Oleh : MUHAMMAD SYARIF[1]
A. Latar Belakang Masalah
Plato sampai
Hart dan dari Aritoteles hingga Dworkin,
sampai dengan saat ini belum terdapat jawaban dan definisi yang tepat terhadap
hukum. Menurut Bruggink, Teori hukum adalah merupakan suatu satu
kesatuan dari pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan
sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan
hukum, dan sistem tersebut untuk
sebagian yang telah dipositifkan.
Teori hukum
mempunyai makna ganda yaitu teori hukum sebagai produk dan teori hukum sebagai proses. Teori
hukum dikatakan sebagai produk, sebab rumusan dari pernyataan yang saling
berkaitan yang merupakan hasil kegiatan teoritis bidang hukum. Sedangkan Teori
hukum dapat dikatakan sebagai proses,
karena teori hukum tersebut merupakan kegiatan teoritis tentang hukum yang berkaitan
dengan ruang lingkup penyeledikan teori hukum tersebut.
Menurut Dias, penyelidikan
teori hukum meliputi: faktor-faktor
apakah yang menjadi dasar berlakunya suatu hukum, faktor-faktor apa yang
mendasari kelangsungan berlakunya
suatu peraturan hukum, bagaimana daya berlakunya, dan
dapatkah hukum itu dikembangkan. Sedangkan menurut Otje
Salman dan Anthon F. Susanto, adapun
ruang lingkup teori hukum meliputi: mengapa hukum berlaku?, apa dasar
kekuatan mengikatnya?, apa yang menjadi tujuan hukum?, bagaimana
seharusnya hukum itu dipahami?, apa
hubungan dilakukan oleh hukum?, apakah keadilan itu, bagaimana hukum yang adil.
Sementara itu,
teori hukum, menurut Budiono Kusumohamidjojo, merupakan usaha untuk mendekati atau menerangkan
kompleks hukum sebagai fenomena dengan bertolak dari postulat-postulat atau
premis-premis tertentu, dapat bersifat historis (mazhab Historis) atau
dialektis (mazhab Dialektis), ataupun bertolak dari kenyataan hukum postif
(mazhab Positivis) atau dari ambisi untuk membebaskan hukum dari anasir-anasir
politik dan kekuasaan (mazhab hukum Murni). Antara teori hukum dengan filsafat
hukum sangat berdampingan erat, bahkan adakalanya sangat sulit dibedakan antara
satu dengan lainnya, dan adakalanya juga objek penyelidikan filsafat hukum
adalah juga merupakan objek penyeledikan teori hukum. Dimana tugas teori hukum, menurut Radbruch, adalah
untuk membuat jelas nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar
filsafatnya yang paling dalam.
Aliran-aliran dalam penemuan hukum
Berbicara
mengenai peranan hakim, maka tidak dapat diulepaskan dari pembicaraan hubungan
antara hukum dengan hakim, dalam
mencipta keadilan dan ketertiban 1bagi
masyarakat.Antara Undang-undang dengan Hakim/ pengadilan terdapat hubungan yang
erat dan harmonis antara satu dengan lainnya. Dalam hubungan tugas hakim dan
perundang-undangan terdapat beberapa aliran yang berkaiatan dengan hal tersebut
yaitu:
(1) Aliran
Legis (pandangan Legalisme), menyatakan bahwa hakim
tidak boleh berbuat selain daripada menerapkan undang-undang secara
tegas. Hakim hanya sekedar terompet undang-undang (bouche de la
loi). Menurut ajaran ini, undang-undang dianggap kramat karena
merupakan peraturan yang dikukuhkan Allah sendiri dan sebagai suatu sistem logis yang berlaku bagi semua perkara, karena sifatnya
rasional.Tokoh-tokohnya antara lain John Austin, Hans Kelsen.
(2) Aliran Penemuan Hukum Oleh Hakim.
(a) Aliran
Begriffsjurisprudenz, mengajarkan bahwa sekalipun benar undang-undang itu
tidak lengkap, namun undang-undang masih
dapat menutupi
kekurangan-kekurangannya sendiri, karena undang-undang memiliki daya meluas,
dan hukum sebagai sistem tertutup.
Kekurangan
undang-undang menurut aliran ini hendaknya diisi oleh hakim dengan penggunaan
hukum-hukum logika (silogisme) sebagai dasar utamanya dan memperluas
undang-undang berdasarkan rasio sesuai dengan perkembangan teori hukum berupa
sistem pengertian-pengertian hukum (konsep-konsep yuridik) sebagai tujuan bukan
sebagai sarana, sehingga hakim dapat mewujudkan kepastianhukum.
(b) Aliran
Interessenjurisprudenz (Freirechtsschule), menyatakan hakim dan pejabat
lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk melakukan penemuan hukum, tidak sekedar
menerapkan undang-undang, tetapi juga mencakupi memperluas, mempersempit dan
membentuk peraturan dalam putusan hakim dari tiap-tiap perkara konkrit yang
dihadapkan padanya, agar tercapai keadilan yang setinggi-tingginya, dan dalam
keadaan tertentu hakim bahkan boleh menyimpang dari undang-undang, demi
kemanfaatan masyarakat. Jadi yang diutamakan bukanlah kepastian hukum, karena
peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian
internasional dan doktrin hanyalah sebagai
“pengantar” atau “Pembuka jalan”, “pedoman” dan “bahan inspirasi”
atau sarana bagi hakim untuk
membentuk dan menemukan sendiri hukumnya yang dinyatakan dalam putusannya atas
suatu perkara yang diadilinya dan dihadapkan padanya itu.
(c) Aliran Soziologische Rechtsschule,
mengajarkan bahwa Hakim seyogianya mendasarkan putusannya sesuai dengan dan
memperhatikan kesadaran hukum dan perasaan hukum serta kenyataan-kenyataan
masyarakat, yang sedang hidup di dalam masyarakat ketika putusan itu
dijatuhkan. Tokoh-tokoh aliran ini antara lain Arthur Honderson, J. Valkhor, A
Auburtin dan G.Gurvitch.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar