Salah satu mamfaat dari memahami perbandingan sistem hukum
adalah kita bisa memahami sistem hukum negara sendiri, minimal sistem hukum
Indonesia, sistem-sistem hukum apa saja yang berlaku dalam masyarakat,
bagaimana historis terjadinya sistem hukum itu dapat eksis atau bahkan lenyap,
dengan kata lain adanya interaksi antar sistem hukum yang menimbulkan sistem hukum
yang lebih kongkret dan pasti akan menjadi sistem yang akan berlaku dan
diterima oleh masyarakat.
Akibat penjajahan kolonial
Belanda 350 tahun menyebabkan mayoritas umat Islam di Indonesia memakai sistem
hukum positif barat. Pemberlakuan hukum positif Barat di Negara-negara Islam
tidak terlepas dari kolonialisme, termasuk Indonesia.
A.
Periode Pemerintah Kolonial
1. Hukum Adat Versus Hukum Barat
Menurut Vollenhoven hukum adat adalah
hukum non statutair yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian
hukum Islam. Hukum adat itu pun melingkupi hukum yang berdasarkan
keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum dalam lingkungan, dimana
ia memutuskan perkara. Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup, karena ia
menjelma perasan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan fitrahnya sendiri,
hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidupnya
sendiri.
Awal terjadinya pergeseran hukum adat
pada saat penggagasan di berlakunya sistem hukum kodifikasi Barat, secara
efektif berlaku sejak tahun 1848. Pada era kabinet Kuyper yang memegang
kekuasaan pada tahun 1901, pada tanggal 15 september 1904 mengusulkan suatu
rencana undang-undang yang maksudnya bukan untuk mempertahankan hukum adat yang
tak tertulis dan juga bukan untuk mengkodifikasi hukum adat akan tetapi untuk
menggantikan hukum adat dengan hukum Eropa.
Lebih lanjut Soepomo menjelaskan bahwa
untuk menjamin kepentingan-kepentingan dari 300.000 orang kristen di Indonesia,
pemerintah Belanda menghendaki supaya seluruh penduduk dari daerah-daerah yang
di perintahkan secara langsung yang pada waktu itu 30.000.000 komunitas kristen
saat itu tunduk pada unifikasi hukum Barat.
Dalam hubungan ini Macauli melukiskan kodifikasi bagi India
pada tahun 1833, uniformity went you can have it’s divercity went you must have
it’s but ia all caces: cartainty). Dengan demikian pem “Barat” an terhadap
sistem hukum adat semakin menjadi keharusan dengan asumsi bahwa Timur selalu
meniru istitusi-institusi sosial dari Barat. Berikut ini pendapat Mr. Cowan: ”suatu
hal yang sewajarnya bahwa unifikasi harus didasarkan kepada hukum Barat karena
menurut anggapannya kita selalu mengetahui dunia Timur, menerima
institut-institut sosial baru dari Barat, belum pernah terjadi sebelumnya,
sedang hukum perdata harus mengikuti institut-institut sosial
B. Periode Pasca Kemerdekaan
1. Era Soekarno
Indonesia merdeka pada tanggal 17 agustus 1945 namun kemerdekaan di bidang
lainnya seperti ekonomi politik dan pengaruh asing lainnya masih menjadi
persoalan yang tidak mudah untuk lepas secara menyeluruh hal ini sebagai mana
di tegaskan oleh Bung Karno dalam pidatonya dalam Konfrensi Asia Tenggara di Washington:
“Semenjak Kemerdekaan politik di Indonesia menjadi suatu kenyataan maka
timbullah masalah lain yang sama penting dan sukarnya, yakni masalah pembinaan
masyarakat indonesia yang sampai beberapa tahun yang lalu hampir seluruhnya
dikendalikan oleh kekuasaan asing dalam kehidupan ekonomi sosial dan politiknya”...
dengan tamatnya masa kolonial itu kami dihadapkan kepada masalah mengubah dan
pembarui indonesia, yang berarti: meruntuhkan tata terttib masyarakat yang
lampau dan menciptakan ukuran-ukuran baru berdasarkan kebutuhan-kebutuhan
nasional dari bangsa Indonesia, disesuaikan dengan syarat-syarat hidup modern”.
Rezim Soekarno politik pembangunan hukum termasuk menentukan sistem hukum
ala Indonesia dengan memperhatikan kebutuhan internasionalisme modern, tetap
menyandarkan pada sistem konstitusi yang mengalami beberapa kali penggantian
(UUD 1945) UU Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Undang-Undang Dasar Sementara.
2. Era Soeharto (1966-1998)
Rezim Soeharto yang memiliki nuansa pembangunan ekonomi yang lebih
terbuka khusus nya investasi besar-besaran bermitra dengan dunia sistem
kapitalisme Barat. Sebagai bukti atas itu pemerintah mengundangkan Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Pemerintah mengklaim sebuah
karya bangsa dengan di berlakukanya KUHAP produk Indonesia, walaupun sebenar
nya lebih tepat sebagai “Copy” dari KUHAP Belanda. Ketidak populeran dan
kurang membumi nya sistem hukum pribumi dalam hal ini hukum adat dan
hukum Islam di sebabkan berbagai faktor, di antara nya:
- Tidak ada nya jaminan
kepastian hukum;
- Nilai-nilai moral yang di
sampaikan hukum adat, maupun islam daya mengikat nya lemah;
- Berbeda-beda nya
aliran-aliran (mazhab) pemahaman hukum islam;
- Kebutuhan perangkat hukum positif yang terjamin kepastian dan penerapan nya (legally enforceable);
- Kebutuhan pembangunan yang melibatkan investor asing yang sudah berhukum pada sistem hukum positif (sekuler)
Era Soeharto adalah era pembangunan, khusus nya
mengedepankan pembangunan fisik tanpa mengedepankan pertimbangan moral dan
etika. Salah satu kebutuhan untuk melakukan bisnis adalah kepastian atau
certainty. Legal transplan atau pencangkokan hukum merupakan salah satu metodde
untuk mensosialisasikan pola-pola yang diadopsi dari luar seperti Amerika.
Pasca
Soeharto ( 1998-sekarang)
Dalam era pembangunan pasca Soeharto di warnai suatu suasana transisi dari
era otoriter dan era reformatif. Suatu langkah yang fenomenal pada zaman Habiebie
telah di undangkan lebuh dari tiga puluh Undang-undang dalam kurung waktu
kurang dari dua tahun, termasuk memerdekakan Timor-Timur. Pada periode tersebut
bermunculan instrument-instrumen hukum yang berasal dari sistem hukum Amerika,
sebagai contoh gugata class action, penyelesaian sengketa alternatif dan
arbitrase dan munculnya berbagai lembaga quasi yudisial, seperti komisi
bentukan pemerintah.
Bagaimana nasibnya hukum adat juga termasuk hukum Islam yang sebelum zaman kolonial
merupakan sistem hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia.
Pemandangan menunjukkan bahwa kedua sistem tersebut semakin tercabut dari akar
budaya masyarakat dan tidak berdaya menahan derasnya keperkasaan sistem hukum
Barat.
C. Hukum Islam dan Pemeluknya di Indonesia
Pembahasan hukum Islam perlu mendapatkan pembahasan secara memadai. Hal ini
menjadi penting mengingat mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam, sistem
hukum yang dewasa ini berlaku didominasi sistem civil law. Selain itu,
eksistensi hukum adat masih memiliki nuansa yang signifikan.
Komposisi antar ketiga elemen tersebut di Indonesia sangat tampak dalam
kurikulum fakultas hukum seluruh Indonesia. Tidak dapat di pungkiri sistem hukum
warisan kolonial menempati porsi yang dominan, seperti Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Subtansi hukum Islam dan hukum adat tidak lebih sebagai mata
kuliah komplementer. Dengan kata lain, realitas hukum dan realitas empiris
komunitas yang di aturnya terdapat kesenjangan yang serius. Bahkan,
pemuka-pemuka Islam di Indonesia banyak yang mempelajari dan mendalami Islam
atau pengetahuan lainnya dari Negara non-Muslim, seperti Amerika, Eropa
termasuk di Belanda yang telah menjajah kita. Bukan tidak mungkin, proses brain
washing dan culture adjustmen dialami para pemuka, pemimpin umat islam
dengan mindset barat.
Umat Islam berhukum pada sistem hukum non-Islam serta mengambil sikap yang
bervariasi terhadap sistem hukum positif di Indonesia:
1. Ummat Islam berhukum pada sistem Hukum Barat (BW, KUHP, KUHAP dan hukum
positif lainnya diluar itu).
2. Ummat Islam
berhukum pada sistem hukum Islam (selektif)
3. Ummat Islam berhukum pada sebagian hukum Islam dan
sebagian hukum Barat serta hukum Adat.
D. Benturan Antar Sistem Hukum
Dalam konteks pluralitas masyarakat Indonesia, sangat di mungkinkan coalition
of norm atau benturaan norma sebagai berikut:
1. Kontrasi antara hukum
Islam dengan hukum positif.
2. Kontraksi antara hukum
Islam dengan adat atau urf.
3. Kontraksi antara hukum
positif dengan hukum adat.
Sebagai contoh terjadinya kontradiksi anatar hukum Islam dengan hukum
positif bahwa jika seseorang yang terikat pernikahan melakukan zina, menurut
syariat Islam harus dirajam atau dilempar dengan batu sampai mati dan apabila
pelaku zina belum terikat pernikahan di hukum dengan cambuk seratus kali.
Penerapan hukum tersebut tidak bisa dibenarkan menurut hukum positif. Contoh
lain perbedaan konstruksi hukum mengenai zina antara konsep Islam dengan KUHP
sebagai hukum positif. Zina menurut hukum Islam pelakunya tidak mensyaratkan
terikat oleh perkawinan sedangkan KUHP sebaliknya yakni salah satu pelaku atau
keduanya terikat perkawinan.
Apabila kita merujuk kepada Al-urf / Al-Adat / Al-Ta’ammul, sebagai
salah satu metode dalam penetapan hukum, persoalan adat di Indonesia cukup menarik
untuk dikaji. Apakah semua hukum adat dapat diadopsi menjadi hukum syara` atau
kaidah lain. Sikap Islam terhadap adat, adalah jelas bahwa adat kebiasaan yang
benar (al-adat al shahihah) yang dapat diadopsi ke dalam hukum Islam.
E. Marjinalisasi Hukum Islam
Perbedaan yang mencolok antara perkembangan hukum Islam dan hukum Barat
adalah terletak pada “positivisme”. Dalam hukum Barat, ajaran ketuhanan dan
ajaran hukum kodrat telah lama ditinggalkan bahkan tidak memiliki kepastian
hukum.
Dalam Islam terbuka ruang atau peluang untuk melakukan pembaruan hukum
sesuai dengan kebutuhan waktu dan tempat, tapi harus tetap berdasarkan
Al-Qur’an dan Hadist. Apa dasarnya, kita dapat merujuk pada percakapan Nabi
Saw. dengan Muadz bin Jabal ketika akan ditugasi sebagai gubernur Yaman. Sang
gubernur menjawab “saya akan melakukan Ijtihad.” Istilah Ijtihad apabila di
sejajarkan dengan pola ajaran hukum Barat, kurang lebih dengan istilah “akal
budi” untuk menemukan hukum-hukum Tuhan. Hukum Islam jelas memiliki perbedaan
dengan hukum Barat, diantaranya Hukum Islam berdasarkan pada wahyu Tuhan yang
disampaikan pada utusan-Nya dan terkodifikasi baik Al-qur’an maupun kompilasi
Hadis. Disisi lain, teori hukum kodrat tidak memiliki kodifikasi, hukum
tersebut hanya sekedar konsepsi hukum yang abstrak, universal, yang penafsiran
dan pemahamannya ada pada naruni masing-masing.
Hal ini tidak hanya dialami oleh Indonesia, Mesir sebagai pusat
peradaban Muslim modern pun sedang menghadapi krisis serupa. Yusuf Qardhawi mengungkapkan kekhawatirannya:
“Sungguh
undang-undang ini tidak akan pernah masuk dan diberlakukan seandainya penjajah
tidak memasukkan dan mensosialisasikannya secara paksa “ketazaman tombak” nya. Masina.
Penasehat
hukum pemerintah Mesir berkebangsaan Italia berkata: “syabah, kepala pendidikan
sejarah di Sivini, gemetaran tubuhnya karena membayangkan bagaimana umat ini
dipaksakan untuk memberlakukan undang-undang yang datang dari luar..
Keadaan
serupa sesungguhnya juga terjadi di Indonesia , bahka di Negara Islam
lainnya. Mengapa hal ini terjadi, Barat memiliki mesin hukum yang namanya
“positivisme” sebagai man made law atau hukum buatan manusia yang telah
berhasil diberlakukan dengan sistem hukumnya yang ditopang oleh struktur hukum
(legal structure) seperti institusi-institusi hukum, instrument-instrument
hukum secara substansial dalam berbagai perundang-undangan termasuk budaya
hukum (legal culture) yang mereka bawa sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai
dasar yang mereka bangun.
F. Demoralisasi dan Inefektivitas Hukum
Positif
Pendewaan
terhadap hukum positif yang kering dengan muatan religi, moral, dan akhlak akan
menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan masyarakat. Dengan ruh kapitalisme,
dan sekularisme, pertimbangan moral semakin dianggap tidak relevan. Sistem
hukum positif Barat menjadi sistem tunggal memarjinalkan eksistensi sistem
hukum lainnya.
Hal
lain yang krusial adalah efektivitas hukum agama yang sandarannya dikembalikan
keimanan setiap individu, bahkan nilai-nilai dan pesan moral agama hanya
sebatas urusan ritual religius yang bersifat vertical. Hal ini diperparah
dengan ketidakefektifan hukum positif di Indonesia mengakibatkan keadaan
semakin terpuruknya supermasi moral.
G. Tinjauan Sistem Hukum Mesir
Pemahaman
dasar untuk mengenali sistem hukum Mesir bertitik tolak dari sejarah yang
melatar belakangi existing law saat ini bahwa Mesir pernah diduduki oleh
berbagai peradaban, yaitu Yunani, Romawi, Prancis, Inggris, dan hukum Islam. Sebagai
konsekuensi dari realitas sejarah, sumber hukum utama di Mesir adalah Kode
Napoleon (Napoleonic Code), Romawi Law, dan hukum Islam.
Struktur
dan sistem kenegaraan menganut demokrasi konstitusional berdasarkan prinsip
pemisahan kekuasaan-kekuasaan legislative, eksekutif, dan yudikatif. Konstitusi
Mesir tahun 1971 diamandemenkan pada tahun 1980 dengan referendum tanggal 22
mai 1980 yang memiliki nafas penghormatan terhadap kebebasan individu dan rule
of law. Kekuasaan yudikatif memiliki independensi dan tidak menjadi
subordinat lembaga lainnya, para hakim mengabdikan dirinya sampai usia 64 tahun
dan dijamin keamanan dan keselamatannya oleh Negara.
Mesir
menempatkan urutan produk hukum dan perundang-undangannya sebagai berikut,
yaitu: Constitution, parliament legislation, presidential decree, Prime Ministerial
decree, ministerial decision and acts of governors and head of governmental
bodies and public corporations (konstitusi,
legislasi parlemen, keputusan presiden, keputusan perdana menteri,
keputusan menetri dan peraturan gubernur, kepala lembaga pemerintahan dan
korporasi publik).
Sejak
pemerintahan Khedive Ismail pada
paruh pertama abad ke-19, telah mengalami proses westernisasi dengan cepat
dengan mengadopsi kode hukum modern (modern codes of law), seperti hukum
Napoleon Prancis, dan pengabdosian hukum Romawi, dengan beberapa kekecualian
dalam bidang perkawinan, warisan dan perceraian tunduk pad hukum substatif
Islam. Adapun struktur sistem pengadilannya terpisah menjadi dua, yaitu The
ordinary court of law dan administrative law atau peradilan
umum dan peradilan tata usaha Negara.
Sistem Common Law di Mesir
Sistem
common law di Mesir terdiri empat lapisan yaitu summary court, court of
first degree, court of appeal dan supreme court (court de cassation).
Mempunyai
yuridiksi untuk memutuskan perkara mengenai misdemeanor, minor offences,
civil and commercial cases yang nilainya tidak melebihi 5.000
poundsterling. Juga status personal usia di bawah umur dan persengketaan
perburuan yang timbul antara pekerja dan majikan.
2. Pengadilan Tingkat Pertama (court of
first degree)
Pengadilan
ini mempunyai yuridiksi untuk memutuskan perkara yang nilainya melebihi 5.000
poundsterling menyangkut status personal, memiliki hak untuk melakukan banding ke
court of appeal.
3. Pengadilan Tingkat Banding
(Court of appeal)
Pengadilan
tingkat banding berada di kota-kota besar di Mesir, yurisdiksinya meliputi
penyelaian kasus banding dari mulai perkara sipil, komersial, status personal
yang diajukan pengadilan tingkat pertama. Bobot kasus yang diproses juga
menyangkut hukuman berat, hukuman mati atau penjara 20sampai 25 tahun.
4. Supreme
Court (court de cassation)
Pengadilan
tingkat kasasi atau mahkamah agung menyelesaikan perkara dari pengadilan
tingkat banding untuk memberikan final judgement terhadap kasus yang
berasal dari pengadilan banding.
H. Kelemahan Umat Islam
M. Natsir mengidentifikasi
kelemahan umat Islam kedalam empat macam:
1. Tidak ada Inventarisasi. Umat Islam
seperti orang kaya yang tidak pandai memegang buku Inventarisasi gudag. Umat
Islam memiliki potensi tapi tidak mampu memobilisasikannya untuk keperluan umat
2. Hobi bermusuhan. Umat Islam sangat
demam punya lawan. Kalau ada musuh mereka bersatu bila musuh tidak ada lagi
mereka kehilangan musuh, maka mereka mencari musuh dikalangan diri sendiri.
3. Tidak menghargai diri. Umat Islam tidak
menghargai diri dan yang menjadi milik
sendiri.
4. Rakus pada dunia dan takut risiko. Umat
Islam sangat rakus pada dunia dan dalam waktu yang sama sangat takut pada
risiko, takut mati.
I. Hukum Islam dan Hukum Sipil (Civil Law)
Setelah menguraikan sumber-sumber hukum Islam beserta
metode penetapan hukum baru yang belum ada pengaturannya dalam Alqur’an maupun
Al-Sunah, dapat disimpulkan bahwa hukum Islam memiliki banyak kesamaan dengan sistem
kode sipil, diantaranya:
a. Civil Law yang berasal dari Corpus Juris Civilis terdiri
dari empat buku (terkodifikasi).
b. Kaidah dan asas hukum dibuat oleh para pakar hukum terkemuka
;(glossator, comentor)
c. Sebagian merupakan keputusan
kaisar.
Dalam hukum Islam, ternyata memiliki
beberapa kesamaaan dalam beberapa hal :
- Hukum Islam merupakaan
hukum yang terkodifikasi ; ( mushaf usman)
- Hukum Islam yang
dibuat yang diluar al-quran dan al-sunnah dibuat oleh law maker yang terkemuka
(mujtahid)
- Hukum Islam mengakui
eksistensi adat (urf) yang sesuai syara’
- Ijma para sahabat
merupakan hukum berasal dari penguasa (khalifah)
Sedangkan
sejumlah perbedan antara kedua sistem
tersebut adalah :
a.
Sumbernya
Hukum
Romawi merupakan hukum yang murni merupakan buatan manusia, sedangkan hukum Islam
masih terjaga kemurniannya sebagai wahyu Allah.
b.
Penyebarannya
Hukum Romawi
menyebar ke seluruh dunia berawal dari universitas Bologna di Italia, dan
setelah itu menebar ke seluruh eropa dan seluruh bekas jajahannya (melalui
imperealisme); hukum islam penyebarannya melalui perniagaaannya oleh para
pedagang.
c.
Metode
Islam menyebar
melalui perdagangan, hukum sipil diterapkan dan disebarkan melalui
kolonialisme.
J. Hukum Islam dan Tertib Social (Sosial Order)
Betapa tidak berdayanya pilar hukum positif dalam melakukan
kriminalisasi terhadap dunia mistik primitive sekaligus dunia maya super modern
yang kita namakan cyber rime. Dua perbuatan menyimpang yang secara substansinya
sama, tetapi merupakan keluaran hasil olah rasa dan olah pikir manusia yang
berbeda. Dalam model untuk membangun masyarakat agar tidak menjurus dan
terjerumus pada dunia kriminal atau berkubang dengan dosa. Berikut ini pemikir Islam terkemuka dari Mesir
Yusuf Qordhawi menjelaskan :
‘Islam bukanlah hukum dan perundang-undangan
belaka, tetapi Islam adalah akidah yang menafsirkan kehidupan, ibadah yang
mendidik jiwa, akhlak yang membersihkan persepsi, nilai-nilai yang mengangkat
martabat manusia dan etika yang memperindah kehidupan.
Ayat-ayat yang secara substansial
merupakan norma hukum jumlahnya tidak sampai sepersepuluh dari al-quran. Sebelum
sampai pada keputusan untuk penggunaan norma-norma hukumnya, Islam menyiapkan
perangkat lainnya, karena ia bukan sebuah sistem yang kering seperti kandungan hukum
yang ada, tetapi jauh lebih dari itu merupakan syari’at, dakwah, pengarahan
(taujih) pembinaan (tarbiyah), sekaligus ancaman (tarhib). Dengan penanaman benih-benih nilai keimanan pada setiap hati manusia
akan mencetak manusia yang baru, yang memberinya tujuan, menganugrahinya
dorongan dan rambu-rambu, memberinya balasan atas seluruh amalnya, baik di
dunia maupun di akhirat kelak. Lebih jauh Yusuf Qardhawi menegaskan bahwa :
“Penjatuhan
sanksi hukum hanya ditujukan kepada individu-indvidu yang melanggar ketentuan-NYA
da sudah barang tentu prosentasi golongan ini tidak sampai separuh dari
komunitas masyarakat, meraka hanya dalm jumlah kecil dan tidak termasuk dalam
basis sosial “
K. Revitalisasi Nilai-Nilai Agama
Adanya kemandulan fungsi hukum positif, revitalisasi
penanaman nilai-nilai agama, akan semakin penting. Apakah arti sebuah bangsa
yang religius apabila nilai-nilai agama hanya bergema sebatas dinding tempat
ibadah, rumah ibadah secara ritual tanpa mampu menunjukkan kontribusi positif
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara konstektual. Suburnya praktik korupsi dan ketidak profesionalan me-manage Negara
mengindekasikan fenomena yang lebih burukdari Negara sekuler sekalipun.
Negara-negara eropa jauh lebih bersih dan tertib dari praktik-praktik kotor
aparat Negara, padahal kata-kata agama, tuhan, moral dan alam ghaib sudah lagi
bukan merupakan pembicaraan yang popular.
L. Reformulasi Hukum Islam
Berbicara
hubungan dan masyarakat akan menjadi penting dalam “memasyarakatkan hukum“ dan “menghukumi
masyarakat”. Dalam diskursus ilmu hukum baik dalam hukum positif maupun hukum Islam
para ahli hukum terbelah menjadi dua kutub, yaitu pertama, hukum harus tetap atau bersifat permanen. Masyarakatlah
yang harus berprilaku menyesuaikan dengan apa yang telah digariskan dan
dikehendaki oleh hukum. Dalam hal ini hukum bersifat normative, kaku atau rigid
dan menafikan dinamika perkembangan masyarakat. Sedangkan kedua, hukum haruslah kreatif melakukan model-model atau pilihan
rasional untuk memperoleh efek hukum yang diterapkan. Fenomena dan realitas sosial berubah bahkan yang
tetap atau permanent itu adalah perubahan itu sendiri. Pemahaman kedua ini
telah diintrodusir oleh Rescoe Pound (1870-1964) yang juga pernah menjabat
sebagai Dekan Fakultas Hukum Harvard Law School di Amerika .
Dalam
tataran praktik, hukum berproses, berinteraksi dengan faktor atau variable
lainnya sehingga tidaklah mungkin hanya satu paham saja secara mutlak, baik
paham normative atau legal positivisme. Sungguh tepat apa yang disampaikan oleh
steven vago bahwa “laws maintain the statusquo but also provide for necessary
changes”. Bagaimana hanya dengan hukum Islam di Indonesia, menurut H.Ahmad Imam Mawardi bahwa :
“Dalam
kontek Indonesia ,
pemikiran hukum Islam sepertinya lebih banyak di dominasi oleh aliran yang anti
perubahan, at least pada masa sebelum tahun 1989. Perubahan yang yang dimaksud
adalah gantungan kepada teks fiqih klasik yang begitu kuat dan sempitnya
peluang meniptakan syarah interpretative ketimbang syarrah normative, serta
minimnya socio-relegios response terhadap kasus-kasus hukum yang banyak terjadi
menjadi bukti ketidak berdayaan pemilihan hukum Islam”
Lebih
jauh beliau mengajukan sejumlah pilihan dan langkah-langkah yang harus seger
dilakukan oleh para ahli hukum Islam di Indonesia. Bahkan, secara tegas
dinyatakan reformasi hukum Islam merupakan suatu keharusan dalam rangka
perbaikan hukum Islam yang mengarah kepada terwujudnya kemaslahatan umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar