknya.
Pada hakikatnya, kasus pertanahan
merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di bidang
pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan
dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan badan
hukum dan lain sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna
kepastian hukum yang diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud
antara lain dapat diberikan respons kepada yang berkepentingan (masyarakat dan
pemerintah).
Menurut Rusmadi Murad, pengertian
sengketa tanah atau dapat juga dikatakan sebagai sengketa hak atas tanah, yaitu
:
Timbulnya sengketa hukum yang
bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan) yang berisi
keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah,
prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian
secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
PENYELESAIAN
SENGKETA TANAH
Cara penyelesaian sengketa tanah
melalui BPN (Badan Pertanahan Nasional) yaitu :
Kasus pertanahan itu timbul karena
adanya klaim / pengaduan / keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum)
yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara
di bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di
lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut
dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tersebut. Dengan
adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat penyelesaian secara administrasi
dengan apa yang disebut koreksi serta merta dari Pejabat yang berwenang untuk
itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha
Negara di bidang pertanahan (sertifikat / Surat Keputusan Pemberian Hak Atas
Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Kasus pertanahan meliputi beberapa
macam antara lain :
1. mengenai masalah status tanah,
2. masalah kepemilikan,
3. masalah bukti-bukti perolehan yang
menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya.
Setelah menerima berkas pengaduan
dari masyarakat tersebut di atas, pejabat yang berwenang menyelesaikan masalah
ini akan mengadakan penelitian dan pengumpulan data terhadap berkas yang
diadukan tersebut. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sementara apakah
pengaduan tersebut dapat diproses lebih lanjut atau tidak dapat. Apabila data
yang disampaikan secara langsung ke Badan Pertanahan Nasional itu masih kurang
jelas atau kurang lengkap, maka Badan Pertanahan Nasional akan meminta
penjelasan disertai dengan data serta saran ke Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota
setempat letak tanah yang disengketakan. Bilamana kelengkapan data tersebut
telah dipenuhi, maka selanjutnya diadakan pengkajian kembali terhadap masalah
yang diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur, kewenangan dan penerapan
hukumnya. Agar kepentingan masyarakat (perorangan atau badan hukum) yang berhak
atas bidang tanah yang diklaim tersebut mendapat perlindungan hukum, maka
apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor Pertanahan setempat mengadakan
penelitian dan apabila dari keyakinannya memang harus distatus quokan, dapat
dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa. Kebijakan ini dituangkan dalam Surat
Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 14-1-1992 No 110-150 perihal
Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 tahun 1984.
Dengan dicabutnya Instruksi Menteri
Dalam Negeri No 16 Tahun 1984, maka diminta perhatian dari Pejabat Badan
Pertanahan Nasional di daerah yaitu para Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, agar selanjutnya
di dalam melakukan penetapan status quo atau pemblokiran hanya dilakukan
apabila ada penetapan Sita Jaminan (CB) dari Pengadilan. (Bandingkan dengan
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun
1997 Pasal 126).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa apabila Kepala Kantor Pertanahan setempat hendak melakukan tindakan
status quo terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan
(sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), harusnya bertindak
hati-hati dan memperhatikan asas-asas umum Pemerintahan yang baik, antara lain
asas kecermatan dan ketelitian, asas keterbukaan (fair play), asas persamaan di
dalam melayani kepentingan masyarakat dan memperhatikan pihak-pihak yang
bersengketa.
Terhadap kasus pertanahan yang
disampaikan ke Badan Pertanahan Nasional untuk dimintakan penyelesaiannya,
apabila dapat dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa, maka sangat baik jika
diselesaikan melalui cara musyawarah. Penyelesaian ini seringkali Badan
Pertanahan Nasional diminta sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa
hak atas tanah secara damai saling menghormati pihak-pihak yang bersengketa.
Berkenaan dengan itu, bilamana penyelesaian secara musyawarah mencapai kata mufakat,
maka harus pula disertai dengan bukti tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan
untuk para pihak, berita acara rapat dan selanjutnya sebagai bukti adanya
perdamaian dituangkan dalam akta yang bila perlu dibuat di hadapan notaris
sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Pembatalan keputusan tata usaha
negara di bidang pertanahan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan
adanya cacat hukum/administrasi di dalam penerbitannya. Yang menjadi dasar
hukum kewenangan pembatalan keputusan tersebut antara lain :
1. Undang-Undang No 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
2. Peraturan Pemerintah No 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3. Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003
tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan.
4. Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1999.
Dalam praktik selama ini terdapat
perorangan/ badan hukum yang merasa kepentingannya dirugikan mengajukan
keberatan tersebut langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Sebagian
besar diajukan langsung oleh yang bersangkutan kepada Kepala Badan Pertanahan
Nasional dan sebagian diajukan melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
setempat dan diteruskan melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Provinsi yang bersangkutan.
KEKUATAN PEMBUKTIAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TANAH
Pembuktian, menurut Prof. R.
subekti, yang dimaksud dengan membuktikan adalah Meyakinkan hakim tentang
kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Kekuatan
Pembuktian, Secara umum kekuatan pembuktian alat bukti tertulis, terutama akta
otentik mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu:
1. Kekuatan pembuktian formil.
Membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis
dalam akta tersebut.
2. Kekuatan pembuktian materiil.
Membuktikan antara para pihak, bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut dalam
akta itu telah terjadi.
3. Kekuatan mengikat. Membuktikan
antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam akta yang
bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum tadi dan menerangkan apa yang
ditulis dalam akta tersebut.
Oleh karena menyangkut pihak ketiga,
maka disebutkan bahwa kata otentik mempunyai kekuatan pembuktian keluar.
SERTIFIKAT
Sertifikat adalah buku tanah dan surat ukurnya setelah dijilid menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Kekuatan Pembuktian Sertifikat,
terdiri dari :
1. Sistem Positif
Menurut sistem positif ini, suatu
sertifikat tanah yang diberikan itu adalah berlaku sebagai tanda bukti hak atas
tanah yang mutlak serta merupakan satu – satunya tanda bukti hak atas tanah.
2. Sistem Negatif
Menurut sistem negatif ini adalah
bahwa segala apa yang tercantum didalam sertifikat tanah dianggap benar sampai
dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar) dimuka sidang
pengadilan.
HAL-
HAL YANG MENYEBABKAN TERJADINYA SENGKETA TANAH
Menurut Kepala BPN Pusat, setidaknya
ada tiga hal utama yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah:
1. Persoalan administrasi sertifikasi
tanah yang tidak jelas, akibatnya adalah ada tanah yang dimiliki oleh dua orang
dengan memiliki sertifikat masing-masing.
2. Distribusi kepemilikan tanah yang
tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik
untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik
secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah,
khususnya petani/penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan
distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung
kapitalistik dan liberalistik. Atas nama pembangunan tanah-tanah garapan petani
atau tanah milik masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal dengan harga
murah.
3. Legalitas kepemilikan tanah yang
semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan
produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah
bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka
telah membelinya dari para petani/pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama
ditelantarkan begitu saja. Mungkin sebagian orang menganggap remeh dengan
memandang sebelah mata persoalan sengketa tanah ini, padahal persoalan ini
merupakan persoalan yang harus segera di carikan solusinya. Kenapa demikian?
karena sengketa tanah sangat berpotensi terjadinya konflik antar ras, suku dan
agama. Akibatnya harga diri harus dipertaruhkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar