20 Mei 2016

Menyoal Maarif Institute

Oleh: Muhammad Syarif, S.HI.M.H*
Akhir-akhir ini jamaah sosial media, dikejutkan dengan hasil publikasi penelitian yang dilakukan Lembaga Maarif Institute, tentang Indek Kota Islami (IKI), yang menempatkan Banda Aceh berada pada urutan ke-19 satu klik diatas Jaya Pura.  Penelitian itu dilaksanakan pada 29 Kota di Indonesia dengan durasi waktu 1 Tahun sesuai pengakuan Direktur Riset Maarif Institute, Imam Mujadid Rais.
Lebih lanjut Imam Mujadid Rais mengatakan dalam melakukan penilaian Indek Kota Islami, menggunakan 3 Parameter yaitu: Pertama Parameter Kota Aman aspek yang dinilai meliputi; kebebasan beragama dan keyakinan, perlindungan hukum, kepeminpinan dan pemenuhan hak politik perempuan, hak anak difabel.

Kedua Parameter Sejahtera meliputi: tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan, kesehatan serta Ketiga Parameter Bahagia yang dinilai meliputi berbagi dalam kesetiakawanan dan harmoni dengan alam.
Tentunya yang paling penting dalam sebuah penelitian adalah kejujuran informasi serta pondasi teori dan metodelogi, sehingga hasil akhir dari sebuah produk penelitian dapat diterima secara akademik. Harus diakui memang, terkadang penelitian cendrung mengaburkan makna bahkan ada kesan sesuai orderan pemberi modal. Ya kita boleh saja tidak sepakat dengan pernyataan “orderan pemberi modal”. Mudah-mudahan tidak terjadi.
Setidaknya mari kita diskusikan makna dan prinsip dasar Islam itu sendiri. Berdasarkan Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim ada lima indikator Islam sebagaimana Sabda Nabi SAW’ Islam dibangun atas lima perkara (1) Persaksikan bahwa tiada Tuhan selain Allah, (2) mendirikan Shalat, (3) mengeluarkan Zakat, (4) berpuasa di bulan Ramadhan dan (5) melaksanakan Ibadah Haji bagi yang mampu.
Jika Pondasinya Islam, maka grounorm teory, mestinya memakai prinsip dasar itu. Jika tidak, maka keluar dari acuan main kerangka dasar. Itu sama artinya logika pikir tidak konsisten. Sejatinya kerangka pikir seorang peneliti harus konsisten. Lalu baru kita melangkah pada aspek nilai ajaran Islam itu sendiri.
Memang benar ajaran Islam itu universal, bukan hanya aspek ibadah ansich, akan tetapi juga aspek muamalah dalam pemaknaan yang lebih luas. Islam bicara keadilan, toleransi, kesamaan dalam hukum, politik, etika baik dan buruk, penghargaan terhadap Hak Asasi manusia. Tapi lagi-lagi pondasi yang dibangun, lima Pilar itu harus di perjelas. Karena itu pondasi utama Islam itu sendiri.
Maka tidak heran jika banyak pihak menuding penelitian Maarif Institute yang menempatkan Bali jauh lebih “Islami” dari Banda Aceh merupakan kekeliruan besar. Bukankah Bali manyoritasnnya Hindu. Itu artinya asas dasar sudah tidak terpenuhi. Walau demikian mari kita lihat aspek yang lain, terutama nilai-nilai keamanan beragama (toleransi).
Kalau kita mau jujur, berdasarkan kajian Komnas HAM di tahun 2014, Denpasar-Bali, terjadinya pemasungan Ideologi keagamaan merata di berbagai sekolah, dimana di larang memakai Jilbab bagi murid SMA di Bali (baca Komnas HAM: Pelarangan Jilbab terjadi di seluruh bali, www.republika.co.id).
Kembali pada pokok persoalan, apakah penelitian ini sudah benar secara metodelogi atau teory? penulis mengambil kesimpulan sangat jauh dari kebenaran dan kaedah keilmuan. Nada yang sama juga diamini oleh Tgk. Zulkhairi, MA, Mahasiwa S3 UIN Ar-Raniry.  Lebih lanjut Tgk. Zulkhairi menuding ada kecurangan metodelogi survey Kota Islami, yang dilakukan oleh Maarif Institute. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Pro. DR. Din Syamsuddin, Watim Majelis Ulama Indonesi (18/5). Terkait Kota Islami, Din Syamsuddin tidak sepakat dengan Maarif Institue. Kendatipun demikian Din Syamsuddin berharap agar penelitian ini menjadi masukan bagi semua pemimpin yang ada di daerah, sehingga nilai-nilai keislaman teraktualisasi di daerah.
Sementara Zulkhairi membeberkan berbagai kecurangan yang di lakukan oleh Maarif Institue pada akun Facebooknya secara terang benderang. Mari kita simak beberan Tgk, Zulkhairi pada akun Facebooknya. Banda Aceh raih nilai tertinggi pada variable” bahagia dan sejahtera” itu artinya artinya Banda Aceh unggul pada point harmoni dengan alam, kesetiakawanan, pendidikan, pendapatan, pekerjaan dan kesejahteraan”. Itu artinya Banda Aceh jauh lebih unggul dari Bali. Skor Sejahtera Banda Aceh (78,85), Bahagia (75,00). Banda aceh rendah pada nilai aman yang mendapat bobot nilai (55,00) sehingga menbuat nilai akhir IKInya (69,62)
Sementara Bali Skor Sejahtera (76,92), bahagia (100), Aman (65,00) sehingga  nilai akhir IKInya (80,64). Mencermati pada Variabel aman Kota menurut Maarif Institute dinilai pada aspek kebebasan beragama dan keyakinan, perlindungan hukum, kepemimpinan dan pemenuhan hak politik perempuan serta hak anak dan difabel.
Dalam konteks ini, mari kita kupas dan didiskusikan lebih tajam lagi. Benarkan Banda Aceh dalam aspek kebebasan beragama rendah? Adakah kebijakan Pemerintah daerah yang memasung kebebasan beragama. Adakah penyandraan terhadap hak politik perempuan di Kota madani? bukankan Walikotanya Wanita, bukankah di beberapa instansi pemerintah pejabat Eselon II,III dan IV dikuasai Wanita, sebut saja Dinas Kesehatan, Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan, Kantor Perizinan Terpadu Satu Pintu, Kantor Pemberdayaan Perempuan dan KB, Kantor Perpustakaan dan Arsip. Sementara pada Dinas Syariat Islam dan BLUD RSUD Meuraxa, kedua Institusi ini umumnya pejabat Eselon III dan IV didominasi Perempuan. Ini Fakta. Bahwa wanita mendapat tempat Istimewa dalam bidang politik dan ranah pejabat publik.
Zulkhairi menuding jika maarif institute konsisten memakai qaedah maqashid syari`ah maka tentu harus diakui Banda Aceh jauh lebih unggul dari Bali. Bukankah salah satu aspek Maqashid Syari`ah adalah Hiffzu ad-Din (memelihara agama). Tak dapat dipungkiri dalam konteks aqidah Banda Aceh salah satu Kota yang konsern dan tegas. Sehingga LGBT dan Aliran sesat tidak ada tempat di Kota Madani. Inilah yang dituding oleh Tgk. Zukkhairi, ada kecurangan metodelogi dalam melakukan penelitian Indek Kota Islami di Indonesia. Atau jangan-jangan ada maksud lain dibalek publikasi Indek Kota Islami. Wallahu `alam binshawab.

*Penulis adalah Pengurus KAHMI Aceh dan Direktur Aceh Research Institute.

Tidak ada komentar: