Kalau kita coba salami lebih dalam, terminologi hukum adat berasal dari kata adatrecht yang dipergunakan oleh Snouck Hurgronye dan dipakai sebagai terminology teknis yuridis oleh Van Vollenhoven dan kemudian diadovsi dalam penerapan hukum zaman Hindia Belanda. Eksistensi pemberlakuan hukum adat selain diatur dalam instrument hukum nasional juga diatur dalam instrumen hukum internasional. (Baca Buku Hukum Pidana Adat Kajian Asas, Terori, Norma, Praktik dan Prosedur).
I Made Widnyana menyebutkan hukum pidana adat adalah hukum yang hidup (the living law) diikuti dan ditaati oleh masyarakat adat secara terus menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dimana pelanggaran terhadap perbuatan tersebut dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat karena mengganggu keseimbangan kosmis masyarakat. Oleh karena itu bagi sipelanggar diberi reaksi adat, koreksi adat atau sanksi adat oleh masyarakat melalui pengurus adat. Jadi jelas yang berhak memberikan sanksi adat adalah pengurus adat pada masyarakat setempat.
Sumber hukum pidana adat ada dua yaitu; sumber tertulis dan tidak tertulis. Sumber tertulis dapat dilacak misalnya pada kitab ciwasasana atau kitab Purwadhigama pada masa Raja Dharmawangsa abad ke-10, Kitab Gajahmada, Kitab Simbur Cahaya, Kitab Kuntara Raja Niti, Kitab Lontara “ade”, Kitab Adi Agama dan Awig-Awiq serta berbagai kitab lainnya yang pernah eksis di Nusantara.
Pengkodefikasian hukum pidana adat setelah kemerdekaan Indonesia diatur dalam Pasal 1 dan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Drt Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil.
Ada 3 hal penting yang diatur dalam Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Drt Nomor 1 Tahun 1951 yaitu:
Pertama; bahwa tindak pidana adat yang tiada bandingan atau padanan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sifatnya tidak berat atau dianggap tindak pidana adat yang ringan ancaman pidananya adalah pidana penjara paling lama 3 bulan atau denda sebanyak 500 rupiah (setara dengan kejahatan ringan)
Kedua; tindak pidana adat yang ada bandingnya dalam KUHP, ancaman pidananya sama dengan ancaman pidana yang ada dalam KUHP seperti tindak pidana adat drati kerama di Bali atau Mapangaddi (bugis) Zina (Makasar) yang sebanding dengan tindak pidana zinah sebagaimana ketentuan pasal 284 KUHP
Ketiga; sanksi adat sebagaimana ketentuan konteks diatas dapat dijadikan pidana pokok atau pidana utama oleh hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan perbuatan yang menurut hukum yang hidup (living law) dianggap sebagai tindak pidana yang tiada bandingnya dalam KUHP, sedangkan tindak pidana yang ada bandingnya dalam KUHP harus dijatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan KUHP. Akan tetapi sejalan dengan dinamika perpolitikan hukum di nusantara, hukum pinada adat terkesan bagiakan “ada dan tidak ada” ini akibat legitas formal hukum pidana dan hukum pidana adat adalah asas legalitas.
Secara terang benderang Pasal 1 ayat (1) Kitab Udang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan; “ Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya. Dan ini diperkuat dengan teori yang dibangun oleh fakar hukum pidana seperti Lamitang, Djisman Samosir, Andi Hamzah, Moeljatno dan fakar pidana lainnya.
Pada zaman Hindia Belanda Peradilan Adat dikenal dua bentuk yaitu Peradilan Pribumi atau Peradilan Adat dan Peradilan Desa. Peradilan Pribumi dilaksanakan oleh Hakim Eropa dan juga Hakim Indonesia, tidak atas nama Raja/Ratu, tidak berdasarkan tata hukum Eropa, melainkan dengan tata hukum adat yang ditetapkan Residen dengan persetujuan Direktur Kehakiman di Batavia. Eksistensinya berdasarkan ketentuan 74 RR/Pasal 130 IS.
Sementara Peradilan Desa dilaksanakan oleh Hakim Desa atau Hakim Adat baik untuk dilingkungan peradilan gubernemen, peradilan pribumi/peradilan adat, maupun peradilan swapraja diluar jawa dan madura yang berwenang mengadili perkara-perkara kecil yang merupakan urusan adat dan urusan desa. Pada zaman pendudukan Jepang, peradilan adat juga diakui eksistensinya. Baru kemudian pasca adanya kebijakan legislasi nasional eksistensi peradilan adat mati suri. Walaupun di Aceh dan beberapa daerah diluar Jawa peradilan adat masih kental, khusunya di Bali yang nuansa peradilan adatnya sangat mengakar hingga sekarang.
Kiranya dalam perspektif kedepan atau masa yang akan datang (ius constituentum) perlu penguatan kembali. Dari sisi praktik, faktanya pengadilan masih mengakui keberadaan peradilan adat baik dari kajian yudex facti (Pengadilan Negeri), yudex yuris (Mahkamah Agung) melalui yurisprudensi eksistensi pengadilan adat tetap mengakuinya. Hasil penelitai Dr Lilik Mulyadi, SH.,M.H, penerapan hukum pidana adat di beberapa daerah masih eksis diantaranya; PT Banda Aceh, 92 %, PT Meda 88 %, PT Denpasar 83%, PT Mataram 79 %, PT Banjarmasin 74%. (Juni-Juli 2010)
Sebagai contoh dapat dilihat pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 dan Putusan Mahkamah Agung Nomo 666 K/Pid/1984 tanggal 23 Februari 1985 bahwa dalam ratio decidendi putusan disebutkan bahwa apabila seseorang melanggar hukum adat kemudian Kepala dan Para Pemuka Adat memberikan reaksi adat (sanksi adat), yang bersangkutan tidak dapat diajukan lagi untuk kedua kalinya sebagai terdakwah dalam persidangan Badan Peradilan Negara (Peradilan Negeri) dengan dakwaan yang sama melanggar hukum adat dan dijatuhi pidana penjara menurut ketentuan KUH Pidana Pasal 5 ayat (3) sub b UUDrt Nomor 1 Tahun 1951 sehingga dalam keadaan demikian pelimpahan berkas perkara serta tuntutan Kejaksaan di Pengadilan Negeri harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk Verklaard). Itu Artinya Mahkamah Agung tetap menghormati putisan pengadilan adat.
*Penulis adalah Praja Wibawa Kota Banda Aceh, Sekretaris Forum Muda Lemhannas Aceh, Dosen Legal Drafting Prodi Hukum Tata Negara dan Hukum Pidana Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Ar-Raniry
Tidak ada komentar:
Posting Komentar