Dalam penyelenggaraan administrasi
pemerintahan, kita sering mendengar sebutan Pelaksana Tugas (Plt), Pelaksana
Harian (Plh) dan Penjabat (Pj). Biasanya penerapan ketiga sebutan ini sering dipakai
jika ada kekosongan sementara Jabatan pada Institusi Pemerintah atau
Penyelenggara Negara.
Setidaknya ada dua hal yang perlu diperjelas
dari istilah-istilah di atas. Pertama, apa pengertian atau maksud ‘Pelaksana
Tugas’, ‘Pelaksana Harian’, dan ‘Penjabat’. Kedua, jika dilekatkan dengan
jabatan seseorang apakah istilah-istilah itu memiliki konsekuensi hokum?
Salah satu cara memberikan penjelasan atas hal
pertama adalah melihat istilah dan definisi frasa tadi dalam peraturan
perundang-undangan Indonesia. Istilah Plt dan Plh antara lain disebut dalam
Pasal 34 ayat (2) UU
No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP).
Rumusannya: “Apabila Pejabat Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berhalangan menjalankan tugasnya, maka Atasan Pejabat yang bersangkutan dapat
menunjuk Pejabat Pemerintahan yang memenuhi persyaratan untuk bertindak sebagai
pelaksana harian atau pelaksana tugas”.
Masalahnya, UUAP tak memberikan penjelasan apa
yang dimaksud ‘pelaksana harian’ dan ‘pelaksana tugas’. Selain itu, sebelum
UUAP lahir konsep Plh dan Plt sudah dikenal dan dipraktikkan. Tetapi kita bisa
melacak ketentuannya lebih jauh dari Pasal 14 UUAP yang mengatur tentang
mandat. Ada dua kategori pejabat yang memperoleh mandat, yaitu ditugaskan oleh
Badan dan/atau Pemerintahan di atasnya, atau merupakan pelaksanaan tugas rutin.
Tugas rutin adalah pelaksanaan tugas jabatan atas nama pemberi mandat yang
bersifat pelaksanaan tugas jabatan dan tugas sehari-hari.
Pejabat yang melaksanakan tugas rutin tersebut
terdiri dari Pelaksana Harian yang
melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan
sementara; dan Pelaksana Tugas
yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan
tetap. Coba pilah masuk kategori berhalangan yang mana keadaan pejabat
definitif berikut: cuti lebaran, menunaikan ibadah haji, kunjungan ke daerah,
mengikuti sekolah pimpinan, atau dirawat di rumah sakit.
Kalau merujuk pada Surat Kepala Badan
Kepegawaian Negara No. K.26-3/V.5-10/99 tertanggal 18 Januari 2002, semua
kategori tadi menjadi dasar untuk mengangkat Pelaksana Harian. Disebutkan dalam
SK Kepala BKN ini, jika ada pejabat yang tidak dapat melaksanakan tugas sekurang-kurangnya 7 hari kerja, maka
untuk tetap menjamin kelancaran pelaksanaan tugas, Atasan Pejabat segera
menunjuk Pelaksana Harian.
Ketentuannya dirinci dalam SK tentang Penunjukan Pejabat Pelaksana Harian itu.
Konsep Pelaksana Tugas selama ini merujuk pada
SK Kepala BKN No. K.26-20/V.24.25/99 tertanggal 10 Desember 2001 tentang Tata
Cara Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Sebagai Pelaksana Tugas. Konteksnya
adalah jika tidak ada pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat untuk diangkat
dalam jabatan struktural.
PP
No. 100 Tahun 2000 tentang
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural antara lain
menyebutkan agar dapat diangkat dalam
jabatan struktural serendah-rendahnya
menduduki pangkat satu tingkat di bawah jenjang pangkat yang ditentukan. Jika tak ada di lingkungan instansi
tersebut, maka boleh diangkat diangkat seorang Pelaksana Tugas demi kelancaran
pelaksanaan tugas-tugas organisasi. Syarat-syarat dan mekanismenya diatur dalam
SK Kepala BKN tadi.
Selain ‘Pelaksana Harian’ dan ‘Pelaksana
Tugas’, perundang-undangan Indonesia mengenal juga sebutan ‘Penjabat’. Secara leksikal, Penjabat
adalah pemegang jabatan orang lain untuk sementara (lihat misalnya Kamus Besar
Bahasa Indonesia, edisi IV, cetakan ke-19 September 2015, halaman 554). Dari
sini tampak bahwa maksudnya senada dengan Plh atau Plt. Terminologi ‘Penjabat’ bisa dibaca dalam konsepsi UU
No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, yang telah direvisi kedua melalui UU
No. 9 Tahun 2015).
Pasal 86 ayat (2) UU Pemda menyebutkan “Apabila
gubernur diberhentikan sementara dan tidak ada wakil gubernur,
Presiden menetapkan Penjabat gubernur atas usul Menteri”.
Lema Penjabat bisa juga ditemukan pada ayat 3, 5, dan 6 pasal yang sama, serta
Pasal 88 ayat (1) UU Pemda. Apakah orang yang memangku jabatan untuk sementara
waktu selalu disebut Penjabat? Undang-Undang Pemda tak memberikan penjelasan
lebih detil.
Hal kedua, jika seseorang sudah diangkat
menjadi Plt, Plh, atau Penjabat, maka ia mendapatkan hak-hak dan berkewajiban
menjalankan tugas sesuai tupoksi pejabat definitif. Masalahnya, apakah semua
tugas dan wewenang pejabat definitif bisa dijalankan oleh seorang Plt, Plh,
atau Penjabat?
Pasal 34 ayat (2) UUAP menegaskan Plh atau Plt
‘melaksanakan tugas serta menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau
Tindakan rutin yang menjadi wewenang jabatannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan’. Pasal ini sebenarnya tak memberikan
pembatasan yang jelas.
Tafsiran atas Pasal 34 ini, Kepala BKN mengeluarkan
Surat BKN No. K.26.30/V.20.3/99 tentang Kewenangan Pelaksana Harian dan
Pelaksana Tugas dalam Aspek Kepegawaian. Beleid tertanggal 5 Februari 2016 ini
sengaja dikeluarkan untuk memperjelas maksud UUAP.
Salah satu klausula yang sangat penting
dikemukakan adalah pembatasan wewenang. Disebutkan begini: “Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui mandat tidak
berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat
strategis yang berdampak pada perubahan
status hukum pada aspek organisasi,
kepegawaian, dan alokasi anggaran”.
Apa yang dimaksud dengan Keputusan dan/atau
Tindakan yang bersifat strategis itu? Jawabannya bisa dilihat pada Penjelasan
Pasal 14 ayat (7) UUAP, yaitu Keputusan dan/atau Tindakan yang memiliki dampak
besar seperti penetapan perubahan rencana strategis dan rencana kerja
pemerintah. Sedangkan maksud ‘perubahan status hukum kepegawaian’
adalah melakukan pengangkatan,
pemindahan, dan pemberhentian pegawai’.
BKN kemudian membuat poin-poin pembatasan bagi Plt atau Plh. Pertama, tidak berwenang mengambil keputusan
dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status
hukum pada aspek kepegawaian.
Kedua, tidak
berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam aspek kepegawaian
yang meliputi pengangkatan, pemindahan,
dan pemberhentian pegawai.
Ketiga, kewenangan
Plh atau Plt adalah (i) menetapkan sasaran kerja pegawai dan penilaian
prestasi kerja; (ii) menetapkan kenaikan gaji berkala; (iii) menetapkan cuti
selain cuti di luar tanggungan negara; (iv) menetapkan surat penugasan pegawai;
(v) menyampaikan usul mutasi kepegawaian kecuali perpindahan antar instansi;
dan (vi) memberikan izin belajar, izin mengikuti seleksi jabatan pimpinan
tinggi/administrasi, dan izin tidak masuk kerja.
Poin lain yang penting dari Surat Keputusan
Kepala BKN terbaru itu adalah tentang pelantikan. Ditegaskan bahwa Plh atau Plt yang ditetapkan tidak perlu
dilantik atau diambil sumpahnya. Pengangkatannya pun cukup dengan Surat
Perintah dari Pejabat Pemerintah yang memberikan mandat.
Pertayaan yang muncul kepermukaan, apakah
secara empiris tafsiran "Pelaksana Tugas, Pelaksana Harian, dan Penjabat" sudah sesuai
dengan aturan main? Biarkan masing-masing kita yang memberikan jawabannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar