Lahirnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD pada tanggal 29 Agustus 2009 yang menggantikan
Undang-Undang Nomor Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,
DPD dan DPRD, perubahan tersebut dimaksudkan untuk tidak membatasi pengaturan
yang hanya terbatas pada materi muatan susunan dan kedudukan lembaga, tetapi
juga mengatur hal hal lain yang lebih bersifat komprehensif serta dalam rangka
meningkatkan peran dan tanggung jawab lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga
perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah untuk mengembangkan kehidupan
demokrasi, menjamin keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakan tugas dan
wewenang lembaga, serta mengembangkan mekanisme checks and balances antara
lembaga legislative dan eksekutif, serta meningkatkan kualitas, produktivitas,
dan kinerja anggota lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat,
dan lembaga perwakilan daerah demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan
rakyat.
Disamping itu juga penguatan dan pengefektifan kelembagaan MPR, DPR, DPD,
dan DPRD, terdapat penambahan,
pengubahan penamaan (nomenklatur), dan penghapusan alat kelengkapan dalam
rangka mendukung fungsi serta tugas dan wewenang kelembagaan tersebut. Di MPR,
alat kelengkapan Badan Kehormatan dihapus karena dipandang alat kelengkapan tersebut telah ada di
lembaga DPR dan DPD yang anggotanya sebagai unsur MPR. Di DPR dibentuk alat
kelengkapan baru, yaitu Badan Akuntabilitas Keuangan Negara sebagai alat
kelengkapan yang bersifat tetap yang berfungsi untuk menindaklanjuti laporan
hasil pemeriksaan BPK dalam hal pengawasan penggunaan keuangan negara sehingga diharapkan
keberadaan alat kelengkapan ini berkontribusi positif dalam pelaksanaan
transparansi dan akuntabilitas penggunaan keuangan negara. Selanjutnya,
terdapat pula alat kelengkapan di DPR yang mengalami pengubahan nomenklatur
yaitu Panitia Anggaran diubah menjadi Badan Anggaran, yang bermaksud untuk
menegaskan alat kelengkapan tersebut bersifat permanen. Di DPD pengubahan
terjadi pada nomenklatur panitia ad hoc yang diubah menjadi panitia
kerja, serta menghapus alat kelengkapan panitia kerja sama lembaga perwakilan.
Di DPRD terdapat penggantian nomenklatur panitia menjadi badan agar lebih jelas
keberadaan kelembagaan politiknya, yaitu Panitia Musyawarah menjadi Badan
Musyawarah dan Panitia Anggaran menjadi Badan Anggaran. Berkaitan dengan alat
kelengkapan di MPR, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, perlu
memperhatikan keterwakilan perempuan sebagai pimpinan alat kelengkapan.
Berkaitan dengan
alat kelengkapan untuk DPRD Provinsi diatur dalam Pasal 302 ayat (1) dan untuk DPRD Kabupaten/Kota diatur
dalam 353 ayat (1) UU No.27 Tahun 2009, dimana Alat kelengkapan DPRD Provinsi
maupun DPRD Kabupaten/ Kota terdiri dari :
a. Pimpinan;
b. Badan Musyawarah;
c. komisi;
d. Badan Legislasi Daerah;
e. Badan Anggaran;
f. Badan Kehormatan; dan
g. Alat kelengkapan lain yang diperlukan
dan dibentuk oleh rapat paripurna.
Tata cara pembentukan, susunan
serta tugas dan wewenang alat kelengkapan DPRD Provinsi maupun DPRD
Kabupaten/Kota diatur dengan peraturan DPRD Provinsi maupun dengan peraturan
DPRD Kabupaten/Kota, sesuai ketentuan ayat (3) kedua pasal tersebut.
Berdasarkan ketentuan pasal
302 ayat (1) dan pasal 353 ayat (1) huruf g tersebut, DPRD Provinsi maupun DPRD
Kabupaten/Kota dapat menambah alat kelengkapannya sesuai keperluan dan dibentuk
oleh rapat paripuna.
Selanjutnya
berdasarkan ketentuan Pasal 303 UU
No.27 Tahun 2009 dijelaskan sebagai berikut :
(1) Pimpinan DPRD provinsi terdiri atas:
a.
1 (satu) orang ketua dan 4
(empat) orang wakil ketua untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 85
(delapan puluh lima ) sampai dengan 100 (seratus) orang;
b.
1 (satu) orang ketua dan 3
(tiga) orang wakil ketua untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 45 (empat puluh
lima ) sampai
dengan 84 (delapan puluh empat) orang;
c.
1 (satu) orang ketua dan 2
(dua) orang wakil ketua untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima ) sampai dengan 44
(empat puluh empat) orang.
(2) Pimpinan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak
di DPRD provinsi.
(3) Ketua DPRD provinsi ialah anggota DPRD provinsi yang berasal
dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPRD provinsi.
(4) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang
memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ketua
DPRD provinsi ialah anggota DPRD provinsi yang berasal dari partai politik yang
memperoleh suara terbanyak.
(5) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang
memperoleh suara terbanyak sama sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penentuan
ketua DPRD provinsi dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara
partai politik yang lebih luas secara berjenjang.
(6) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang
memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wakil
ketua DPRD provinsi ialah anggota DPRD provinsi yang berasal dari partai
politik yang memperoleh suara terbanyak kedua, ketiga, dan/atau keempat.
(7) Apabila masih terdapat kursi wakil ketua DPRD provinsi yang
belum terisi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), maka kursi wakil ketua diisi
oleh anggota DPRD provinsi yang berasal dari partai politik yang memperoleh
kursi terbanyak kedua.
(8) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang
memperoleh kursi terbanyak kedua sama, wakil ketua sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) ditentukan berdasarkan urutan hasil perolehan suara terbanyak.
(9) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang
memperoleh kursi terbanyak kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (7), penentuan
wakil ketua DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan
berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara partai politik yang lebih luas
secara berjenjang.
Sedangkan
untuk DPRD Kabupaten/Kota diatur dalam pasal 354 UU No.27 Tahun 2009 sebagai
berikut :
(1) Pimpinan DPRD kabupaten/kota terdiri atas:
a.
1 (satu) orang ketua dan 3
(tiga) orang wakil ketua untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 45 (empat
puluh lima ) sampai dengan 50 (lima puluh) orang;
b.
1 (satu) orang ketua dan 2
(dua) orang wakil ketua untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua
puluh) sampai dengan 44 (empat puluh empat) orang.
(2) Pimpinan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan
kursi terbanyak di DPRD kabupaten/kota.
(3) Ketua DPRD kabupaten/kota ialah anggota DPRD kabupaten/kota yang
berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPRD
kabupaten/kota.
(4) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang
memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ketua
DPRD kabupaten/kota ialah anggota DPRD kabupaten/kota yang berasal dari partai
politik yang memperoleh suara terbanyak.
(5) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang
memperoleh suara terbanyak sama sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penentuan
ketua DPRD kabupaten/kota dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan
suara partai politik yang lebih luas secara berjenjang.
(6) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang
memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wakil
ketua DPRD kabupaten/kota ialah anggota DPRD kabupaten/kota yang berasal dari
partai politik yang memperoleh suara terbanyak kedua, ketiga, dan/atau keempat.
(7) Apabila masih terdapat kursi wakil ketua DPRD kabupaten/kota
yang belum terisi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), maka kursi wakil ketua
diisi oleh anggota DPRD kabupaten/kota yang berasal dari partai politik yang
memperoleh kursi terbanyak kedua.
(8) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang
memperoleh kursi terbanyak kedua sama, wakil ketua sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) ditentukan berdasarkan urutan hasil perolehan suara terbanyak.
(9) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang
memperoleh kursi terbanyak kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (7), penentuan
wakil ketua DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan
berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara partai politik yang lebih luas
secara berjenjang.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 303 dan Pasal 353 tersebut diatas dikaitkan dengan ketentuan
Pasal 302 ayat (1) huruf a sudah cukup jelas bahwa DPRD Provinsi maupun DRPD
Kabupaten/Kota terdapat unsur pimpinan yang merupakan alat kelengkapan dari
DPRD Provinsi maupun DRPD Kabupaten/Kota. Unsur pimpinan tersebut terdiri dari
Ketua serta Wakil Ketua yang jumlahnya Wakilnya tergantung dari jumlah
anggota/kursi yang ada di DPRD Provinsi ataupun di DRPD Kabupaten/Kota.
Ketua
adalah anggota DPRD Provinsi ataupun anggota DRPD Kabupaten/Kota yang berasal
dari Partai Politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPRD Provinsi
ataupun di DRPD Kabupaten/Kota, sedangkan Wakil Ketua adalah anggota DPRD
Provinsi ataupun anggota DRPD Kabupaten/Kota yang berasal dari Partai Politik
yang memperoleh kursi terbanyak kedua, ketiga dan atau keempat di DPRD Provinsi
ataupun di DRPD Kabupaten/Kota tergantung dari jumlah anggota/kursi yang ada di
DPRD Provinsi ataupun di DRPD Kabupaten/Kota.
Begitu juga halnya
dengan jumlah fraksi dan komisi yang dibolehkan diatur dalam Pasal 301 dan 305
dalam UU No 27 Tahun 2009 ini, yang menyebutkan bahwa:
Pasal 301 (3)
Setiap fraksi di DPRD provinsi beranggotakan paling
sedikit sama dengan jumlah komisi di DPRD provinsi.
Pasal 305 (1)
Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 302 ayat (1) huruf c dibentuk
dengan ketentuan:
a.
DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) sampai dengan 55
(lima puluh lima) orang membentuk4 (empat) komisi;
b.
DPRD provinsi yang beranggotakan lebih dari 55 (lima puluh lima) orang
membentuk 5 (lima) komisi
Pasal 356
Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 353 ayat (1) huruf c dibentuk
dengan ketentuan:
a.
DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35
(tiga puluh lima) orang membentuk 3 (tiga) komisi;
b.
DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan lebih dari 35 (tiga puluh lima)
orang membentuk 4 (empat) komisi.
Jadi UU
No.27 Tahun 2009 telah mengatur secara tegas dan terperinci mengenai tata cara
pengisian komposisi Pimpinan DPRD Provinsi maupun DRPD Kabupaten/Kota.
Proses Pengisian Pimpinan DPRD di Aceh.
Lahirnya
Partai Lokal (Parlok) yang merupakan amanah dari MoU sebagai bentuk saluran
politik yang demokratis dalam bingkai penyelesaian konflik Aceh. disebutkan
bahwa “sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak
penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan akan
memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang
memenuhi persyaratran nasional. Memahami aspirasi rakyat Aceh untuk
partai-partai politik lokal, pemerintah RI, dalam tempo satu tahun, atau paling
lambat 18 bulan sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, akan menciptakan
kondisi politik dan hokum untuk pendirian partai politik lokal di Aceh dengan
berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat[1]. Kemudian Pemerintah Indonesia melegalkan
Parlok yang dituangkan dalam Undang-Undanng Nomor 11 Tahun 2006 (UUPA). Di
dalam UUPA[2] disebutkan bahwa Partai Politik Lokal didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50
(lima puluh) orang Warga Negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua
puluh satu) tahun dan telah berdomisili tetap di Aceh dengan memperhatikan
keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen)
Lalu apakah
yang dimaksud dengan partai politik lokal (PARLOK), mengingat bahwa kemunculan
partai politik lokal di Indonesia masih relatif baru dikenal dalam sistem
politik dan kepartaian, walaupun dalam sepanjang sejarah politik di Indonesia
sudah pernah ada Parlok, teori-teori ataupun penelitian mengenai partai politik
lokal masih sangat terbatas di Indonesia. Untuk itulah Farhan Hamid mencoba
mendefinisikan Parlok dengan; partai politik yang didirikan dan berbasis di daerah,
serta bekerja untuk kepentingan daerah, sedangkan jika
kita merujuk kepada peraturan Pemerintah, Parlok adalah organisasi politik yang
dibentuk oleh sekelompok warga Negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara
sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan
kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan Negara melalui pemilihan anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)/Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/kota
(DPRK), Gubenur dan wakil gubenur, serta bupati, wakil bupati/Walikota dan
wakil walikota[3].
Definisi di
atas kurang lebih juga tercermin di dalam UU No 11 Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Aceh, ditegaskan bahwa Partai politik lokal adalah organisasi
politik yang dibentuk oleh sekelompok warganegara Indonesia yang berdomisili di
Aceh secara suka rela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk
memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui
pemilihan anggota DPRA/DPRK, Gubernur/Wakil Gubernur,bupati/wakil bupati, dan
walikota/wakil walikota[4]
Keberadaan
partai politik lokal di Aceh membuktikan bahwa, proses demokrasi poliktik dan proses
desentraslisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia bejalan cukup baik,
artinya, adalah diakuinya keberadaan entitas politik lokal sebagai cermin di
dalam pembangunan demokrasi di daerah. Hal ini tentunya
wajar jika dilihat dari bagaiamana seharusnya pemenuhan aspirasi yang dilakukan
oleh rakyat terhadap wakil yang dipilihnya. Dan juga berdampak kepada sistem
pemilihan umum di Aceh. jika di provinsi lainnya pemilihan anggota legislatif
hanya berasal dari partai nasional, namun untuk Aceh, masyarakat Aceh harus
memilih wakil-wakilnya baik yang berasal dari partai nasional dan juga berasal
dari partai lokal.
Sebagaimana kita ketahui bahwa
berdasarkan hasil Pemilu Legislatif untuk DPRD provinsi yang diadakan pada
tanggal 9 April 2009 lalu yang
memperebutkan kursi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), salah satu partai
lokal mendominasi perolehan kursi. Partai Aceh (PA) yang memperoleh 1.007.173
suara atau 46,93 persen. Peringkat kedua diraih Partai Demokrat dengan selisih
yang cukup jauh. Partai Demokrat meraih 10,84 persen dan di urutan ketiga
Partai Golongan Karya (6,64 persen), disusul PAN (3,87 persen), dan PKS (3,45
persen) suara.Dengan komposisi seperti itu, tak heran kalau kemudian Partai
Aceh meraih 33 dari 69 kursi DPRA. Sisa kursi terbagi ke dalam 11 partai.
Partai Demokrat meraih 10 kursi, Gokar 8 kursi, PAN 5 kursi, PKS 4 kursi, dan
PPP 3 kursi. Partai nasional lain yang mendapat kusi adalah PKPI, PDI-P, Partai
Patriot, PKB, dan PBB, yang masing-masing satu kursi. Adapun partai lokal lain yang juga mendapatkan
satu kursi adalah Partai Daulat Aceh (PDA). Dengan demikian, hanya ada dua
partai lokal Aceh yang memiliki wakil di DPRA[5].
Berdasarkan ketentuan Pasal 303 UU No. 27
Tahun 2009, maka seharusnya Pimpinan DPRA yang terdiri dari 1 orang ketua dan 3
orang wakil ketua, Ketua DPRA berasal dari Partai Aceh selaku partai politik
yang memperolah kursi terbanyak pertama di DPRA, selanjutnya Wakil Ketua I dari
Partai Demokrat selaku partai politik yang memperolah kursi terbanyak kedua di
DPRA, Wakil Ketua II dari Partai Golkar selaku partai politik yang memperolah
kursi terbanyak ketiga di DPRA dan Wakil Ketua III dari PAN selaku partai
politik yang memperolah kursi terbanyak keempat di DPRA.
Namun kenyataannya pada DPRA pengisian
komposisi pimpinan tidak mengacu pada UU No.27 Tahun 2009, karena di Aceh telah
ada UUPA dimana pada pasal 22 ayat (2) UUPA disebutkan bahwa “DPRA dan DPRK
mempunyai hak untuk membentuk alat kelengkapan DPRA/DPRK sesuai kekhususan
Aceh”, oleh karena di dalam UUPA tidak mengatur pemilihan pimpinan DPRA/DPRK
sehingga sesuai kekhususannya tersebut DPRA membuat Rancangan Peraturan
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Tata Tertib Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh, dimana pada Bagian Keempat Pemilihan Pimpinan DPRA
Pasal 53 menyebutkan sebagai berikut :
(1) Calon Pimpinan DPRA diusulkan oleh
Partai Politik Nasional Dan Partai Politik Lokal Aceh yang mempunyai fraksi penuh pada DPRA;
(2) Partai Politik Nasional Dan Partai
Politik Lokal Aceh yang mempunyai fraksi
penuh pada DPRA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak mengusulkan masing-masing satu
orang calon pimpinan DPRA;
(3) Pengusulan calon Pimpinan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2), disampaikan dengan surat resmi dari pimpinan partai melalui fraksinya di DPRA;
(4) Tatacara pengusulan dan penetapan
ketua dan wakil ketua sebagai berikut:
(a) Partai
yang memiliki fraksi penuh di DPRA, berkewajiban mengusulkan calon pimpinan
DPRA melalui fraksinya.
(b) Ketua,
wakil satu, wakil dua dan wakil tiga ditetapkan menurut suara terbanyak dari
fraksi penuh yang mengusulkan.
(c) Apabila
masih ada posisi wakil ketua yang belum terisi, maka untuk mengisi posisi
tersebut akan dipilih secara langsung dalam sidang paripurna.
(d) Calon
wakil ketua sebagaimana yang dimaksud
dalam huruf (c) dapat diusulkan oleh semua Fraksi yang ada pada DPRA. Apabila
hanya ada satu fraksi yang mengusulkan calon wakil ketua maka calon tersebut
otomatis jadi wakil ketua.
(e)
Penetapan wakil ketua yang dimaksud
huruf c dan d dilakukan dalam rapat paripurna,
berdasarkan suara terbanyak.
(f)
Penetapan wakil ketua yang dimaksud pada
huruf c, d dan e selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja terhitung dari hari
penetapan paripurna. Apabila pada waktu yang ditentukan tidak mencalonkan maka
diisi oleh partai yang memperoleh suara terbanyak.
(5) Hasil pemilihan Pimpinan DPRA sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan keputusan pimpinan sementara DPRA;
(6)
Paling
lambat 5 (lima ) hari
kerja setelah pemilihan dilangsungkan, pimpinan sementara DPRA mengusulkan
kepada Menteri Dalam Negeri untuk diresmikan dengan surat keputusan;
(7)
Paling
lambat 14 (empat belas) hari setelah diajukan oleh pimpinan sementara DPRA,
Menteri Dalam Negeri meresmikan penetapan pimpinan DPRA.
Berdasarkan ketentuan Pasal 53 Rancangan Tatib DPRA
tersebut PAN tidak bisa menduduki Wakil Ketua III, karena jumlah kursi yang
diperoleh PAN hanya 5 kursi sehingga tidak bisa membentuk fraksi penuh, oleh
sebab itu PAN tidak dapat mengusulkan calon pimpinan DPRA. Oleh karena posisi
wakil ketua III masih kosong, maka untuk mengisi posisi tersebut akan dipilih secara langsung dalam
sidang paripurna dan yang terpilih justru anggota dari
Partai Aceh lagi, padahal dari anggota Partai Aceh telah menduduki posisi
Ketua.
Dalam Rancangan
Tatib DPRA Pasal 44 ayat (1) disebutkan bahwa Pembentukan
fraksi dapat dilakukan oleh partai politik nasional atau partai politik lokal
Aceh yang memperoleh kursi di DPRA sekurang-kurangnya sama dengan jumlah komisi
di DPRA, sedangkan dalam ketentuan Pasal 36 Ayat (2) UUPA, jumlah anggota
setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya sama dengan
jumlah minimal komisi di DPRA/DPRK. Jumlah komisi DPRA disebutkan dalam Pasal
31 Ayat (1) UUPA, bahwa DPRA dapat membentuk paling sedikit lima (5) komisi dan
paling banyak delapan (8) komisi.
Melihat
dari ketentuan di atas maka fraksi dapat di bentuk dengan jumlah minimal dari
komisi yang ditetapkan sesuai dengan UUPA, akan tetapi dalam Tatib kata-kata
minimal dihilangkan, sehingga yang berkembang adalah jumlah fraksi di DPRA
adalah tujuh fraksi sehingga penetapan Rancangan Tatib ini bertentangan dengan
UUPA yang menetapkan jumlah fraksi minimal adalah lima.
Dalam Pasal 301
ayat (3) UU No 27 Tahun 2009 disebutkan bahwa setiap fraksi beranggotakan
paling sedikit sama dengan jumlah komisi di DPRA Provinsi. Dan dalam Pasal 305
ayat (1) huruf b disebutkan bahwa DPRD provinsi yang beranggotakan lebih dari
55 orang membentuk lima komisi.
Hal ini menimbulkan
polemik, dimana Anggota DPRA dari PAN merasa keberatan dan melakukan walk out
pada sidang paripurna, karena sesuai
Pasal 303 ayat (2) UU No.27 Tahun 2009 Pimpinan DPRD Provinsi berasal dari
partai politik berdasarkan urutan perolehan kusi terbanyak di DPRD Provinsi. Bahkan sampai sekarang Mendagri belum menandatangi Penetapan
Pimpinan DPRA dan hal ini juga terjadi pada DPRK
kabupaten Aceh Utara yang juga Penetapannya belum ditandatangani oleh Mendagri.
Melihat dari
polemik yang timbul diatas bedasarkan perturan perundang-undangan maka rancangan
tatib DPRA harus ditinjau kembali karena dalam penempatan fraksi dan komisi
masih bertentangan dengan Pasal 301 dan 305 UU No 27 Tahun 2009 yang menyatakan
bahwa fraksi si DPRD Propinsi harus beranggotakan paling sedikit sama dnegan
jumlah komisi dalam DPRD Provinsi dan DPRD Provinsi dalam Pasal 305 ayat (1)
huruf (b) menjelaskan bahwa DPRD Provinsi yang beranggotakan lebih dari 55
orang membentuk 5 komisi, sehingga melihat dari dasar ini, PAN yang
mendelegasikan 5 orang berhak mendapatkan satu fraksi dan berhak untuk
memperoleh kursi wakil pimpinan DPRA, karena dalam UU PA tidak dijelaskan
secara rinci mengenai pengisian pimpinan DPRA.
Berdasarkan uraian tersebut diatas
sesuai asas hukum lex superior derogat lex inferior, substansi hukum yang diatur
dalam ketentuan lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan materi yang ada
dalam ketentuan yang lebih tinggi. Maka apapun aturannya, asalkan mengatur hal
yang sama, asas ini harus menjadi acuannya. Untuk membuat suatu aturan juga
perlu mempertimbangkan asas lex specialis derogat lex generalis. Artinya,
peraturan khusus dapat mengesampingkan peraturan yang bersifat umum. Jika dalam
peraturan khusus tak ada ketentuannya maka yang harus dijadikan acuan adalah
ketentuan yang terdapat dalam peraturan bersifat umum (lex generalis). Ini
perlu diperhatikan dalam membuat peraturan Tata Tertib (Tatib) DPRA. Peraturan
internal yang utamanya berlaku mengikat bagi anggota dewan dalam melaksanakan
fungsi dan kewenangannya sebagaimana mereka telah disumpah. Posisi Peraturan
Tatib berada di bawah peraturan perundang-undangan lainnya, baik yang bersifat
legislasi maupun regulasi. Maka substansi Tatib harus mengacu pada peraturan
perundangan-undangan dengan menggunakan kedua asas hukum tersebut.
Pada UUPA tidak mengatur pemilihan
pimpinan DPRA/DPRK hanya mempunyai hak dalam membentuk alat kelengkapan sesuai
kekhususan Aceh, sedangkan pemilihan pimpinan telah diatur secara tegas dalam
pasal 303 ayat (2) UU No.27 Tahun 2009 dan berdasarkan Pasal 23 ayat (3) juncto
Pasal 24 ayat (3) UUPA ditegaskan bahwa “Tata cara pelaksanaan tugas dan
wewenang sebagaimana pada ayat (1) dan (2) diatur dalam tata tertib DRRA/DPRK
dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan, dimana dalam Konsideran
pertimbangan Rancangan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Nomor 1 Tahun
2009 Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Aceh juga mengacu pada UU
No.27 Tahun 2009, namun pada Pasal 53 Rancangan Tatib tersebut tidak mengacu
pada UU No.27 Tahun 2009.
Apabila kita merujuk kepada sejarah Undang-Undang
tentang Susduk sebelum diundangkan UU No.27 Tahun 2009, yakni UU No.9 Tahun
1948 tentang anggota B.P.K.N. I.P. dan K.N.I.P.
kemudian diganti dengan UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susduk dan setelah
beberapa kali terjadi perubahan diganti lagi dengan UU No.4 Tahun 1999 tentang
Susduk dan terakhir diganti dengan UU No.22 Tahun 2003 tentang Susduk, telah
terjadi perubahan sistem keterwakilan di Indonesia khususnya masalah pengisian
Pimpinan MPR, DPR, DPD serta DPRD dan terakhir diganti dengan UU No.27 Tahun
2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD juga mengenai pengisian
pimpinan mengalami perubahan. Sehingga
sistem pengisian pada DPRD di Aceh seakan masih menggunakan ketentuan Pasal 24
ayat (1) dan (4) juncto Pasal 31 ayat (1) dan (4) UU No.4 tahun 1999 yang
menegaskan bahwa Pimpinan DPRD I dan DPRD II bersifat kolektif terdiri atas
seorang Ketua dan sebanyak-banyaknya tiga orang Wakil Ketua yang mencerminkan
fraksi-fraksi berdasarkan urutan besarnya jumlah anggota fraksi dan Tata cara
pemilihan Pimpinan DPRD I dan DPRD II diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD
I.atau DPRD II.
Padahal UU No.4 Tahun 1999 telah
diganti dan dinyatakan tidak berlaku dengan berlakunya UU No.22 Tahun 2003 dan
UU No.22 Tahun 2003 juga sudah diganti dan dinyatakan tidak berlaku lagi dengan
UU No.27 Tahun 2009 dan dengan adanya penetapan Rancangan Peraturan
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Tata Tertib Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh yang mengatur pengisian pimpinan
DPRA tersebut, system keterwakilan di Aceh bukannya mengalami kemajuan, malah
mengalami kemunduran.
Karena sesuai tujuan diselenggarakan
pemilu adalah untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah sebagai penyalur aspirasi politik rakyat serta anggota Dewan Perwakilan
Daerah sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah sebagaimana diamanatkan
dalam Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, dan pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana
perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang
demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; dimana aspirasi politik rakyat tersebut disalurkan
melalui Partai Politik sesuai tujuan dan fungsi dari pada dari pembentukan
Partai Politik, yakni :
1) Tujuan
umum Partai Politik adalah :
a.
mewujudkan cita-cita nasional
bangsa Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b.
menjaga dan memelihara keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia ;
c.
mengembangkan kehidupan
demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ;
dan
d.
mewujudkan kesejahteraan bagi
seluruh rakyat Indonesia .
2) Tujuan
umum Partai Politik adalah :
a.
meningkatkan partisipasi
politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik
dan pemerintahan;
b.
memperjuangkan cita-cita Partai
Politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan
c.
membangun etika dan budaya
politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara[6]
3) Fungsi
dari Partai Politik adalah sebagai:
a.
pendidikan politik bagi anggota
dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan
kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
b.
penciptaan iklim yang kondusif
bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan
masyarakat;
c.
penyerap, penghimpun, dan penyalur
aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;
d.
partisipasi politik warga
negara Indonesia ;
dan
e.
rekrutmen politik dalam proses
pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan
kesetaraan dan keadilan gender. [7]
Seperti yang dituangkan di dalam
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 amandemen ke III, yang menyebutkan bahwa, “Kedaulatan
Berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, oleh sebab
itu karena aspirasi rakyat disalurkan melalui Partai Politik sudah sepantasnya
pengisian pimpinan DPRD Provinsi maupun DPRK berasal dari partai politik
berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD provinsi maupun DPRD
Kabupaten/Kota bukan berdasarkan Fraksi sebagaimana yang diatur dalam Rancangan
Peraturan
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Tata Tertib Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh.
Apalagi UU No.27 Tahun 2009 juga telah menegaskan
pada Pasal 400 yang menyebutkan bahwa “Undang-Undang
ini berlaku juga bagi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), dewan perwakilan
rakyat kabupaten/kota (DPRK) di Aceh, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) di
Provinsi Papua, dan DPRD Provinsi Papua Barat, sepanjang tidak diatur khusus
dalam undang-undang tersendiri”. Oleh karena UUPA tidak mengatur masalah
pemilihan pimpinan dan juga tidak ada pengaturan secara khusus dalam
undang-undang tersendiri, maka yang harus digunakan adalah ketentuan Pasal 303
ayat (2) UU No.27 Tahun 2009.
Oleh karena itu untuk mencegah
terjadinya konflik atau masalah hukum yang berkepanjangan sehingga bisa membuat
DPRA maupun DPRK yang baru lamban melaksanakan tugas dan fungsinya serta
realisasi aspirasi rakyat yang bermuara terhambat pembangunan dan perwujudan
kesejahteraan rakyat Aceh yang lebih beradab, maka lebih baik mengikuti aturan
yang telah jelas dan tegas di atur. Misalnya mengenai Penetapan ketua dan wakil
ketua Dewan, gunakan UU Nomor 27 tahun 2009. “Dan sebaliknya, jika ada hal lain
yang telah diatur secara rinci pada UUPA, maka gunakan aturan pada UUPA.
[1] MoU RI-GAM point 1.2 tentang partisipasi
politik butir 1.2.1
[2] Pasal 75 ayat (2) Bab XI Partai Politik
Lokal bagian ke satu
[3] Yusra Tebe, Makna Partai Politik Lokal
Bagi Perdamaian Aceh, http://id.acehinstitute.org
[4] UU No 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan
Aceh Pasal 1
[5]
http://bytheways.wordpress.com/2009/05/23/nanggroe-aceh-darussalam-dua-aras-dominasi-pusat-dan-lokal/
[6] Pasal 10 UU No 2 Tahun 2008 Tentang
Partai Politik
[7] Pasal 11 UU No 2 Tahun 2008 Tentang Partai
Politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar