Oleh : Muhammad Syarif,S.HI.,M.H
Hukum Pidana merupakan
hukum publik yaitu hukum yang mengatur kepentingan umum. Sebagaimana yang kita
ketahui bersama, hukum pidana Indonesia merupakan hukum pidana yang berasal
dari masa kolonialisme Belanda. Meskipun demikian, dalam kenyataannya, ketentuan
mengenai hukum pidana sebenarnya sudah ada sejak masa kerajaan-kerajaan di
Nusantara masih berjaya.
Pada masa itu hukum
pidana lebih dikenal dengan istilah pidana adat, yang umumnya tidak tertulis
dan bersifat lokal serta hanya berlaku untuk satu wilayah hukum atau kerajaan
tertentu. Dalam hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tegas antara
hukum pidana dengan hukum perdata (privaat). Pemisahan yang tegas antara
hukum perdata yang bersifat privat dan hukum pidana yang bersifat publik
bersumber dari sistem hukum Eropa, yang kemudian berkembang di Indonesia.
Dalam pelbagai
literatur, hukum pidana yang berlaku di Indonesia dapat dibagi dalam tiga masa:
masa sebelum penjajahan Belanda; masa sesudah kedatangan penjajahan Belanda;
dan masa setelah kemerdekaan.
1.Masa Sebelum Penjajahan Belanda
Tercatat terdapat beberapa hukum pidana yang pernah ada dan berlaku di beberapa wilayah hukum kerajaan-kerajaan di Nusantara, antara lain: Ciwasana atau Purwadhigama pada abad ke-10 di masa Raja Dharmawangsa; Kitab Gajamada pada pertengahan abad ke -14, yang diberi nama oleh Mahapatih Majapahit, Gajahmada; KitabSimbur Cahaya yang dipakai pada masa pemerintahan Ratu Senuhun Seding di Palembang; Kitab Kuntara Raja Niti di Lampung yang digunakan pada awal abad 16; Kitab Lontara’ ade’ yang berlaku di Sulawesi Selatan sampai akhir abad 19; Patik Dohot Uhum ni Halak Batak di Tanah Batak; dan Awig-awig di Bali. Kitab-kitab tersebut hanya sebagian dari hukum pidana yang pernah berlaku di wilayah Nusantara.
2. Masa Pasca Kedatangan Penjajahan Belanda
a. Masa Vereenigde
Oost Indische Compagnie (VOC) Tahun 1602-1799
Hukum yang pertama kali digunakan oleh
VOC pada pusat-pusat perdagangan mereka di Nusantara adalah hukum yang
dijalankan di atas kapal-kapal VOC (Scheeps Recht). Hukum kapal ini
terdiri dari dua bagian, yaitu hukum Belanda kuno dan asas-asas hukum Romawi. Dalam
perkembangannya, VOC kemudian mendapatkan Octrooi Staten General, sehingga
dapat bertindak sebagai suatu badan pemerintah yang memiliki hak istimewa untuk
memonopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian
dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan mencetak uang. Oleh karena itu,
dalam melaksanakan kekuasaan yang dimilikinya, VOC kemudian mengeluarkan
instruksi atau maklumat dalam bentuk plakat-plakat (plakaten). Pada
awalnya plakat tersebut hanya berlaku untuk wilayah kota Betawi. Namun seiring
dengan kekuasaannya yang semakin meluas juga diberlakukan di seluruh wilayah
VOC. Dikarenakan sejak awal tidak disusun dan dikumpulkan secara baik dan
teratur, Gubernur Jenderal Van Diemen kemudian memerintahkan Joan Maetsuycker untuk
menyusun dan mengumpulkan plakat-plakat tersebut, yang kemudian dikenal dengan
istilah Statuten van Batavia. Dengan demikian pada masa VOC
telah berlaku:
1.
Hukum statuten (termuat di dalam Statuta Batavia);
2.
Hukum Belanda yang kuno;
3.
Asas-asas hukum Romawi.
b. Masa Besluiten
Regering Tahun 1814-1855
Masa Besluiten Regering dimulai
saat peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda yang
berdasarkan Konvensi London tanggal 13 Agustus 1814. Konvensi ini mengharuskan
Kerajaan Inggris untuk mengembalikan bekas koloni Belanda yang pernah
dikuasainya kepada Pemerintah Belanda. Untuk melaksanakan kekuasaannya,
Pemerintah Belanda kemudian menunjuk tiga orang Komisaris Jenderal yang terdiri
dari: Elout, Buyskes, dan Van der Capellen. Para Komisaris Jenderal tetap
memberlakukan peraturan-peraturan yang berlaku pada masa Inggris dan tidak
mengadakan perubahan peraturan karena menunggu terbentuknya kodifikasi hukum.
Pada masa ini tidak ada ketentuan baru di bidang hukum pidana.
c. Masa Regeling
Reglement Tahun 1855-1926
Perubahan undang-undang dasar (Grond
wet) di Belanda membawa akibat pada perubahan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di seluruh wilayah Belanda dan daerah jajahannya. Perubahan itu
membuat kekuasaan raja Belanda menjadi berkurang, salah satunya dalam hal
pembuatan undang-undang. Sehingga peraturan yang diterapkan tidak hanya Koninklijk
Besluit saja tetapi juga harus melalui mekanisme perundang-undangan di
tingkat parlemen.
Peraturan dasar yang dibuat bersama oleh raja dan parlemen untuk mengatur daerah jajahan adalah Regeling Reglement (RR) yang dibuat dalam bentuk undang-undang dan diundangkan dengan Staatblad No. 2 Tahun 1855. Pada masa RR inilah terdapat beberapa ketentuan terkait hukum pidana, yaitu:
Peraturan dasar yang dibuat bersama oleh raja dan parlemen untuk mengatur daerah jajahan adalah Regeling Reglement (RR) yang dibuat dalam bentuk undang-undang dan diundangkan dengan Staatblad No. 2 Tahun 1855. Pada masa RR inilah terdapat beberapa ketentuan terkait hukum pidana, yaitu:
1.
Wetboek van Strafrecht voor Europeanen atau kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Eropa yang diundangkan dengan Staatblad No. 55 tahun 1866.
2.
Algemene Politie Strafreglement atau tambahan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Eropa.
3.
Wetboek van Strafrecht voor Inlander atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Pribumi yang diundangkan dengan Staatblad No 85 tahun 1872.
4.
Politie Strafreglement bagi orang bukan Eropa.
5.
Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie atau Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Hindia Belanda yang diundangkan dengan Staatblad No. 732 tahun
1915 yang mulai berlaku 1 Januari 1918.
d. Masa Indische
Staatregeling Tahun 1926-1942
Indische Staatregeling (IS) merupakan
perubahan dari Regeling Reglement (RR) yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1926,
dengan diundangkannya Staatblad No. 415 tahun 1925. Perubahan Grond Wet,
khususnya mengenai pembagian golongan penduduk Indonesia beserta hukum yang
berlaku, semakin mempertegas pemberlakuan hukum pidana Belanda yang sesuai
dengan asas konkordansi. Ketentuan mengenai pembagian golongan penduduk
tersebut diatur di dalam Pasal 131 jo pasal 163 IS.
e. Masa
Pendudukan Jepang Tahun 1942-1945
Masa pendudukan Jepang selama kurang
lebih 3,5 tahun tidak memberikan perubahan yang signifikan dalam ketentuan
hukum yang diberlakukan. Pemerintah Militer Jepang mengeluarkan Osamu Seirei
No. 1 Tahun 1942, yang mengatur antara lain: perihal badan-badan pemerintahan,
hukum, dan pengakuan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku pada
masa kolonial Belanda sepanjang tidak bertentangan dengan pemerintahan
milliter.
Dalam hal pemberlakuan hukum pidana, pemerintah militer Jepang mengeluarkan Gun Seirei nomor istimewa, Gun Seirei No. 25 tahun 1944 tentang pengaturan hukum pidana umum dan hukum pidana khusus dan Gun Seirei No. 14 tahun 1942 tentang Pengadilan di Hindia Belanda.
3. Masa Kemerdekaan
Dalam hal pemberlakuan hukum pidana, pemerintah militer Jepang mengeluarkan Gun Seirei nomor istimewa, Gun Seirei No. 25 tahun 1944 tentang pengaturan hukum pidana umum dan hukum pidana khusus dan Gun Seirei No. 14 tahun 1942 tentang Pengadilan di Hindia Belanda.
3. Masa Kemerdekaan
Proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia merupakan titik puncak perlawanan bangsa Indonesia terhadap
penjajahan dan juga ungkapan tekad untuk mengubah sistem hukum kolonial menjadi sistem
hukum nasional. Meskipun demikian, untuk membuat satu sistem hukum yang
bersifat nasional tentu saja bukan perkara mudah dan membutuhkan waktu yang
tidak sebentar. Oleh karena itu, untuk mengisi kekosongan hukum, Undang-Undang
Dasar 1945 kemudian memberikan kelonggaran melalui Ketentuan Peralihan Pasal II
UUD 1945 dengan menyatakan: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih
langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar
ini.” Ketentuan tersebutlah yang kemudian menjadi dasar hukum pemberlakuan
semua peraturan perundang-undangan pada masa kolonial di masa kemerdekaan.
Untuk melaksanakan dalam tataran praktis, Presiden Soekarno mengeluarkan Peraturan Presiden No. 2 Tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945 yang terdiri dari dua pasal, yaitu:
Pasal 1 : Segala Badan-Badan Negara dan Peraturan-Peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar tersebut.
Untuk melaksanakan dalam tataran praktis, Presiden Soekarno mengeluarkan Peraturan Presiden No. 2 Tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945 yang terdiri dari dua pasal, yaitu:
Pasal 1 : Segala Badan-Badan Negara dan Peraturan-Peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar tersebut.
Pasal 2 : Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dengan adanya Peraturan Presiden tersebut tentu saja makin memperjelas dan mempertegas pemberlakuan semua peraturan perundang-undangan yang pernah ada pada masa kolonial sampai dengan adanya peraturan baru yang dapat menggantikannya. Demikian pula halnya dengan ketentuan yang mengatur tentang hukum pidana -juga diberlakukan.
Dengan adanya Peraturan Presiden tersebut tentu saja makin memperjelas dan mempertegas pemberlakuan semua peraturan perundang-undangan yang pernah ada pada masa kolonial sampai dengan adanya peraturan baru yang dapat menggantikannya. Demikian pula halnya dengan ketentuan yang mengatur tentang hukum pidana -juga diberlakukan.
Untuk menegaskan
kembali pemberlakuan hukum pidana pada masa kolonial tersebut, pada tanggal 26
Februari 1946, pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
Pidana. Undang-undang inilah yang
kemudian dijadikan dasar hukum perubahan Wetboek van Strafrecht voor
Netherlands Indie menjadiWetboek van Strafrecht (WvS),
yang kemudian dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sebagaimana
yang ditegaskan dalam Pasal 1 -nya yang menyatakan, “Dengan menyimpang
seperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober
1945 No. 2, menetapkan bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang sekarang
berlaku ialah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 maret
1942.”
Meskipun demikian, dalam Pasal XVII UU No. 2 Tahun 1946 juga terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa “Undang-undang ini mulai berlaku buat pulau Jawa dan Madura pada hari diumumkannya dan buat daerah lain pada hari yang akan ditetapkan oleh Presiden.” Dengan demikian, pemberlakuan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadiWetboek van Strafrecht hanya terbatas pada wilayah jawa dan Madura.
Meskipun demikian, dalam Pasal XVII UU No. 2 Tahun 1946 juga terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa “Undang-undang ini mulai berlaku buat pulau Jawa dan Madura pada hari diumumkannya dan buat daerah lain pada hari yang akan ditetapkan oleh Presiden.” Dengan demikian, pemberlakuan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadiWetboek van Strafrecht hanya terbatas pada wilayah jawa dan Madura.
Pemberlakuan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana di seluruh wilayah Republik Indonesia atau nasional
baru dilakukan pada tanggal 20 September 1958, dengan diundangkannya UU No. 7
Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1946
Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah
Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sebagaimana
yang dinyatakan dalam Pasal 1-nya yang berbunyi, “Undang-Undang No. 1 tahun
1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk
seluruh wilayah Republik Indonesia.”
Meskipun Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana telah diberlakukan secara nasional tidak berarti
bahwa upaya untuk membuat sistem hukum pidana yang baru terhenti. Upaya
melakukan pembaruan hukum pidana terus berjalan semenjak tahun 1958 dengan
berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional sebagai upaya untuk membentuk KUHP
Nasional yang baru. Seminar Hukum Nasional I yang diadakan pada tahun 1963
telah menghasilkan berbagai resolusi yang antara lain adanya desakan untuk
menyelesakan KUHP Nasional dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Upaya
tersebut masih terus berjalan dan telah menghasilkan beberapa konsep rancangan
undang-undang.
Meskipun demikian,
konsep-konsep tersebut tidak pernah sampai pada kata “final” dengan
menyerahkannya pada legislatif. Setidaknya, sampai dengan tulisan ini dibuat,
belum ada informasi lebih lanjut mengenai kelanjutan pembahasan rancangan
undang-undang hukum pidana nasional yang mengabsorbsi semangat kemerdekaan dan
proklamasi
Selama lebih dari
seratus tahun sejak KUHP Belanda diberlakukan, KUHP terhadap dua golongan
warganegara yang berbeda tetap diberlakukan di Hindia Belanda. Hingga pada
akhirnya dibentuklah KUHP yang berlaku bagi semua golongan sejak 1915. KUHP
tersebut menjadi sumber hukum pidana sampai dengan saat ini. Pembentukan KUHP
nasional ini sebenarnya bukan merupakan aturan hukum yang menjadi karya agung
bangsa. Sebab KUHP yang berlaku saat ini merupakan sebuah turunan dari
Nederland Strafwetboek (KUHP Belanda). Sudah menjadi konskwensi ketika berlaku
asas konkordansi terhadap peraturan perundang-undangan.
KUHP yang berlaku di
negeri Belanda sendiri merupakan turunan dari code penal perancis. Code penal
menjadi inspirasi pembentukan peraturan pidana di Belanda. Hal ini dikarenakan
Belanda berdasarkan perjalanan sejarah merupakan wilayah yang berada dalam kekuasaan
kekaisaran perancis. Desakan pembentukan segera KUHP nasional sebagai sebuah
negara yang pernah dijajah oleh bangsa asing, hukum yang berlaku di Indonesia
secara langsung dipengaruhi oleh aturan-aturan hukum yang berlaku di negara
penjajah tersebut. Negeri Belanda yang merupakan negeri dengan sistem hukum
continental menurunkan betuknya melalui asas konkordansi. Peraturan yang
berlaku di Negara jajahan harus sama dengan aturan hukum negeri Belanda. Hukum
pidana (straffrecht) merupakan salah satu produk hukum yang diwariskan oleh
penjajah.
Pada tahun 1965 LPHN
(Lembaga Pembinaan Hukum Nasional) memulai suatu usaha pembentukan KUHP baru.
Pembaharuan hukum pidana Indonesia harus segera dilakukan. Sifat undang-undang
yang selalu tertinggal dari realitas sosial menjadi landasan dasar ide
pembaharuan KUHP. KUHP yang masih berlaku hingga saat ini merupakan produk
kolonial yang diterapkan di negara jajahan untuk menciptakan ketaatan.
Indonesia yang kini menjadi Negara yang bebas dan merdeka hendaknya menyusun
sebuah peraturan pidana baru yang sesuai dengan jiwa bangsa.
Masa pemberlakuan
hukum pidana di Indonesia setelah
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, dibagi menjadi 4 masa sebagaimana sejarah dalam tata hukum
Indonesia yang didasarkan pada berlakunya empat konstitusi Indonesia yaitu pertama masa pasca kemerdekaan dengan konstitusi UUD 1945 kedua masa setelah
Indonesia menggunakan konstitusi negara serikat (konstitusi RIS) ketiga masa Indonesia menggunakan
konstitusi sementara (UUDS 1950) dan keempat masa Indonesia kembali kepada UUD 1945.
Induk peraturan hukum
pidana positif Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ). KUHP
ini mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch
Indie ( WvSNI ) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali dengan Koninklijk
Besluit (Titah Raja) Nomor 33, 15 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan
sejak tanggal 1 Januari 1918. WvSNI adalah keturunan dari WvS Negeri Belanda
yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di negara Belanda pada tahun 1886.
walaupun WvSNI merupakan turunan (copy) dari WvS Belanda, namun pemerintah
kolonial pada saat itu memberlakukan asas Konkordasi (penyesuaian)
bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa pasal di hapuskan dan
disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas wilayah
Indonesia.
Jika dirunut lebih ke
belakang, pertama kali negara Belanda membuat perundang-undangan hukum pidana
sejak tahun 1795 dan disahkan pada tahun 1809. Kodifikasi hukum pidana nasional
pertama ini disebut dengan Crimineel Wetboek voor Het Koniklijk
Holland. Namun baru dua tahun berlaku, pada tahun 1811 Prancis menjajah
Belanda dan memberlakukan Code Penal (kodifikasi hukum pidana)
yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte menjadi penguasa Prancis. Pada
tahun 1813, Prancis meninggalkan Negara Belanda. Namun demikian, Negara Belanda
masih mempertahankan Code Penal itu sampai tahun 1886. Pada tahun 1886, mulai
di berlakukan Wetboek van Strafrechtsebagai penggantiCode Penal Napoleon.
Setelah perginya Prancis
pada tahun 1813, Belanda melakukan usaha pembaharuan hukum pidananya ( code
penal ) selama kurang lebih 68 tahun (sampai tahun 1881). Selama usaha
pembaharuan hukum pidana itu, Code Penal mengalami beberapa
perubahan terutama pada ancaman pidananya. Pidana penyikasaan dan pidana cap
bakar yang ada dalam Code Penal ditiadakan dan diganti dengan
pidana yang lebih lunak. Pada tahun 1881, Belanda mengesahkan hukum pidananya
yang baru dengan nama Wetboek van Strafrechtsebagai penganti Code
Penal Napoleon dan mulai diberlakuakan lima tahun kemudian, yaitu pada
tahun 1886.
Sebelum Negara Belanda
mengesahkan Wetboek van Strafrecht sebagai penggantiCode
Penal Napoleon pada tahun 1886, diwilayah Hindia Belanda sendiri
ternyata pernah diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Eropa) dengan Staatblad tahun 1866 Nomor 55 dan
dinyatakan berlaku sejak 1 januari 1867. Bagi masyarakat bukan Eropa
diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Inlender (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Pribumi) dengan Staatblad tahun 1872 Nomor 85 dan
dinyatakan berlaku sejak 1 januari 1873.
Dengan demikian, dapat
dinyatakan bahwa pada masa itu terdapat juga dualisme hukum pidana, yaitu hukum
pidana bagi golongan Eropa dan hukum pidana bagi golongan non-Eropa. Kenyataan
ini dirasakan Idenburg ( Minister van Kolonien ) sebagai
permasalahan yang harus dihapuskan. Oleh karena itu, setelah dua tahun berusaha
pada tahun 1915 keluarlah Koninlijk Besluit ( Titah
Raja ) Nomor 33 15 Oktober 1915 yang mengesahkan Wetboek van Strafrech
voor Nederlandsch Indie dan berlaku tiga tahun kemudian yaitu
mulai 1 januari 1918.
Setelah Indonesia
menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1945 ,untuk mengisi kekosongan hukum pidana
yang diberlakukan di Indonesia maka dengan dasar Pasal II aturan peralihan UUD
1945, WvSNI tetap diberlakukan. Pemberlakuan WvSNI menjadi hukum pidana
Indonesia ini menggunakan Undang-undang No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
Pidana Indonesia. Dalam pasal VI Undang
Undang No 1 Tahun 1946 disebutkan bahwa nama Wetboek van Strafrecht
voor Nederlandsch Indiediubah menjadi Wetboek van Strafrechtdan dapat disebut “Kitab Undang-undang Hukum
Pidana”. Disamping itu, undang-undang ini juga tidak memberlakukan kembali
peraturan-peraturan pidana yang dikeluarkan sejak tanggal 8 Maret 1942,baik
yang dikeluarkan oleh pemerintah jepang maupun oleh panglima tertinggi
Balantentara Hindia Belanda.
Oleh karena perjuangan
Bangsa Indonesia belum selesai pada Tahun 1946 dan muncullah dualisme KUHP
setelah tahun tersebut maka pada tahun 1958 dikeluarkan Undang-undang No 73 Tahun 1958 yang memberlakukan Undang-undang No
1 Tahun 1946 bagi seluruh wilayah Republik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar