Ketika mendengar terkait dengan pariwisata halal, apa
yang pertama kali terlintas dalam pikiran kalian? Sesuatu yang serba Islami,
sesuatu yang bergaya kearab-araban seperti pemisahan jalur laki-laki dan
perempuan, berpakaian dengan menggunakan niqab?
Karena
di Indonesia sepertinya isu seperti ini sangat sensitif, bukan karena konsep
dari wisata halal itu sendiri melainkan dari kesalahpahaman tentang konsep dari
wisata halal tersebut yang masih banyak belum dipahami seutuhnya.
Penerapan
sistem dengan konsep wisata halal tentu sangat berbeda dengan penerapan hukum
syariah, yang selama ini ditakutkan oleh beberapa kalangan di Indonesia. Dalam
konteks Banda Aceh gagasan wisata halal itu telah menggema sejak 2016, lahirnya
Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 17 Tahun 2016 tentang penyelenggaraan
wisata halal memberikan parameter tersendiri menyangkut aspek produk dengan
para meter 27 indikator penilaian, aspek pelayanan, 20 indikator penilaian
serta aspek pengelola sebanyak 2 indikator penilaian, ungkap Bachtiar, S.Sos
Asisten II Setda Kota Banda Aceh, saat diskusi ringan dengan tokoh pemuda,
kamis, 17 oktober 2019 di Zakir Kupi, Kanwil Agama Propinsi Aceh.
Bapak Aminullah Usman sangat konsernt untuk itu, lanjut
Bachtiar selaku mantan Camat senior Meuraxa. Dalam bincang santai yang diikuti
Muhammad Syarif, T.Hanansyah, Marwidin beliau memberikan pandangan yang rigid
soal konsep pariwisata halal. Untuk itu saya harapkan agar para aktifis dan
ormas Islam serta pelaku pariwisata mempedomani pada regulasi yang telah dibuat
oleh Pemerintah Kota Banda Aceh. Tentunya dalam penerapannya kita berharap agar
Dinas Pariwisata menyusun rencana induk pengembangan pariwisata berbasis Islami
serta mensinergikan dengan regulasi yang telah ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar