2 Feb 2013

Efektifitas Satpol PP Dan WH Dalam Penerapan Hukum Islam di Aceh

Tradisi diskusi awal bulan bersama Remaja Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh

Oleh : Muhammad Syarif

Prolog
Sejak lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, banyak hal fundamental berkaitan dengan penerapan syariat Islam di Aceh. Dasar hukum pelaksanaan syariat Islam itu sendiri awalnya dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Pelaksanaan syariat Islam tidak secara eksplisit dinyatakan dalam Undang-Undang ini hanya menyatakan bahwa keistimewaan dalam kehidupan beragama diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya,  pengaturan lebih lanjut diserahkan kepada peraturan daerah. Tentu saja karena syariat Islam diataur dengan Perda/Qanun maka normatifnya sangat lemah.
Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, pelaksanaan syariat Islam di Aceh dinyatakan secara eksplisit sekaligus dengan aspek rincinya. Dulu Wilayatul Hisbah hanya bermodalkan keputusan Gubernur dan tunduk di bawah naungan Dinas Syariat Islam, akan tetapi setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun  2006 tentang Pemerintahan Aceh, maka Wilayatul Hisbah (WH) merupakan bagian dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sebagaimana termaktub dalam UUPA Pasal 244 ayat (2). 
Mencermati eksistensi Wilayatul Hisbah pasca penggabungan dengan Satpol PP, maka tentu banyak persoalan yang terjadi. Baik dari problem, tugas pokok dan fungsi, kewenangan maupun kiprahnya sebagai lembaga pengawas syariat Islam yang seharusnya benar-benar eksis dan menjadi panutan di mata masyarakat.
 Akan tetapi fakta di lapangan banyak kasus terjadi pasca penggabungan dengan Satpol PP. sebut saja masalah perkelahian antara personil WH dan Satpol PP, masalah pemerkosaan yang dilakukan oleh oknum Satpol PP dan WH terhadap Siswa di Langsa, Kasus mesum oknum Satpol PP dan WH di Aceh  dan banyak problem lain yang terjadi. 

Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah antara lain:
1.     Apakah keberadaan WH dan Satpol PP sudah sejalan dengan tugas pokok dan fungsinya?
2.    Sejauah mana peran Satpol PP dan WH dalam Penerapan Hukum Islam di Aceh?
3.     Problem apa saja yang terjadi selama ini dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya?.

Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi Tujuan Penulisan makalah ini antara lain:
  1. Untuk memahami Tugas Pokok dan Fungsi Satpol PP menurut Undang-Undang
  2. Untuk memahami Peran Satpol PP dan WH dalam Penerapan Hukum Islam.
  3. Untuk memahami Problem Satpol PP dan WH dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.

PEMBAHASAN
  1. Sejarah Wilayatul Hisbah
Institusi WH sebenarnya bukanlah lembaga baru dalam tradisi negar Islam. Tradisi Hisbah diletakkan langsung pondasinya oleh Rasulullah SAW, beliau lah muhtasib (pejabat yang bertugas melaksanakan hisbah) pertama dalam Islam. Seringkali beliau masuk ke pasar Madinah mengawasi aktifitas jual beli. Suatu ketika Rasulullah mendapati seorang penjual gandum berlaku curang dengan menimbun gandum basah yang kering dan meletakkan gandum kering diatas, beliau memarahi penjual tersebut dan memerintahkan untuk berlaku jujur.
Wilayatul Hisbah adalah lembaga resmi Negara yang dibentuk pemerintah Negara Islam. Tugas utamanya adalah melaksanakan amar ma`ruf nahi mungkar. Istilah wilayah menurut Ibnu Taimiyyah adalah wewenang dan kekuasaan yang dimiliki oleh institusi pemerintah untuk menegakkan jihad, keadilan, hudud, melaksanakan amar makruf nahi mungkar, serta menolong pihak yang teraniaya. Sedangkan Hisbah bermakna pengawasan, pengiraan dan perhitungan. Pelembagaan WH dengan struktur yang lebih sempurna pada masa Umar bin Khatab. Tradisi ini dilanjutnya oleh Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, Turki Usmani sampai akhirnya Aceh pun eksis WH.
  1. Tugas Pokok Satpol PP dan WH menurut Undang-Undang
Pada prinsipnya Satpol PP dan WH adalah dua lembaga yang berbeda dasar hukumnya. Satpol PP diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004. Satuan Polisi Pamong Praja adalah perangkat pemerintah daerah dalam memelihara dan menyelenggarakan ketenteraman dan ketertiban umum serta menegakkan Peraturan Daerah.  Sementara WH menurut Qanun No. 11 Tahun 2004 adalah lembaga pembantu tugas kepolisian yang bertugas membina, melakukan advokasi dan melakukan pengawasah amar makruf nahi mungkar dan dapat berfungsi sebagai Polsus dan PPNS. Jadi jelaslah secara legal formal dua lembaga ini memiliki payung hukum yang berbeda. Akan tetapi sejalan dengan lahirnya UUPA maka dua lembaga yang berbeda ini di gabung menjadi satu sehingga nomenklaturnya menjadi Satpol PP dan WH. Sebagaimana tertuang dalam Qanun Aceh No.5 Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Satpol PP dan WH

  1. Peran WH dan Satpol PP dalam Penerapan Hukum Islam di Aceh.
Aceh merupakan daerah yang mencoba mengaktualisasi kembali keberadaan  WH yang pernah aktif pada masa khulafaur Rasyidin. Di mana WH inilah yang akan mengawasi penerapan Qanun Syariat Islam di bumi Serambi Mekkah ini. 
Awalnya kehadiran WH di Aceh hanya berlandaskan Keputusan Gubernur No.01 Tahun 2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Wilayatul Hisbah yang tunduk di bawah naungan Dinas Syariat Islam, kemudian status lembaga inipun terus di benahi baik dari segi struktur organisasi maupun kewenangan yang dimiliki. 
Sejalan dengan Lahirnya UU No.11 Tahun 2006 maka Eksistensi WH akhirnya digabung dengan Satpol PP, ini dapat dibaca pada  Qanun Aceh No 5 Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas, Lembaga Teknis Daerah dan lembaga Daerah Provinsi Aceh, dengan harapan lembaga ini menjadi “Polisi Khusus” yang berwenang melakukan pengawasan terhadap penerapan syariat Islam.
Dalam Qanun ini disebutkan tugas pokok Satpol PP dan WH adalah memelihara dan menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum, menegakkan qanun, Peraturan Kepala Daerah, keputusan kepala daerah, melakukan sosialisasi, pengawasan, pembinaan, penyidikan dan pembantuan pelaksanaan hukuman dalam lingkup Peraturan Perundang-undangan di bidang Syariat Islam. 
Untuk menyahuti substansi Qanun ini, ada keinginan Gubernur untuk meningkatkan status WH, yang sebelumnya dominan pegawai kontrak, menjadi menjadi Pengawai Negeri Sipil. Langkah tersebut ditempuh oleh Gubernur Aceh, Bapak Abdullah Puteh agar nantinya WH nantinya menjadi PPNS (Pengawai Penyidik Negeri Sipil). Upaya-upaya mencari jati diripun terus dilakukan. Training/pendidikan Penyidikpun terus dilakukan dengan mengirim PNS Satpol PP dan WH agar suatu saat menyadi penyidik, sehingga tugas kepenyidikan tidak lagi dilakukan oleh kepolisian.

  1. Problem WH dan Satpol PP dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya.
Ternyata harapan agar eksistensi lembaga pengawas syariat Islam (WH) pasca penggabungan dengan Satpol PP lebih baik, pupus sudah. Banyak problem yang terjadi. Sebut saja khasus perkelahian antara petugas Satpol dengan WH dihari kelahiran lembaga ini.
Bukan hanya itu kasus menghebohkan pun terjadi yaitu pemerkosaan yang dilakukan oleh oknum Satpol PP dan WH di Kota Langsa terhadap siswa Sekolah, serta bayak kasus lainnya terjadi. Lantas mengapa itu bisa terjadi? Hipotesis sementara penulis antara lain: sistem rekrutmen dua lembaga ini perlu di perbaiki. Disamping itu penulis juga menilai bahwa ‘ghirah” orang-orang yang masuk lembaga ini dikarenakan peluang kerja di tempat lain tidak ada.
Disamping problem di atas juga ada problem lain yaitu masih minimnya petugas WH dan Satpol PP yang menjadi Penyidik, serta lemahnya kewenangan yang dimiliki. Mestinya lembaga ini benar-benar mendapat perhatian khusus dari pemerintah Aceh. Sistem rekruitmen personel lembaga ini juga perlu di desain ulang sehingga harapan masyarakat agar lembaga ini punya wibawa dan kehadirannya benar-benar mendapat tempat dimata rakyat dan Negara. Semoga saja perlu usaha cerdas dan usaha ikhlas kita dalam mereposisikan kembali WH menjadi lembaga yang mandiri.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan :
Kiranya Pemerintah Aceh perlu mendesain sistem rekruitmen dan Diklat teknis terhadap personel Satpol PP dan WH. Disamping itu fungsi dan kewenangannya di perjelas serta tingkat kesejahteraan personel lembaga ini perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah Aceh.

b. Saran-saran
1. Pemerintah perlu mengkaji ulang penggabungan Satpol PP dan WH di Aceh.
2. Sistem Rekruitmen Lembaga ini perlu di benahi, disamping peningkatan SDM Aparatur menjadi proiritas.
3. Sudah saatnya WH dan Satpol PP di jadikan  dua lembaga yang mandiri. Biarkan Satpol PP fokus pada penegakan Qanun non syariat dan WH fokus pada Qanun Syariat Islam.
4. Agar usaha untuk memisahkan Satpol PP dan WH berjalan mulus maka perlu dilakukan revisi atau uji materi terhadap materi pasal 244 ayat (2) pada UUPA yang menyebutkan Gubernur, bupati/walikota dalam menegakkan qanun Syar`iyah dalam pelaksanaan syari`at Islam dapat membentuk unit Polisi Wilayatul Hisbah sebagai bagian dari Satuan Polisi Pramong Praja.

DAFTAR PUSTAKA
1.   Hafas Furqani, Beberapa Catatan Wilayatul Hisbah (Artikel); alumni Fak.Syariah UIN Syarif Hidayatullah
2.       Bardawi, WH dan Pertarungan Syariat (Artikel)
3.    Muhammad Syarif, Eksistensi WH;  Refleksi 4 Tahun Penerapan Syariat Islam di Aceh, Buletin Al-Wa`yu MPU Kota Banda Aceh.
4.       Qanun No.11 Tahun 2002, Qanun No.14 Tahun 2003, Perda No.5 Tahun 2000 dan Qanun No.5 Tahun 2007

Tidak ada komentar: