20 Sep 2016

Sejarah Penerapan Hukum Pidana di Indonesia

Oleh : Muhammad Syarif,S.HI.,M.H

Hukum Pidana merupakan hukum publik yaitu hukum yang mengatur kepentingan umum. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, hukum pidana Indonesia merupakan hukum pidana yang berasal dari masa kolonialisme Belanda. Meskipun demikian, dalam kenyataannya, ketentuan mengenai hukum pidana sebenarnya sudah ada sejak masa kerajaan-kerajaan di Nusantara masih berjaya.

Pada masa itu hukum pidana lebih dikenal dengan istilah pidana adat, yang umumnya tidak tertulis dan bersifat lokal serta hanya berlaku untuk satu wilayah hukum atau kerajaan tertentu. Dalam hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tegas antara hukum pidana dengan hukum perdata (privaat). Pemisahan yang tegas antara hukum perdata yang bersifat privat dan hukum pidana yang bersifat publik bersumber dari sistem hukum Eropa, yang kemudian berkembang di Indonesia. 
Dalam pelbagai literatur, hukum pidana yang berlaku di Indonesia dapat dibagi dalam tiga masa: masa sebelum penjajahan Belanda; masa sesudah kedatangan penjajahan Belanda; dan masa setelah kemerdekaan.

1.Masa Sebelum Penjajahan Belanda

Tercatat terdapat beberapa hukum pidana yang pernah ada dan berlaku di beberapa wilayah hukum kerajaan-kerajaan di Nusantara, antara lain: Ciwasana atau Purwadhigama pada abad ke-10 di masa Raja Dharmawangsa; Kitab Gajamada pada pertengahan abad ke -14, yang diberi nama oleh Mahapatih Majapahit, Gajahmada; KitabSimbur Cahaya yang dipakai pada masa pemerintahan Ratu Senuhun Seding di Palembang; Kitab Kuntara Raja Niti di Lampung yang digunakan pada awal abad 16; Kitab Lontara’ ade’ yang berlaku di Sulawesi Selatan sampai akhir abad 19; Patik Dohot Uhum ni Halak Batak di Tanah Batak; dan Awig-awig di Bali. Kitab-kitab tersebut hanya sebagian dari hukum pidana yang pernah berlaku di wilayah Nusantara.

2. Masa Pasca Kedatangan Penjajahan Belanda

a. Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Tahun 1602-1799
Hukum yang pertama kali digunakan oleh VOC pada pusat-pusat perdagangan mereka di Nusantara adalah hukum yang dijalankan di atas kapal-kapal VOC (Scheeps Recht). Hukum kapal ini terdiri dari dua bagian, yaitu hukum Belanda kuno dan asas-asas hukum Romawi. Dalam perkembangannya, VOC kemudian mendapatkan Octrooi Staten General, sehingga dapat bertindak sebagai suatu badan pemerintah yang memiliki hak istimewa untuk memonopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan mencetak uang. Oleh karena itu, dalam melaksanakan kekuasaan yang dimilikinya, VOC kemudian mengeluarkan instruksi atau maklumat dalam bentuk plakat-plakat (plakaten). Pada awalnya plakat tersebut hanya berlaku untuk wilayah kota Betawi. Namun seiring dengan kekuasaannya yang semakin meluas juga diberlakukan di seluruh wilayah VOC. Dikarenakan sejak awal tidak disusun dan dikumpulkan secara baik dan teratur, Gubernur Jenderal Van Diemen kemudian memerintahkan Joan Maetsuycker untuk menyusun dan mengumpulkan plakat-plakat tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah Statuten van Batavia.  Dengan demikian pada masa VOC telah berlaku:
1.            Hukum statuten (termuat di dalam Statuta Batavia);
2.            Hukum Belanda yang kuno;
3.            Asas-asas hukum Romawi.

b. Masa Besluiten Regering Tahun 1814-1855

Masa Besluiten Regering dimulai saat peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda yang berdasarkan Konvensi London tanggal 13 Agustus 1814. Konvensi ini mengharuskan Kerajaan Inggris untuk mengembalikan bekas koloni Belanda yang pernah dikuasainya kepada Pemerintah Belanda. Untuk melaksanakan kekuasaannya, Pemerintah Belanda kemudian menunjuk tiga orang Komisaris Jenderal yang terdiri dari: Elout, Buyskes, dan Van der Capellen. Para Komisaris Jenderal tetap memberlakukan peraturan-peraturan yang berlaku pada masa Inggris dan tidak mengadakan perubahan peraturan karena menunggu terbentuknya kodifikasi hukum. Pada masa ini tidak ada ketentuan baru di bidang hukum pidana.

c. Masa Regeling Reglement Tahun 1855-1926

Perubahan undang-undang dasar (Grond wet) di Belanda membawa akibat pada perubahan peraturan perundang-undangan yang berlaku di seluruh wilayah Belanda dan daerah jajahannya. Perubahan itu membuat kekuasaan raja Belanda menjadi berkurang, salah satunya dalam hal pembuatan undang-undang. Sehingga peraturan yang diterapkan tidak hanya Koninklijk Besluit saja tetapi juga harus melalui mekanisme perundang-undangan di tingkat parlemen.

Peraturan dasar yang dibuat bersama oleh raja dan parlemen untuk mengatur daerah jajahan adalah Regeling Reglement (RR) yang dibuat dalam bentuk undang-undang dan diundangkan dengan Staatblad No. 2 Tahun 1855. Pada masa RR inilah terdapat beberapa ketentuan terkait hukum pidana, yaitu:
1.            Wetboek van Strafrecht voor Europeanen atau kitab Undang-Undang Hukum Pidana Eropa yang diundangkan dengan Staatblad No. 55 tahun 1866.
2.            Algemene Politie Strafreglement atau tambahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Eropa.
3.            Wetboek van Strafrecht voor Inlander atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pribumi yang diundangkan dengan Staatblad No 85 tahun 1872.
4.            Politie Strafreglement bagi orang bukan Eropa.
5.            Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Hindia Belanda yang diundangkan dengan Staatblad No. 732 tahun 1915 yang mulai berlaku 1 Januari 1918.

d. Masa Indische Staatregeling Tahun 1926-1942
Indische Staatregeling (IS) merupakan perubahan dari Regeling Reglement (RR) yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1926, dengan diundangkannya Staatblad No. 415 tahun 1925. Perubahan Grond Wet, khususnya mengenai pembagian golongan penduduk Indonesia beserta hukum yang berlaku, semakin mempertegas pemberlakuan hukum pidana Belanda yang sesuai dengan asas konkordansi. Ketentuan mengenai pembagian golongan penduduk tersebut diatur di dalam Pasal 131 jo pasal 163 IS.

 e. Masa Pendudukan Jepang Tahun 1942-1945
Masa pendudukan Jepang selama kurang lebih 3,5 tahun tidak memberikan perubahan yang signifikan dalam ketentuan hukum yang diberlakukan. Pemerintah Militer Jepang mengeluarkan Osamu Seirei No. 1 Tahun 1942, yang mengatur antara lain: perihal badan-badan pemerintahan, hukum, dan pengakuan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku pada masa kolonial Belanda sepanjang tidak bertentangan dengan pemerintahan milliter.

Dalam hal pemberlakuan hukum pidana, pemerintah militer Jepang mengeluarkan Gun Seirei nomor istimewa, Gun Seirei No. 25 tahun 1944 tentang pengaturan hukum pidana umum dan hukum pidana khusus dan Gun Seirei No. 14 tahun 1942 tentang Pengadilan di Hindia Belanda.

3. Masa Kemerdekaan


Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia merupakan titik puncak perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajahan dan juga ungkapan tekad untuk mengubah sistem hukum kolonial menjadi sistem hukum nasional. Meskipun demikian, untuk membuat satu sistem hukum yang bersifat nasional tentu saja bukan perkara mudah dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Oleh karena itu, untuk mengisi kekosongan hukum, Undang-Undang Dasar 1945 kemudian memberikan kelonggaran melalui Ketentuan Peralihan Pasal II UUD 1945 dengan menyatakan: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.” Ketentuan tersebutlah yang kemudian menjadi dasar hukum pemberlakuan semua peraturan perundang-undangan pada masa kolonial di masa kemerdekaan.
Untuk melaksanakan dalam tataran praktis, Presiden Soekarno mengeluarkan Peraturan Presiden No. 2 Tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945 yang terdiri dari dua pasal, yaitu:

Pasal 1 : Segala Badan-Badan Negara dan Peraturan-Peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar tersebut.

Pasal 2  : Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dengan adanya Peraturan Presiden tersebut tentu saja makin memperjelas dan mempertegas pemberlakuan semua peraturan perundang-undangan yang pernah ada pada masa kolonial sampai dengan adanya peraturan baru yang dapat menggantikannya. Demikian pula halnya dengan ketentuan yang mengatur tentang hukum pidana  -juga diberlakukan.
Untuk menegaskan kembali pemberlakuan hukum pidana pada masa kolonial tersebut, pada tanggal 26 Februari 1946, pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Undang-undang inilah yang kemudian dijadikan dasar hukum perubahan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadiWetboek van Strafrecht (WvS), yang kemudian dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1 -nya yang menyatakan, “Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 No. 2, menetapkan bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang sekarang berlaku ialah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 maret 1942.”

Meskipun demikian, dalam Pasal XVII UU No. 2 Tahun 1946 juga terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa “Undang-undang ini mulai berlaku buat pulau Jawa dan Madura pada hari diumumkannya dan buat daerah lain pada hari yang akan ditetapkan oleh Presiden.” Dengan demikian, pemberlakuan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadiWetboek van Strafrecht hanya terbatas pada wilayah jawa dan Madura.
Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di seluruh wilayah Republik Indonesia atau nasional baru dilakukan pada tanggal 20 September 1958, dengan diundangkannya UU No. 7 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang  Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1-nya yang berbunyi, “Undang-Undang No. 1 tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.”

Meskipun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diberlakukan secara nasional tidak berarti bahwa upaya untuk membuat sistem hukum pidana yang baru terhenti. Upaya melakukan pembaruan hukum pidana terus berjalan semenjak tahun 1958 dengan berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional sebagai upaya untuk membentuk KUHP Nasional yang baru. Seminar Hukum Nasional I yang diadakan pada tahun 1963 telah menghasilkan berbagai resolusi yang antara lain adanya desakan untuk menyelesakan KUHP Nasional dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Upaya tersebut masih terus berjalan dan telah menghasilkan beberapa konsep rancangan undang-undang.
Meskipun demikian, konsep-konsep tersebut tidak pernah sampai pada kata “final” dengan menyerahkannya pada legislatif. Setidaknya, sampai dengan tulisan ini dibuat, belum ada informasi lebih lanjut mengenai kelanjutan pembahasan rancangan undang-undang hukum pidana nasional yang mengabsorbsi semangat kemerdekaan dan proklamasi
Selama lebih dari seratus tahun sejak KUHP Belanda diberlakukan, KUHP terhadap dua golongan warganegara yang berbeda tetap diberlakukan di Hindia Belanda. Hingga pada akhirnya dibentuklah KUHP yang berlaku bagi semua golongan sejak 1915. KUHP tersebut menjadi sumber hukum pidana sampai dengan saat ini. Pembentukan KUHP nasional ini sebenarnya bukan merupakan aturan hukum yang menjadi karya agung bangsa. Sebab KUHP yang berlaku saat ini merupakan sebuah turunan dari Nederland Strafwetboek (KUHP Belanda). Sudah menjadi konskwensi ketika berlaku asas konkordansi terhadap peraturan perundang-undangan.

KUHP yang berlaku di negeri Belanda sendiri merupakan turunan dari code penal perancis. Code penal menjadi inspirasi pembentukan peraturan pidana di Belanda. Hal ini dikarenakan Belanda berdasarkan perjalanan sejarah merupakan wilayah yang berada dalam kekuasaan kekaisaran perancis. Desakan pembentukan segera KUHP nasional sebagai sebuah negara yang pernah dijajah oleh bangsa asing, hukum yang berlaku di Indonesia secara langsung dipengaruhi oleh aturan-aturan hukum yang berlaku di negara penjajah tersebut. Negeri Belanda yang merupakan negeri dengan sistem hukum continental menurunkan betuknya melalui asas konkordansi. Peraturan yang berlaku di Negara jajahan harus sama dengan aturan hukum negeri Belanda. Hukum pidana (straffrecht) merupakan salah satu produk hukum yang diwariskan oleh penjajah.

Pada tahun 1965 LPHN (Lembaga Pembinaan Hukum Nasional) memulai suatu usaha pembentukan KUHP baru. Pembaharuan hukum pidana Indonesia harus segera dilakukan. Sifat undang-undang yang selalu tertinggal dari realitas sosial menjadi landasan dasar ide pembaharuan KUHP. KUHP yang masih berlaku hingga saat ini merupakan produk kolonial yang diterapkan di negara jajahan untuk menciptakan ketaatan. Indonesia yang kini menjadi Negara yang bebas dan merdeka hendaknya menyusun sebuah peraturan pidana baru yang sesuai dengan jiwa bangsa.
Masa pemberlakuan hukum pidana di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, dibagi menjadi 4 masa sebagaimana sejarah dalam tata hukum Indonesia yang didasarkan pada berlakunya empat konstitusi Indonesia yaitu pertama masa pasca kemerdekaan dengan konstitusi UUD 1945 kedua masa setelah Indonesia menggunakan konstitusi negara serikat (konstitusi RIS)  ketiga masa Indonesia menggunakan konstitusi sementara (UUDS 1950) dan keempat masa Indonesia kembali kepada UUD 1945.
Induk peraturan hukum pidana positif Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ). KUHP ini mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie ( WvSNI ) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali dengan Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33, 15 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918. WvSNI adalah keturunan dari WvS Negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di negara Belanda pada tahun 1886. walaupun WvSNI merupakan turunan (copy) dari WvS Belanda, namun pemerintah kolonial pada saat itu memberlakukan asas Konkordasi (penyesuaian) bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa pasal di hapuskan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas wilayah Indonesia.

Jika dirunut lebih ke belakang, pertama kali negara Belanda membuat perundang-undangan hukum pidana sejak tahun 1795 dan disahkan pada tahun 1809. Kodifikasi hukum pidana nasional pertama ini disebut dengan Crimineel Wetboek voor Het Koniklijk Holland. Namun baru dua tahun berlaku, pada tahun 1811 Prancis menjajah Belanda dan memberlakukan Code Penal (kodifikasi hukum pidana) yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte menjadi penguasa Prancis. Pada tahun 1813, Prancis meninggalkan Negara Belanda. Namun demikian, Negara Belanda masih mempertahankan Code Penal itu sampai tahun 1886. Pada tahun 1886, mulai di berlakukan Wetboek van Strafrechtsebagai penggantiCode Penal Napoleon.
Setelah perginya Prancis pada tahun 1813, Belanda melakukan usaha pembaharuan hukum pidananya ( code penal ) selama kurang lebih 68 tahun             (sampai tahun 1881). Selama  usaha pembaharuan hukum pidana itu, Code Penal mengalami beberapa perubahan terutama pada ancaman pidananya. Pidana penyikasaan dan pidana cap bakar yang ada dalam Code Penal ditiadakan dan diganti dengan pidana yang lebih lunak. Pada tahun 1881, Belanda mengesahkan hukum pidananya yang baru dengan nama Wetboek van Strafrechtsebagai penganti Code Penal Napoleon dan mulai diberlakuakan lima tahun kemudian, yaitu pada tahun 1886.
Sebelum Negara Belanda mengesahkan Wetboek van Strafrecht sebagai penggantiCode Penal Napoleon pada tahun 1886, diwilayah Hindia Belanda sendiri ternyata pernah diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Eropa) dengan Staatblad tahun 1866 Nomor 55 dan dinyatakan berlaku sejak 1 januari 1867. Bagi masyarakat bukan Eropa diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Inlender (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pribumi) dengan Staatblad tahun 1872 Nomor 85 dan dinyatakan berlaku sejak 1 januari 1873.
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa pada masa itu terdapat juga dualisme hukum pidana, yaitu hukum pidana bagi golongan Eropa dan hukum pidana bagi golongan non-Eropa. Kenyataan ini dirasakan Idenburg ( Minister van Kolonien ) sebagai permasalahan yang harus dihapuskan. Oleh karena itu, setelah dua tahun berusaha pada tahun 1915 keluarlah Koninlijk Besluit ( Titah Raja ) Nomor 33 15 Oktober 1915 yang mengesahkan Wetboek van Strafrech voor Nederlandsch Indie dan berlaku tiga tahun kemudian yaitu mulai 1 januari 1918.
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1945 ,untuk mengisi kekosongan hukum pidana  yang diberlakukan di Indonesia maka dengan dasar Pasal II aturan peralihan UUD 1945, WvSNI tetap diberlakukan. Pemberlakuan WvSNI menjadi hukum pidana Indonesia ini menggunakan Undang-undang No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia. Dalam pasal VI Undang Undang No 1 Tahun 1946 disebutkan bahwa nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indiediubah menjadi Wetboek van Strafrechtdan dapat disebut “Kitab Undang-undang Hukum Pidana”. Disamping itu, undang-undang ini juga tidak memberlakukan kembali peraturan-peraturan pidana yang dikeluarkan sejak tanggal 8 Maret 1942,baik yang dikeluarkan oleh pemerintah jepang maupun oleh panglima tertinggi Balantentara Hindia Belanda.
Oleh karena perjuangan Bangsa Indonesia belum selesai pada Tahun 1946 dan muncullah dualisme KUHP setelah tahun tersebut maka pada tahun 1958 dikeluarkan Undang-undang No 73 Tahun 1958 yang memberlakukan Undang-undang No 1 Tahun 1946 bagi seluruh wilayah Republik Indonesia.


Tidak ada komentar: