Oleh: Muhammad Syarif,
SHI.M.H*
Dalam Term
Kementrian Agama Republik Indonesia keberadaan Lembaga Pendidikan Keagamaan
(Dayah/Pesantren atawa sebutan lain) memiliki peran strategis dalam pembinaan
wawasan kebangsaan dan wawasan kemadanian (baca keadaban, dan itelektual
jimnastik). Dalam konteks ke Acehan dikenal dengan Istilah Dayah. Berdasarkan
literatur klaisik, keberadaan Dayah di Aceh muncul sekitar Tahun 800 M.
Keberadaan Dayah atawa Pesantren telah
melahirkan para Tokoh Agamawan dan cendikiawan yang berwawasan Internasional. Beberapa
Dayah tertua di Aceh sebut saja Dayah Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan,
Dayah Tanoeh Abe, Seulimun Aceh Besar dan beberapa Dayah (Zawiyah) lainnya di Aceh dapat dilacak pada manuskrip Abad ke-17 SM
yang kini tersimpan dengan rapi di Dayah Tanoh Abe.
Dayah sebagai Pusat Pendidikan Keagaman,
Ekonomi, Gerakan Dakwah bahkan Pusat Kajian Ilmiah, sejatinya menjadi landasan
Pilosofis, para Tgk. Waled, Aboen atawa sebutan lain yang melekat pada Pimpinan
Dayah di Aceh.
Alumni Dayah masa lalu,
menjadi panutan masyarakat. Yang menjadi soal sekarang, akankah kemuliaan dan
kemasyuran Alumni Dayah dapat terus bertahan hingga kondisi kekinian? tentu jawabannya
ada pada pihak-pihak yang bersentuhan dalam pengelolaan Dayah itu sendiri.
Mulai dari Guru, Pimpinan dan stakeholders yang diberi kewenangan dalam melakukan
pentadbiran tatakelola Dayah.
Harus diakui polarisasi dan hujjah
Pimpinan Dayah, melekat dengan baik bagi santri yang lama mondok di Dayah. Adakalanya
Hujjah itu bertranspormasi menyesuaikan dengan kondisi kekinian, bahkan
terkadang alergi dengan kemajuan kekinian. Setidaknya pengalaman penulis saat melakoni
tugas pentadbiran tatakelola Dayah se-Aceh pasca Rehab Rekontroksi NAD-Nias,
dibawah bendera INSEP-Jakarta menjadi efisode empiris yang dapat dijadikan salah satu referensi.
Pengalaman mengelola pentabdiran
Dayah se-Aceh menjadi inspirasi dan pemantik tersendiri dalam menghadaip
berbagi argumen dan logika pemantik yang terkadang harus urut dada dalam
menghadapi berbagai fenomena empiris. Ada yang bahagia bahkan ada yang kurang
bahagia.
Dalam konteks ke acehan, Dayah dikenal dua
Jenis yaitu; Modern (Terpadu) dan Tradisional. Tulisan ini tidak masuk
dalam bingkai menjelaskan 2 model Dayah yang berkembang di Aceh, akan tetapi
lebih melihat sisi kesamaan dalam mengelola pendidikan Keagamaan Nusantara.
Kedua model Dayah yang berkembang di Aceh
bahkan nusantara punya misi yang sama yaitu Gerakan Dakwah, Sosial, Keadaban,
Ekonomi serta Pusat Pemurnian Ilmu keagamaan. Inilah menjadi cita-cita utama
sang Murabbi pada pengikutnya.
Suplemen keagamaan tentu menjadi pondasi
utama. Untuk itulah pemaknaan akan gizi keagamaan harus dipahami dalam makna
yang lebih luas, sehingga disinilah tercipta nuansa keadaban dan kesantunan
serta keluhuran budi pekerti alumninya. Itu
semua akan terwujud jika sistem (kurikulum, guru) dan instrumen yang
bersentuhan dengan pengelolaan Dayah berjalan Dengan baik.
Setidaknya saya mencoba menawarkan satu
konsep sederhana guna mewujudkan Dayah sebagai pusat Peradaban Nusantara antara
lain;
Pertama;
Saatnya Pengelola Dayah membuat standarisasi kurikulum dan sapras termasuk
didalamnya peningkatan kualitas capasity buiding pengelolaa Dayah.
Kedua: Dayah
juga harus diperkuat dengan program Tahfidz Al-Qur`an, karena Al-Qur`an sebagai
kalam Ilahi sarat dengan keberkahan dan kemulian serta keilmuan. Untuk itu
prasyarat Alumni naik maqam menjadi murabbi harus Tahfidz yang pada akhirnya
melahirkan Insan Qur`ani.
Ketiga: Dayah
juga harus terbuka dengan setiap kemajuan Zaman termasuk kemampuan dalam
mengelola media massa dan teknologi. Karenanya mustahil Alumni bisa melakukan
gerakan dakwah kalau anti terhadap kemajuan Teknologi. Disinilah Tata kelola
Dayah, butuh juru bicara dalam melantunkan melodi dakwah “bansigoem donya” termasuk pemenuhan ketrampilan berbahasa asing (arab dan inggris).
Keempat:
Dayah juga harus konsern dalam aspek penguatan ekonomi. Sehingga
Alumni tidak merasa minder apalagi masuk Dayah menjadi pilihan terakhir. Gagasan
menjadikan Dayah menuju kemandirian Ekonomi harus mendapat respon semua pihak, termasuk
pemerintah, sehingga para alumni Dayah memiliki bekal yang cukup. Stop santri
meminta-minta dijalan atas nama pembangunan.
Kelima:
Tradisi Diskusi Ilmiah sesama Pimpinan atawa Santri Dayah dalam mengupas
problem aktual dimasyarakat harus digalakkan. Jangan hanya memberikan
pertimbangan pendapat berlandaskan emosinal ansich, tanpa refensi yang cukup.
Disamping itu tradisi penghargaan atas beda pendapat perlu juga disikapi dengan
bijak, asal cukup referensi. Jangan cepat menkafirkan atawa mencap sebagai
wahabi.
*Penulis Adalah Kabid Pembinaan SDM dan Manajemen Disdik Dayah
Kota Banda Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar