Historis Baitul Mal dari masa kemasa
Kepala BMK sedang bincang-bincang dg Ust. Masrul Aidi |
Baitul
Mal dalam makna istilah sesungguhnya sudah ada sejak masa Rasulullah SAW, yaitu
ketika kaum muslimin mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang) pada Perang
Badar (Zallum, 1983). Saat itu para shahabat berselisih paham mengenai cara
pembagian ghanimah tersebut sehingga turun firman Allah SWT yang menjelaskan
hal tersebut: ‘Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang (pembagian) harta
rampasan perang. Katakanlah,’Harta rampasan perang itu adalah milik Allah dan
Rasul, oleh sebab itu bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di
antara sesama kalian, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian
benar-benar orang-orang yang beriman.’ (QS Al Anfaal : 1)
Dengan ayat ini, Allah
menjelaskan hukum tentang pembagian harta rampasan perang dan menetapkannya
sebagai hak bagi seluruh kaum muslimin. Selain itu, Allah juga memberikan
wewenang kepada Rasulullah SAW untuk membagikannya sesuai pertimbangan beliau
mengenai kemaslahatan kaum muslimin. Dengan demikian, ghanimah Perang Badar ini
menjadi hak bagi Baitul Mal, di mana pengelolaannya dilakukan oleh Waliyyul
Amri kaum muslimin, yang pada saat itu adalah Rasulullah SAW sendiri, sesuai
dengan pendapatnya untuk merealisasikan kemaslahatan kaum muslimin (Zallum,
1983).
Pada masa Rasulullah SAW ini,
Baitul Mal lebih mempunyai pengertian sebagai pihak (al-jihat) yang menangani
setiap harta benda kaum muslimin, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran.
Saat itu Baitul Mal belum mempunyai tempat khusus untuk menyimpan harta, karena
saat itu harta yang diperoleh belum begitu banyak. Kalaupun ada, harta yang
diperoleh hampir selalu habis dibagi‑bagikan kepada kaum muslimin serta
dibelanjakan untuk pemeliharaan urusan mereka. Rasulullah SAW senantiasa
membagikan ghanimah dan seperlima bagian darinya (al-akhmas) setelah usainya
peperangan, tanpa menunda‑nundanya lagi. Dengan kata lain, beliau segera
menginfakkannya sesuai peruntukannya masing-masing.
Seorang shahabat bernama
Hanzhalah bin Shaifi yang menjadi penulis (katib) Rasulullah SAW, menyatakan,
‘Rasulullah SAW menugaskan aku dan mengingatkan aku (untuk membagi-bagikan
harta) atas segala sesuatu (harta yang diperoleh) pada hari ketiganya… Tidaklah
datang harta atau makanan kepadaku selama tiga hari, kecuali Rasulullah SAW
selalu mengingatkannya (agar segera didistribusikan). Rasulullah SAW tidak suka
melalui suatu malam sementara ada harta (umat) di sisi beliau.” (Zallum, 1983).
Pada umumnya Rasulullah SAW
membagi-bagikan harta pada hari diperolehnya harta itu. Hasan bin Muhammad
menyatakan, ‘Rasulullah SAW tidak pernah menyimpan harta baik siang maupun
malamnya’. Dengan kata lain, bila harta itu datang pagi-pagi, akan segera
dibagi sebelum tengah hari tiba. Demikian juga jika harta itu datang siang
hari, akan segera dibagi sebelum malam hari tiba. Oleh karena itu, saat itu
belum ada atau belum banyak harta tersimpan yang mengharuskan adanya tempat
atau arsip tertentu bagi pengelolaannya (Zallum, 1983).
Masa Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
Keadaan
seperti di atas terus berlangsung sepanjang masa Rasulullah SAW. Ketika Abu
Bakar menjadi Khalifah, keadaan Baitul Mal masih berlangsung seperti itu di
tahun pertama kekhilafahannya (11 H/632 M). Jika datang harta kepadanya dari
wilayah-wilayah kekuasaan Khilafah Islamiyah, Abu Bakar membawa harta itu ke
Masjid Nabawi dan membagi-bagikannya kepada orang-orang yang berhak
menerimanya. Untuk urusan ini, Khalifah Abu Bakar telah mewakilkan kepada Abu
Ubaidah bin Al Jarrah. Hal ini diketahui dari pernyataan Abu Ubaidah bin Al
Jarrah saat Abu Bakar dibai’at sebagai Khalifah. Abu Ubaidah saat itu berkata
kepadanya, ‘Saya akan membantumu dalam urusan pengelolaan harta umat.’ (Zallum,
1983).
Kemudian
pada tahun kedua kekhilafahannya (12 H/633 M), Abu Bakar merintis embrio
Baitul Mal dalam arti yang lebih luas. Baitul Mal bukan sekedar berarti pihak
(al- jihat) yang menangani harta umat, namun juga berarti suatu tempat
(al-makan) untuk menyimpan harta negara. Abu Bakar menyiapkan tempat khusus di
rumahnya, berupa karung atau kantung (ghirarah), untuk menyimpan harta yang
dikirimkan ke Madinah. Hal ini berlangsung sampai kewafatan beliau pada tahun
13 H/634 M.
Abu
Bakar dikenal sebagai Khalifah yang sangat wara’ (hati-hati) dalam masalah
harta. Bahkan pada hari kedua setelah beliau dibai’at sebagai Khalifah, beliau
tetap berdagang dan tidak mau mengambil harta umat dari Baitul Mal untuk
keperluan diri dan keluarganya. Diriwayatkan oleh lbnu Sa’ad (w. 230 H/844 M),
penulis biografi para tokoh muslim, bahwa Abu Bakar yang sebelumnya berprofesi
sebagai pedagang membawa barang-barang dagangannya yang berupa bahan pakaian di
pundaknya dan pergi ke pasar untuk menjualnya.
Di
tengah jalan, ia bertemu dengan Umar bin Khaththab. Umar bertanya, “Anda mau
kemana, hai Khalifah?” Abu Bakar menjawab, “Ke pasar.” Umar berkata, “Bagaimana
mungkin Anda melakukannya, padahal Anda telah memegang jabatan sebagai pemimpin
kaum muslimin?” Abu Bakar menjawab, “Lalu dari mana aku akan memberikan nafkah
untuk keluargaku?” Umar berkata, “Pergilah kepada Abu Ubaidah (pengelola Baitul
Mal), agar ia menetapkan sesuatu untukmu.” Keduanya pun pergi menemui Abu
Ubaidah, yang segera menetapkan santunan (ta’widh) yang cukup untuk Khalifah Abu
Bakar, sesuai dengan kebutuhan seseorang secara sederhana, yakni 4000 dirham
setahun yang diambil dan Baitul Mal.
Menjelang
ajalnya tiba, karena khawatir terhadap santunan yang diterimanya dari Baitul
Mal, Abu Bakar berpesan kepada keluarganya untuk mengembalikan santunan yang
pernah diterimanya dari Baitul Mal sejumlah 8000 dirham. Ketika keluarga Abu
Bakar mengembalikan uang tersebut setelah beliau meninggal, Umar berkomentar,
“Semoga Allah merahmati Abu Bakar. Ia telah benar-benar membuat payah orang-orang
yang datang setelahnya.” Artinya, sikap Abu Bakar yang mengembalikan uang
tersebut merupakan sikap yang berat untuk diikuti dan dilaksanakan oleh para
Khalifah generasi sesudahnya (Dahlan, 1999).
Masa Khalifah Umar bin Khaththab (13-23 H/634-644 M)
Setelah
Abu Bakar wafat dan Umar bin Khaththab menjadi Khalifah, beliau mengumpulkan
para bendaharawan kemudian masuk ke rumah Abu Bakar dan membuka Baitul Mal.
Ternyata Umar hanya mendapatkan satu dinar saja, yang terjatuh dari kantungnya.
Akan
tetapi setelah penaklukan‑penaklukan (futuhat) terhadap negara lain semakin
banyak terjadi pada masa Umar dan kaum muslimin berhasil menaklukan negeri
Kisra (Persia) dan Qaishar (Romawi), semakin banyaklah harta yang mengalir ke
kota Madinah. Oleh karena itu, Umar lalu membangun sebuah rumah khusus untuk
menyimpan harta, membentuk diwan-diwannya (kantor-kantornya), mengangkat para
penulisnya, menetapkan gaji-gaji dari harta Baitul Mal, serta membangun
angkatan perang. Kadang‑kadang ia menyimpan seperlima bagian dari harta
ghanimah di masjid dan segera membagi‑bagikannya. Mengenai mulai banyaknya
harta umat ini, Ibnu Abbas pernah mengisahkan :
‘Umar pernah
memanggilku, ternyata di hadapannya ada setumpuk emas terhampar di hadapannya.
Umar lalu berkata : ‘Kemarilah kalian, aku akan membagikan ini kepada kaum
muslimin. Sesungguhnya Allah lebih mengetahui mengapa emas ini ditahan-Nya dari
Nabi-Nya dan Abu Bakar, lalu diberikannya kepadaku. Allah pula yang lebih
mengetahui apakah dengan emas ini Allah menghendaki kebaikan atau keburukan’
Selama
memerintah, Umar bin Khaththab tetap memelihara Baitul Mal secara hati-hati,
menerima pemasukan dan sesuatu yang halal sesuai dengan aturan syariat dan
mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya. Dalam salah satu pidatonya,
yang dicatat oleh lbnu Kasir (700-774 H/1300-1373 M), penulis sejarah dan
mufasir, tentang hak seorang Khalifah dalam Baitul Mal, Umar berkata, “Tidak
dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim
panas dan sepotong pakaian musim dingin serta uang yang cukup untuk kehidupan
sehari-hari seseorang di antara orang-orang Quraisy biasa, dan aku adalah
seorang biasa seperti kebanyakan kaum muslimin.” (Dahlan, 1999).
Masa Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M)
Kondisi
yang sama juga berlaku pada masa Utsman bin Affan. Namun, karena pengaruh yang
besar dan keluarganya, tindakan Usman banyak mendapatkan protes dari umat dalam
pengelolaan Baitul Mal. Dalam hal ini, lbnu Sa’ad menukilkan ucapan Ibnu Syihab
Az Zuhri (51-123 H/670-742 M), seorang yang sangat besar jasanya dalam
mengumpulkan hadis, yang menyatakan, “Usman telah mengangkat sanak kerabat dan
keluarganya dalam jabatan-jabatan tertentu pada enam tahun terakhir dari masa
pemerintahannya.
Ia
memberikan khumus (seperlima ghanimah) kepada Marwan yang kelak menjadi
Khalifah ke-4 Bani Umayyah, memerintah antara 684-685 M dari penghasilan Mesir
serta memberikan harta yang banyak sekali kepada kerabatnya dan ia (Usman)
menafsirkan tindakannya itu sebagai suatu bentuk silaturahmi yang diperintahkan
oleh Allah SWT. Ia juga menggunakan harta dan meminjamnya dari Baitul Mal
sambil berkata, ‘Abu Bakar dan Umar tidak mengambil hak mereka dari Baitul Mal,
sedangkan aku telah mengambilnya dan membagi-bagikannya kepada sementara sanak kerabatku.’
Itulah sebab rakyat memprotesnya.” (Dahlan, 1999).
Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)
Pada
masa pemerintahan Ali bin Abi Talib, kondisi Baitul Mal ditempatkan kembali
pada posisi yang sebelumnya. Ali, yang juga mendapat santunan dari Baitul Mal,
seperti disebutkan oleh lbnu Kasir, mendapatkan jatah pakaian yang hanya bisa
menutupi tubuh sampai separo kakinya, dan sering bajunya itu penuh dengan
tambalan.
Ketika
berkobar peperangan antara Ali bin Abi Talib dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan
(khalifah pertama Bani Umayyah), orang-orang yang dekat di sekitar Ali
menyarankan Ali agar mengambil dana dari Baitul Mal sebagai hadiah bagi
orang-orang yang membantunya. Tujuannya untuk mempertahankan diri Ali sendiri
dan kaum muslimin. Mendengar ucapan itu, Ali sangat marah dan berkata, “Apakah
kalian memerintahkan aku untuk mencari kemenangan dengan kezaliman? Demi Allah,
aku tidak akan melakukannya selama matahari masih terbit dan selama masih ada
bintang di langit.”(Dahlan, 1999)
Masa Khalifah-Khalifah Sesudahnya
Ketika
Dunia Islam berada di bawah kepemimpinan Khilafah Bani Umayyah, kondisi Baitul
Mal berubah. Al Maududi menyebutkan, jika pada masa sebelumnya Baitul Mal
dikelola dengan penuh kehati-hatian sebagai amanat Allah SWT dan amanat rakyat,
maka pada masa pemerintahan Bani Umayyah Baitul Mal berada sepenuhnya di bawah
kekuasaan Khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat (Dahlan,
1999).
Keadaan
di atas berlangsung sampai datangnya Khalifah ke-8 Bani Umayyah, yakni Umar bin
Abdul Aziz (memerintah 717-720 M). Umar berupaya untuk membersihkan Baitul Mal
dari pemasukan harta yang tidak halal dan berusaha mendistribusikannya kepada
yang berhak menerimanya. Umar membuat perhitungan dengan para Amir bawahannya
agar mereka mengembalikan harta yang sebelumnya bersumber dari sesuatu yang
tidak sah.
Di
samping itu, Umar sendiri mengembalikan milik pribadinya sendiri, yang waktu
itu berjumlah sekitar 40.000 dinar setahun, ke Baitul Mal. Harta tersebut
diperoleh dan warisan ayahnya, Abdul Aziz bin Marwan. Di antara harta itu
terdapat perkampungan Fadak, desa di sebelah utara Mekah, yang sejak Nabi SAW
wafat dijadikan rnilik negara. Namun, Marwan bin Hakam (khalifah ke-4 Bani
Umayah, memerintah 684-685 M) telah memasukkan harta tersebut sebagai milik
pribadinya dan mewariskannya kepada anak-anaknya. (Dahlan, 1999)
Akan
tetapi, kondisi Baitul Mal yang telah dikembalikan oleh Umar bin Abdul Aziz
kepada posisi yang sebenarnya itu tidak dapat bertahan lama. Keserakahan para
penguasa telah meruntuhkan sendi-sendi Baitul Mal, dan keadaan demikian
berkepanjangan sampai masa Kekhilafahan Bani Abbasiyah. Dalam keadaan demikian,
tidak sedikit kritik yang datang dan ulama, namun semuanya diabaikan, atau
ulama itu sendiri yang diintimidasi agar tutup mulut. lmam Abu Hanifah, pendiri
Madzhab Hanafi, mengecam tindakan Abu Ja’far Al Mansur (khalifah ke-2 Bani
Abbasiyah, memerintah 754-775 M), yang dipandangnya berbuat zalim dalam
pemerintahannya dan berlaku curang dalam pengelolaan Baitul Mal dengan memberikan
hadiah kepada banyak orang yang dekat dengannya.
lmam
Abu Hanifah menolak bingkisan dan Khalitah Al Mansur. Tentang sikapnya itu Imam
Abu Hanifah menjelaskan, “Amirul Mukminin tidak memberiku dari hartanya
sendiri. Ia memberiku dari Baitul Mal, milik kaum muslimin, sedangkan aku tidak
memiliki hak darinya. 0leh sebab itu, aku menolaknya. Sekiranya Ia memberiku
dari hartanya sendiri, niscaya aku akan menerimanya.”
Namun
bagaimana pun, terlepas dari berbagai penyimpangan yang terjadi, Baitul Mal
harus diakui telah tampil dalam panggung sejarah Islam sebagai lembaga negara
yang banyak berjasa bagi perkembangan peradaban Islam dan penciptaan
kesejahteraan bagi kaum muslimin. Keberadaannya telah menghiasi lembaran
sejarah Islam dan terus berlangsung hingga runtuhnya Khilafah yang terakhir,
yaitu Khilafah Utsmaniyah di Turki tahun 1924.
Baitul Mal Kota
Banda Aceh (Analisis Perwal No.3 Tahun 2011)
Prosesi Pelantikan Kepala BMK 14 Juli 2014 |
Dasar
inilah kemudian menjadi pijakan pembentukan kelembagaan BMK. Dalam Pasal 1
point 6 memberikan definisi BMK adalah lembaga non structural yang diberikan
kewenangan untuk mengelola, mengembangkan dan memberdayakan zakat, wakaf dan
harta agama dengan tujuan untuk kemaslahatan ummat serta menjadi wali dan wali
pengawas terhadap anak yatim, piatu, yatim piatu dan/atau hartanya serta
pengelolaan terhadap harta warisan yang tidak ada wali berdasarkan syariat
Islam.
Untuk
menjalankan tugas dan kewenangan BMK, Pemerintah Kota Banda Aceh membentuk
Kelembagaan tersebut dengan Susunan Organisasi sebagai berikut:
a.
Kepala Baitulmal
b.
Sekretariat
c.
Bidang Pengumpulan
d.
Bidang Pendistribusian dan
Pendayagunaan
e.
Bidang Sosialisasi dan Pembinaan
f.
Bidang Perwalian dan Harta Agama
g.
Bendahara
Eksistensi
masing-masing kelembagaan tersebut dalam rangka optimalisasi peran dan fungsi
BMK. Disamping itupula dalam rangka dukungan administrasi dan tata kelola
pelayanan dalam bidang birokrasi, Pemerintah Kota Banda Aceh memperkuat peran
dan fungsi Sekretariat dengan mengakui eselonoring. Pengakuan ini dalam rangka
menjadikan Sekretariat BMK sebagai bagian dari Perangkat Daerah, hal ini sesuai
dengan Qanun Kota Banda Aceh Nomor 5 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Sekretariat Lembaga Keistimewaan Kota Banda Aceh.
Pengakuan
Eselonering BMK setingkat III.a sejatinya memaksimalkan peran dan fungsi BMK
sebagai lembaga yang fokus mengelola zakat, wakaf dan harta agama. Harus diakui
keberadaan BMK selama ini hanya sebatas pada tataran mengelola zakat PNS yang
ada dilingkungan Kota Banda Aceh yang total PNS lebih kurang 9800 orang. Selaku
aparatur Negara apa yang dilakukan oleh BMK selama ini belum menjalankan tugas
yang sesungguhnya diatur dalam Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 3 Tahun
2011.
Untuk
itulah kebijakan Pemerintah Kota Banda Aceh dalam rangka melakukan revitalisasi
peran dan fungsi BMK menjadi penting, sehingga eksistensi lembaga ini
benar-benar dirasakan mamfaatnya oleh warga Kota Banda Aceh. Disamping itupula
momentum pergantian pimpinan BMK di Tahun 2014 mestinya dijadikan starting
point dalam rangka mewujudkan Banda Aceh sebagai model Kota Madani Indonesia.
Add caption |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar