7 Feb 2015

Syariat Islam Aceh berbasis reward

Oleh : Muhammad Syarif

Syariat Islam adalah seperangkat ketentuan Allah SWT yang tertuang dalam A-Qur`an dan Hadits. Ketentuan aturan Allah ini mengatur seluruh sendi kehidupan manusia secara universal.

Ketentuan Allah yang terdapat dalam nash (tek al-qur`an) terbagi dua yaitu ketentuan yang bersifat qath`iy dan ketentuan yang bersifat dhanniy. Teks yang sifatnya qath`iy yaitu ketentuan yang bersifat rigit, pasti, tidak dapat dilakukan penafsiran atau tidak dapat dilihkan makna yang lain sesuai selera manusia. Sementara ketentuan yang bersifat dhanniy adalah teks yang bersifat umum, sehingga memerlukan penafsiran.
Tentunya penafsiran nash yang bersifat dhanniy, juga harus berdasarkan azas dan qaidah keilmuan. Untuk itupula melahirkan konsepsi fiqh. Secara etimologi fiqh bermakna pemahaman yang mendalam terhadap sesuatu. Dalam perjalanan secara figh difokuskan pada aspek pemahaman atau usaha yang mendalam terhadap pemaknaan ayat-ayat Al-qur`an dan Hadits.
Dalam konteks penerapan syariat Islam di Aceh, penulis cendrung melihat dari aspek konsepsi “fiqh peran negara” dalam perumusan, penegakan dan pembinaan warganya agar menjalankan syariat Islam.
Sebagaimana dipahami bersama bahwa dalam lintasan sejarah Aceh, negara telah memainkan perannya dalam ranka menjadikan Aceh sebagai daerah yang menjalankan syariat Islam hal ini dapat dibaca dalam buku Stimulasi Pembangunan Hukum Pidana Nasional dari Aceh untuk Indonesia karya Mohd.Din (Unpad Press, 2009).
Landasan yuridis penerapan syariat Islam di Aceh dapat dilihat dari berbagai regulasi antara lain: UU No.44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, UU No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, serta UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
3 Regulasi ini menjadi payung hukum utama dalam penerapan syariat Islam sekaligus bentuk kongkrit intervensi negara guna menjamin pelaksaan syariat Islam secara konstitusi di Indonesia. Sejatinya dalam tataran normatif tidak ada khilafiyah terhadap sah or tidak sah, layak atau tidak layak, legal or illegal Aceh menerapkan syariat Islam dalam seluruh sendi kehidupan.
Sekedar mengingatkan memori kita, bukti kongkrit intervensi negara dalam penerapan syariat Islam di Aceh dilaksanakan pada 14 Maret 2002 yang bertepatan dengan 1 Muharram 1423 H yang dimotori oleh Gubernur Aceh Abdullah Puteh.
Pada saat itu juga diresmikan Mahkamah Syari`ah sebagai lembaga peradilan yang memberikan justifikasi atas pelanggaran syariat Islam yang dilakukan oleh masyarakat Aceh, sesuai hukum positif.
Tentunya perangkat hukum operasional hakim Mahkamah Syari`ah dalam mengeluarkan fatwanya adalah 5 Qanun yaitu: Qanun No.11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi`ar Islam, Qanun No.12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan sejenisnya, Qanun No.13 Tahun 2003 tentang Maisir (perjudian), Qanun No.14 Tahun 2003 tentang Khalwat (mesum) serta Qanun No.7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat.
Dari ke-5 Qanun tersebut Mahkamah Syari`ah lebih dominan menanggani kasus Khalwat sementara yang lainnya belum begitu dominan.
13 Tahun Penerapan Syariat Islam di Aceh (baca intervensi negara dalam penerapan syariat Islam), ada kesan pro dan kontra ini dapat di baca dalam kajian Yayasan Insan Cita Madani (YICM) Tahun 2006-2009, kerjasama dengan Kemitraan Partnership. Hasil kajian YICM terdokumentasi dalam buku Polemik Penerapan Syariat Islam di Aceh. Dimana pada saat FGD, penulis beberapa kali ikut pada acara yang dibuat oleh Yayasan Insan Cita Madani.
Dalam kesempatan ini penulis tidak membahas aspek pro dan kontra, akan tetapi membuka wacana baru “syariat Islam berbasis reward
 Wacana ini nantinya menjadi bahan diskusi sekaligus bahan kajian para akademisi, umara dan ulama di Aceh termasuk didalamnya masyarakat civil.
Sepertinya pendekatan hukuman perlu in heren dengan penghargaan (reward). Terlalu sering pemberitaan miring terhadap penerapan syariat Islam di Aceh, dimana media cenderung memberitakan hukuman cambuk yang diskriminatif.
Parahnya lagi sebagian akademisi serta penggiat HAM terkadang menyerang atawa tendensius dalam mencermati peran negara dalam konteks penerapan Syariat Islam di Aceh. Ada kesan Penerapan Syariat Islam di Aceh bertedensi politik, melanggar HAM, diskriminatif dan sebagainya.
Reward menjadi penting dilakukan guna menyemangati umat Islam di Aceh agar lebih bergairah dalam menjalankan syariat Islam. Untuk langkah awal, Banda Aceh kiranya dapat dijadikan sebagai role modelnya, apalagi dari sisi geografis dan geopolitik Banda Aceh sangat mungkin untuk menerapkannyaa.
Sejalan dengan visi misinya “Banda Aceh Model Kota Madani”, kiranya wacana ini perlu dikaji dari berbagai aspek. Paling tidak arah baru penerapan syariat Islam harus lebih menonjol pembinaan dan pemberian penghargaan. Bukan berarti hukuman cambuk tidak penting.
Pemberian penghargaan itu dapat dimulai dari hal-hal yang kecil, misalnya Pemerintah Banda Aceh menyediakan uang bagi jamaah Jum`at, atau menyediakan makanan gratis bagi seluruh jamaah di Masjid tertentu. Dalam bentuk lainnya juga dapat dilakukan memberikan stimulus bagi pemuda, tokoh masyarakat, Omas/OKP dan media yang senantiasa melaksanakan gerakan sadar dakwah.
Dalam konteks ke Acehan, Pemerintah Kab/Kota dapat melakukan gebrakan yang sifatnya memberikan reward bagi warganya yang taat menjalankan syariat Islam.
Misalnya bagi Gampong bersih, Geusyik yang peduli Syariat, LSM, Ormas/OKP dan Media yang pro syariat akan mendapat penghargaan baik materi maupun immateri.

Bentuknya dapat bermaca-macam sesuai dengan kreatifitas masing-masing daerah. yang pada akhirnya mendorong masyarakat atau warganya untuk menjalankan syariat. Politik kukum syariat Islam Aceh harus benar-benar dirasakan mamfaatnyata yang dapat merobah pola fikir dan pola tindak masyarakat Aceh. Ayo saatnya formulasi syariat Islam berbasis reward, why not? 

Tidak ada komentar: