Status Otonomi Khusus untuk Daerah Aceh sebagaimana yang telah
dituangkan di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh
(UUPA) telah memberikan kekhususan dan pengaturan yang berbeda terhadap
pengaturan pemerintahan jika ditinjau dari sistem ketatanegaraan, salah satunya
adalah eksistensi, peran dan fungsi Majelis MPU dan kedudukannya sebagai
lembaga yang bermitra bersama Pemerintah Aceh dalam perumusan berbagai bentuk
kebijakan.
Di dalam Pasal 139 ayat (1) UUPA, ditegaskan bahwa peran “MPU
berfungsi untuk menetapkan fatwa yang dapat menjadi salah satu pertimbangan
terhadap kebijakan pemerintahan daerah dalam bidang pemerintahan, pembangunan,
pembinaan masyarakat dan ekonomi”[1].
Keberadaan MPU juga telah diamanatkan di dalam UU No. 44
Tahun 1999 Tentang Keistimewaan Aceh, disebutkan bahwa Daerah membentuk sebuah
badan yang anggotanya terdiri atas para ulama. Dan Badan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bersifat independen yang berfungsi memberikan pertimbangan
terhadap kebijakan Daerah, termasuk bidang pemerintahan, pembangunan, dan
kemasyarakatan serta tatanan ekonomi yang Islami[2] Saat inipuan Pemerintah Aceh telah
mengeluarkan Qanun No. 2 Tahun 2009 yang mengatur organisasi MPU.
Dengan demikian dapat dilihat bahwa dari sisi aturan hukum,
MPU merupakan lembaga yang secara yuridis sah keberadaanya dan dapat
menjalankan tugasnya berdasarkan dengan aturan yang ada, dan MPU tidak dapat
disamakan dengan organisasi yang ada baik ormas atau lembaga kemasyarakat
lainnya. Namun yang perlu dilihat di dalam konteks ketatanegaraan di tingkat
pemerintahan daerah, khusunya pemerintahan Aceh di dalam kerangka otonomi
khusus, yaitu menyangkut dengan keberadaan MPU di dalam perumusan berbagai
bentuk kebijakan baik qanun ataupun fatwa, baik menyangkut dengan syriat islam
dan lainnya, dan hubungan kelembagaan yang dibangun baik dengan masyarkat serta
legislative dan eksekutif, hal ini penting untuk melihat kinerja dari lembaga
ini di tataran publik
Jika dikatakan MPU sebagai mitra, dapat dikatakan bahwa MPU
sebagai lembaga yang sejajar, maka, sebagai lembaga yang sejajar atau mitra,
masing-masing kelembagaan akan memiliki penilaian yang berbeda dan kekuatan
posisi tawar yang berbeda dalam memahami substansi persoalan serta di dalam
melakukan argumentasi baik secara yuridis,
filosofi dan sosiologis terhadap suatu kebijakan yang akan dilahirkan.
Hal ini akan membawa konsekwensi dimana eksekutif dan legislatif dapat memakai pertimbangan dari MPU dan dapat
saja menolak pertimbangan yang diajukan oleh MPU. Dalam hal ini, dapat dianggap
bahwa usulan “Pertimbangan” bisa dan/atau tidak mengikat pihak eksekutif dan
legislatif di dalam merumuskan dan menerapkan aspek kebijakan yang akan
dilahirkan.
Namun jika dilihat dari sisi ketatanegaraan dan aspek kelembagaan,
hadirnya lembaga MPU sebagai mitra yang sejajar diantara eksekutif dan
legislatif merupakan langkah maju dimana Aceh sudah mengakomodir lembaga yang
sangat penting untuk menciptakan norma-norma hukum dan kebijakan sesuai dengan
nilai-nilai keislaman, yang dilakukan dengan mengandeng MPU.
Hal ini sesuatu yang berbeda yang dikenal dengan pembagian
kekuasaan (distribution of Power),
atau yang disampaikan oleh John Lock yang membagi kekuasaan menjadi
eksektif, legislative, dan yudikatif, dan konsep Pemisahan Kekuasaan (separation of power) dengan teori trias politica yang pernah
dikemukakan oleh Montesquieu. Pada dasarnya kedua konsep ini ditujukan untuk
menghindari terjadinya pemusatan kekuasaan, sehingga adanya check and balance dalam hubungan kelembagaan,
untuk tidak terjadinya pemusatan kekuasaan kepada satu lembaga.
MPU memiliki peran sesuai dengan yang dimandatkan dalam UUPA
untuk memberikan masukan-masukan kepada Pemerintah Aceh dalam merumuskan
kebijakan. Dengan demikian fungsi check
and balance terhadap kebijakan yang dilahirkan oleh Pemerintah Aceh tidak
hanya dilakukan oleh tiga lembaga, namun juga dilakukan oleh MPU dalam
kedudukannya sebagai mitra Pemerintah Aceh, dalam hal ini dapat dikatakan peran
MPU sudah menjalankan fungsi pembuatan kebijakan (Policy Making Function), karena MPU dikatakan sebagai mitra
Pemerintah Aceh, dan Parlemen Aceh dan juga Parlemen Kabupaten/Kota didalam
perumusan kebijakan, dan MPU sudah melakukan fungsi control terhadap berbagai
kebijakan yang dilahirkan oleh Pemerintah
Aceh.
Jika dilihat lebih jauh lagi kiprah dan peran ulama terutama
MPU Aceh dalam memberikan pertimbangan terhadap kebijakan bagi Pemerintah Aceh
telah lama dilakukan, misalnya saja, pada tahun 2001 MPU berperan aktif
memberikan masukan terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, MPU merumuskan
Rancangan Qanun Tentang Baitul Mal, Rancangan Qanun Mahkahah Syari’ah, dan
Qanun-Qanun pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh, seperti Qanun tentang maisir,
khalwat dan khamar. Pada tahun 2006 MPU mengeluarkan berbagai fatwa yaitu,
mengeluarkan taushiyah tentang kewajiban mensuksesukan Pilkada, Menetapkan
Fatwa tentang Kewajiban Pemerintah untuk melaksanakan pencatatan dan
administrasi kependudukan dan menyusus Rancangan Qanun MPU yang baru, sesuai
dengan tuntutan UUPA dan pemekakaran Kabupaten/Kota dalam Provinsi NAD[3].
Di dalam Qanun No. 2 Tahun 2009 disebutkan MPU Aceh
berfungsi (a) Mengeluarkan fatwa; (b)
memberikan pertimbangan dan saran kepada Pemerintah Aceh, DPRA dan masyarakat;
(d) Menentukan kebijakan daerah dari aspek Syari'at Islam; (e) Memfasilitasi
pengkaderan ulama[4].
Disisi yang lain, MPU dapat mengikutsertakan tenaga ahli
dalam bidang keilmuan terkait. Hal ini Terkait dengan fungsi MPU memberi fatwa
dan pertimbangan dalam bidang pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat
dan Ekonomi, MPU juga dapat membentuk LP POM guna meneliti kandungan kehalalan
suatu produk.
Dengan tugas dan fungsinya begitu besar tersebut, MPU perlu
memikirkan aspek-aspek pengembangan organisasi, pengembangan kapasitas yang
menyangkut dengan aspek pemerintahan dan pembangunan hukum di Aceh, sehingga
nantinya baik dari sisi aspek sumber daya manusianya, pengkaderan dan juga
kelembagaannya, MPU dapat bekerja secara optimal di dalam memberikan masukan
dan pertimbangan-pertimbangan bagi terhadap berbagai kebijakan yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Aceh agar dapat dilakukan sesuai dengan prinsip keadilan dan
pemenuhan kepastian hukum di Aceh. sehingga peran Ulama yang merupakan bahagian
penting dari MPU dan untuk terbangunnya masyarakat Aceh yang adil, dan jauh
dari sikap pihak penguasa baik eksekutif dan legislatif dalam bentuk
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power)
dapat dihindari dengan adanya kontrol yang kuat dari MPU terhadap kebijakan
yang dilahirkan oleh Pihak eksekuif dan legislative. Artinya peran-peran komunikasi yang efektif
dalam merumuskan kebijakan yang membutuhkan pertimbangan dari MPU harus
dilakukan baik diminta maupun tidak diminta. Jika saja ada sesuatu kebijakan
yang bergeser dari prinsip keadilan dan norma yang berlaku di Aceh, walaupun
tidak diminta MPU tetap harus memberikan pertimbangannya, disinilah masyarakat
dapat menilai peran dan kinerja MPU Aceh.
Ada beberapa hal yang menurut penulis menjadi kendala di
dalam MPU hari ini, dimana kendala-kendala tersebut jika tidak diatasi dengan
baik oleh MPU dan Pemerintah Aceh akan mempengaruhi kinerja dari MPU di dalam
melaksanakan tugasnya, beberapa hal dibawah ini patut menjadi perhatian bagi
pemerintah Aceh di dalam melakukan pembenahan terhadap MPU dan bahka
organisasi-organisasi lainnya, yaitu:
Pertama, adalah aspek anggaran, Di dalam sebuah organisasi
yang dituntut bekerja maksimal di dalam melayani kepentingan publik MPU
berperan besar. Sebagaimana yang diketahui bahwa UUPA mengamanatkan membentuk
MPU baik ditingkat Provinsi maupun di Kabupaten/Kota, namun pembebanan anggaran
yang tidak begitu seimbang antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota sudah
terjadi dan menjadi suatu hal memalukan di tataran kebijakan Pemerintahan baik
di Provinsi dan di daerah, misalnya seperti yang terjadi di Aceh Barat Puluhan
Pengurus Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kabupaten Aceh Barat sejak lima
bulan terakhir belum terima gaji. Jerih payah mereka yang harus dibayar
terhitung sejak Juni - Oktober 2009. Tgk Khairul Azhar selaku anggota Dewan
Paripurna Ulama (DPU) Kabupaten Aceh Barat, kepada Serambi, Selasa (27/10)
mengatakan, akibat belum cairnya jerih payah menyebabkan kegiatan yang sedang
dijalankan terbengkalai. Mengingat dalam tugas yang dijalankan tersebut, khususnya
penyusunan buku agama guna menjadi pedoman pelaksanaan oleh masyarakat, kini
tak berjalan maksimal[5].
Kejadian-kejadian seperti yang terjadi di Aceh Barat tentunya
bukanlah sekali dua kali dan tidak hanya terjadi di tingkat MPU saja, akrab di
dengar bahwa terjadinya keterlambatan pembayaran gaji, program dan kegiatan
tidak jalan dan hal-hal yang dapat mengganggu kinerja jalannya roda pemerintahan di Aceh.
Kedua adalah sumber daya manusia, sumber daya manusia berperan
penting bagi MPU bagi ulama Aceh, sebagaimana diketahui adalah, ulama bereperan
besar di tubuh MPU, dan diamanat di dalam UUPA bahwa anggota dari MPU terdiri
dari ulama-ulama. Memang di tataran keagamaan, Aceh yang berdasarkan pada
syari’at Islam menghendaki perumusan kebijakan yang berlandaskan pada hukum
syariaiah Islam, namun di tataran Negara justru hal ini menemukan kendala,
misalnya saja ketika perumusan mengenai Qanun Jinayah, yang hingga hari ini
masih menimbulkan kontroveri, dimana Gubernur Aceh tidak menghendaki Qanun
Jinayah disahkan karena tidak melalui proses persetujuan bersama. Hal ini
tentunya berdampai kepada bagaimana peran MPU dituntut untuk memberikan
pertimbangan dan masukan kepada pihak eksekutif mengenai Qanun tersebut, yang
notabene adalah bahagian dari pelaksanaan syari’ah Islam di Aceh. tentunya
disini MPU perlu juga memahami konteks ketatanegaraan dan aturan-aturan
perumusan sebuah kebijakan atau aturan hukum seperti Qanun.
Jika dilihat bahwa di dalam ketentuan
perundang-undangan, Di dalam ketentuan Pasal 232 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa
Qanun Aceh disahkan oleh Gubernur setelah mendapat persetujuan
bersama dengan DPRA. Dan di dalam Pasal 234 disebutkan Dalam hal
rancangan qanun yang telah disetujui bersama oleh DPRA dan Gubernur atau
DPRK dan bupati/walikota tidak disahkan oleh Gubernur atau
bupati/walikota dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan qanun
disetujui, rancangan qanun tersebut sah menjadi qanun dan wajib
diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah Aceh atau Lembaran
Daerah kabupaten/kota. Pasal 36 No 3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara
Pembentukan Qanun menyebutkan bahwa Rancangan qanun yang telah disetujui
bersama oleh DPRA/DPRK dan Gubernur/bupati/walikota disampaikan oleh pimpinan
DPRA/DPRK kepada Gubernur/bupati/walikota untuk disahkan menjadi qanun.
Dapat dilihat, dari ketentuan yang
ada di dalam peraturan perundang-undangan yang disebutkan diatas, terdapat dua
proses yang harus dilalui di dalam proses pembuatan kebijakan atau peraturan
perundang-undangan atau Qanun , yaitu tahapan dimana perlu adanya persetujuan
bersama antara DPRA dan Gubernur sebagai eksekutif di dalam rapat paripurna.
Dan tahapan dimana mensahkan Qanun tersebut. Namun pada kenyataannya,
Pemerintah Aceh mengatakan bahwa Qanun Jinayah belum disetujui bersama oleh
eksekutif, jadi ada proses yang tidak dilalui disini, dengan demikian Qanun
Jinayah belum bisa berlaku 30 hari.
Hal ini tentunya menuntut
pemikiran dari MPU bagaimana menyikapi problematika hukumdan hubungan
kelembagaan di dalam perumusan kebijakan diantara legislative dan eksekutif
Ketiga adalah pembangunan
organisasi sendiri. Pengembangan organisasi yang lebih baik saat ini menjadi
tuntutan di tubuh MPU,. hal ini terkait dengan bagaimana MPU dapat membangun
hubungan dan komunikasi politik yang baik dengan mitranya yaitu legislative dan
eksekutif. Di dalam hubungannya sebagai mitra yang sejajar, tentunya yang
dipentingkan adalah bukan suara-suara personal, namun adalah suara-suara yang
mengatas namakan organisasi. Pengembangan Organisasi merupakan program yang berusaha meningkatkan
efektivitas keorganisasian dengan mengintegrasikan keinginan individu akan
pertumbuhan dan perkembangan dengan tujuan keorganisasian. Pengembangan organisasi sebagai suatu
disiplin perubahan perencanaan yang menekankan pada penerapan ilmu pengetahuan
dan praktek keperilakuan untuk membantu organisasi-organisasi mencapai
efektivitas yang lebih besar.
Yang
keempat yang lebih penting adalah hubungan kelembagaan di dalam perumusan
kebijakan, jika dilihat, MPU berkedudukan sebagai sebuah lembaga mitra antara
eksekutif dan legislative dan dapat memberikan masukan dan pertimbangan
terhadap berbagai bentuk kebijakan yang akan dilakukan oleh Pemerintah Aceh,
tentunya, aspek pemberian pertimbangan ini jika memang diminta, dan dapat saja
pertimbangan yang diberikan oleh MPU tidak akan mengikat lembaga legislative
dan eksekutif di dalam perumusan kebijakan. namun MPU akan menjadi sumber
referensi yang cukup bagi perumusan kebijakan yang terkait dengan syaria’ah
Islam di Aceh. dan Qanun-Qanun mengenai Syariah Islam, sebagaimana diketahui
peran MPU di dalam perumusan kebijakan yang berkenaan dengan Syari’ah Islam
cukup banyak, misalnya terlibat di dalam perumusan Qanun Jinayah, Qanun Masir,
Judi dan Khalwat. hal ini merupakan bentuk eksistensi lembaga ini di dalam
perumusan kebijakan di Aceh. tetapi di tataran hubungannya dengan lembaga
legislative dan eksekutif peran MPU,
dapat dilihat sebagai Dewan Pertimbangan. Dewan Pertimbangan memberikan masukan kepada
Presiden baik diminta maupun tidak terhadap berbagai bentuk kebijakan Negara.
Dan jika dilihat dengan konteks keberadaan MPU tentunya peran lembaga ini
sebatas memberikan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah, dan pertimbangan
tersebut dapat dikesampingkan oleh legislative dan eksekutif.
Dewan Pertimbangan Presiden adalah lembaga
pemerintah yang bertugas
memberikan nasihat dan pertimbangan kepada
Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2006 tentang[6]
Hal-hal inilah yang perlu mendapat
perhatian dari MPU sebagai sebuah lembaga yang dituntut aktif di dalam
memberikan pertimbangan kepada lemabag legislative dan eksekutif. memang,
sebuah pertimbangan tidak secara serta merta dapat diterapkan dan dirumuskan di
dalam perumusan kebijakan, namun setidaknya hal ini akan memberikan ruang
control kepada public terhadap kebijakan-kebijakan yang akan dikeluarkan dan
akan berdampak kepada publik di Ace
[1] Pasal
139 ayat (1) UU No 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh
[2] Pasal
9 ayat (1) dan (2) UU No 44 Tahun 1999
[3]
International Developmen Law Organization (IDLO) dalam publikasinya
tentang Majelis Permusyawaratan Ulama Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang
dapat diakses di www.idlo.int.bandaacehawareness.HTM, mengemukakan peran MPU dan fungsi MPU
Aceh dalam perumusan kebijakan yang sudah lama dilakukan dengan bermitra dengan
Pemerintah Aceh, salah satunya adalah dalam hal perumusan berbagai Rancangan
Qanun tentang pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh.
[4]
Pasal Qanun No. 2 Tahun 2009
Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama
Aceh
[5]
http://www.serambinews.com/news/pengurus-mpu-aceh-barat-belum-terima-gaji
[6] Pasal 1 ayat (1) PP No 10
Tahun 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar