Oleh: Muhammad Syarif,
S.HI.M.H*
Akhir-akhir ini jamaah
sosial media, dikejutkan dengan hasil publikasi penelitian yang dilakukan
Lembaga Maarif Institute, tentang Indek Kota Islami (IKI), yang menempatkan
Banda Aceh berada pada urutan ke-19 satu klik diatas Jaya Pura. Penelitian itu dilaksanakan pada 29 Kota di
Indonesia dengan durasi waktu 1 Tahun sesuai pengakuan Direktur Riset Maarif
Institute, Imam Mujadid Rais.
Lebih lanjut Imam
Mujadid Rais mengatakan dalam melakukan penilaian Indek Kota Islami,
menggunakan 3 Parameter yaitu: Pertama Parameter Kota Aman aspek yang dinilai
meliputi; kebebasan beragama dan keyakinan, perlindungan hukum, kepeminpinan
dan pemenuhan hak politik perempuan, hak anak difabel.
Kedua Parameter
Sejahtera meliputi: tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan, kesehatan serta Ketiga Parameter Bahagia yang dinilai meliputi berbagi dalam kesetiakawanan dan
harmoni dengan alam.
Tentunya yang paling
penting dalam sebuah penelitian adalah kejujuran informasi serta pondasi teori
dan metodelogi, sehingga hasil akhir dari sebuah produk penelitian dapat
diterima secara akademik. Harus diakui memang, terkadang penelitian cendrung
mengaburkan makna bahkan ada kesan sesuai orderan pemberi modal. Ya kita boleh
saja tidak sepakat dengan pernyataan “orderan pemberi modal”. Mudah-mudahan
tidak terjadi.
Setidaknya mari kita
diskusikan makna dan prinsip dasar Islam itu sendiri. Berdasarkan Hadits
Riwayat Bukhari dan Muslim ada lima indikator Islam sebagaimana Sabda Nabi SAW’
Islam dibangun atas lima perkara (1) Persaksikan bahwa tiada Tuhan selain
Allah, (2) mendirikan Shalat, (3) mengeluarkan Zakat, (4) berpuasa di bulan
Ramadhan dan (5) melaksanakan Ibadah Haji bagi yang mampu.
Jika Pondasinya Islam,
maka grounorm teory, mestinya memakai
prinsip dasar itu. Jika tidak, maka keluar dari acuan main kerangka dasar. Itu sama
artinya logika pikir tidak konsisten. Sejatinya kerangka pikir seorang peneliti
harus konsisten. Lalu baru kita melangkah pada aspek nilai ajaran Islam itu
sendiri.
Memang benar ajaran Islam
itu universal, bukan hanya aspek ibadah ansich, akan tetapi juga aspek muamalah
dalam pemaknaan yang lebih luas. Islam bicara keadilan, toleransi, kesamaan
dalam hukum, politik, etika baik dan buruk, penghargaan terhadap Hak Asasi
manusia. Tapi lagi-lagi pondasi yang dibangun, lima Pilar itu harus di
perjelas. Karena itu pondasi utama Islam itu sendiri.
Maka tidak heran jika
banyak pihak menuding penelitian Maarif Institute yang menempatkan Bali jauh
lebih “Islami” dari Banda Aceh merupakan kekeliruan besar. Bukankah Bali
manyoritasnnya Hindu. Itu artinya asas dasar sudah tidak terpenuhi. Walau demikian
mari kita lihat aspek yang lain, terutama nilai-nilai keamanan beragama
(toleransi).
Kalau kita mau jujur, berdasarkan
kajian Komnas HAM di tahun 2014, Denpasar-Bali, terjadinya pemasungan Ideologi
keagamaan merata di berbagai sekolah, dimana di larang memakai Jilbab bagi
murid SMA di Bali (baca Komnas HAM: Pelarangan Jilbab terjadi di seluruh bali, www.republika.co.id).
Kembali pada pokok
persoalan, apakah penelitian ini sudah benar secara metodelogi atau teory?
penulis mengambil kesimpulan sangat jauh dari kebenaran dan kaedah keilmuan.
Nada yang sama juga diamini oleh Tgk. Zulkhairi, MA, Mahasiwa S3 UIN
Ar-Raniry. Lebih lanjut Tgk. Zulkhairi
menuding ada kecurangan metodelogi survey Kota Islami, yang dilakukan oleh Maarif
Institute. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Pro. DR. Din Syamsuddin, Watim
Majelis Ulama Indonesi (18/5). Terkait Kota Islami, Din Syamsuddin tidak
sepakat dengan Maarif Institue. Kendatipun demikian Din Syamsuddin berharap agar
penelitian ini menjadi masukan bagi semua pemimpin yang ada di daerah, sehingga
nilai-nilai keislaman teraktualisasi di daerah.
Sementara Zulkhairi membeberkan
berbagai kecurangan yang di lakukan oleh Maarif Institue pada akun Facebooknya
secara terang benderang. Mari kita simak beberan Tgk, Zulkhairi pada akun
Facebooknya. Banda Aceh raih nilai tertinggi pada variable” bahagia dan
sejahtera” itu artinya artinya Banda Aceh unggul pada point harmoni dengan
alam, kesetiakawanan, pendidikan, pendapatan, pekerjaan dan kesejahteraan”. Itu
artinya Banda Aceh jauh lebih unggul dari Bali. Skor Sejahtera Banda Aceh
(78,85), Bahagia (75,00). Banda aceh rendah pada nilai aman yang mendapat bobot
nilai (55,00) sehingga menbuat nilai akhir IKInya (69,62)
Sementara Bali Skor
Sejahtera (76,92), bahagia (100), Aman (65,00) sehingga nilai akhir IKInya (80,64). Mencermati pada
Variabel aman Kota menurut Maarif Institute dinilai pada aspek kebebasan
beragama dan keyakinan, perlindungan hukum, kepemimpinan dan pemenuhan hak
politik perempuan serta hak anak dan difabel.
Dalam konteks ini, mari
kita kupas dan didiskusikan lebih tajam lagi. Benarkan Banda Aceh dalam aspek kebebasan
beragama rendah? Adakah kebijakan Pemerintah daerah yang memasung kebebasan
beragama. Adakah penyandraan terhadap hak politik perempuan di Kota madani? bukankan Walikotanya Wanita, bukankah di beberapa instansi pemerintah pejabat Eselon II,III dan IV dikuasai Wanita, sebut saja Dinas Kesehatan, Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan, Kantor Perizinan Terpadu Satu Pintu, Kantor Pemberdayaan Perempuan dan KB, Kantor Perpustakaan dan Arsip. Sementara pada Dinas Syariat Islam dan BLUD RSUD Meuraxa, kedua Institusi ini umumnya pejabat Eselon III dan IV didominasi Perempuan. Ini Fakta. Bahwa wanita mendapat tempat Istimewa dalam bidang politik dan ranah pejabat publik.
Zulkhairi menuding jika
maarif institute konsisten memakai qaedah maqashid syari`ah maka tentu harus
diakui Banda Aceh jauh lebih unggul dari Bali. Bukankah salah satu aspek
Maqashid Syari`ah adalah Hiffzu ad-Din (memelihara agama). Tak dapat dipungkiri dalam konteks aqidah Banda
Aceh salah satu Kota yang konsern dan tegas. Sehingga LGBT dan Aliran
sesat tidak ada tempat di Kota Madani. Inilah yang dituding oleh Tgk.
Zukkhairi, ada kecurangan metodelogi dalam melakukan
penelitian Indek Kota Islami di Indonesia. Atau jangan-jangan ada maksud lain dibalek publikasi Indek Kota Islami. Wallahu `alam binshawab.
*Penulis adalah Pengurus
KAHMI Aceh dan Direktur Aceh Research Institute.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar