2 Feb 2013

PERANAN HAKIM DALAM PROSES PENEMUAN HUKUM


Oleh : MUHAMMAD SYARIF[1]

A. Latar Belakang Masalah

Plato sampai Hart dan  dari Aritoteles hingga Dworkin, sampai dengan saat ini belum terdapat jawaban dan definisi yang tepat terhadap hukum. Menurut Bruggink, Teori hukum adalah merupakan  suatu satu    kesatuan dari pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem  konseptual   aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut   untuk sebagian    yang telah dipositifkan.
Teori hukum mempunyai makna ganda yaitu teori hukum sebagai   produk dan teori hukum sebagai proses. Teori hukum dikatakan sebagai produk, sebab rumusan dari pernyataan yang saling berkaitan yang merupakan hasil kegiatan teoritis bidang hukum. Sedangkan Teori hukum dapat  dikatakan sebagai proses, karena teori hukum tersebut merupakan kegiatan teoritis tentang hukum yang berkaitan dengan ruang lingkup penyeledikan teori hukum tersebut.
Menurut Dias, penyelidikan teori hukum meliputi: faktor-faktor   apakah yang menjadi dasar berlakunya suatu hukum, faktor-faktor apa yang mendasari kelangsungan berlakunya   suatu    peraturan   hukum, bagaimana daya berlakunya, dan dapatkah  hukum itu  dikembangkan. Sedangkan menurut Otje Salman  dan Anthon F. Susanto, adapun ruang lingkup teori hukum meliputi: mengapa hukum berlaku?, apa dasar kekuatan    mengikatnya?,    apa yang menjadi tujuan hukum?, bagaimana seharusnya    hukum itu dipahami?, apa hubungan dilakukan oleh hukum?, apakah keadilan itu, bagaimana hukum yang adil.
Sementara itu, teori hukum, menurut Budiono Kusumohamidjojo, merupakan   usaha untuk mendekati atau menerangkan kompleks hukum sebagai fenomena dengan bertolak dari postulat-postulat atau premis-premis tertentu, dapat bersifat historis (mazhab Historis) atau dialektis (mazhab Dialektis), ataupun bertolak dari kenyataan hukum postif (mazhab Positivis) atau dari ambisi untuk membebaskan hukum dari anasir-anasir politik dan kekuasaan (mazhab hukum Murni). Antara teori hukum dengan filsafat hukum sangat berdampingan erat, bahkan adakalanya sangat sulit dibedakan antara satu dengan lainnya, dan adakalanya juga objek penyelidikan filsafat hukum adalah juga merupakan objek penyeledikan teori hukum. Dimana  tugas teori hukum, menurut Radbruch, adalah untuk  membuat  jelas nilai-nilai hukum dan  postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam.
Aliran-aliran dalam penemuan hukum   
Berbicara mengenai peranan hakim, maka tidak dapat diulepaskan dari pembicaraan hubungan antara hukum dengan   hakim, dalam mencipta  keadilan dan ketertiban 1bagi masyarakat.Antara Undang-undang dengan Hakim/ pengadilan terdapat hubungan yang erat dan harmonis antara satu dengan lainnya. Dalam hubungan tugas hakim dan perundang-undangan terdapat beberapa aliran yang berkaiatan dengan hal tersebut yaitu:
(1) Aliran Legis (pandangan Legalisme), menyatakan bahwa hakim  tidak boleh berbuat selain daripada menerapkan undang-undang secara tegas. Hakim hanya sekedar terompet undang-undang (bouche de la loi). Menurut ajaran ini, undang-undang dianggap kramat  karena   merupakan peraturan yang dikukuhkan Allah sendiri dan  sebagai suatu sistem logis yang  berlaku bagi semua perkara, karena sifatnya rasional.Tokoh-tokohnya antara lain John Austin, Hans Kelsen.


(2) Aliran Penemuan Hukum Oleh Hakim.

(a) Aliran Begriffsjurisprudenz, mengajarkan bahwa sekalipun benar undang-undang itu tidak lengkap, namun undang-undang  masih dapat menutupi     kekurangan-kekurangannya sendiri, karena undang-undang memiliki  daya meluas,  dan hukum sebagai sistem tertutup.
Kekurangan undang-undang menurut aliran ini hendaknya diisi oleh hakim dengan penggunaan hukum-hukum logika (silogisme) sebagai dasar utamanya dan memperluas undang-undang berdasarkan rasio sesuai dengan perkembangan teori hukum berupa sistem pengertian-pengertian hukum (konsep-konsep yuridik) sebagai tujuan bukan sebagai sarana, sehingga hakim dapat mewujudkan kepastianhukum.

(b) Aliran Interessenjurisprudenz (Freirechtsschule), menyatakan hakim dan pejabat lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk     melakukan penemuan hukum, tidak sekedar menerapkan undang-undang, tetapi juga mencakupi memperluas, mempersempit dan membentuk peraturan dalam putusan hakim dari tiap-tiap perkara konkrit yang dihadapkan padanya, agar tercapai keadilan yang setinggi-tingginya, dan dalam keadaan tertentu hakim bahkan boleh menyimpang dari undang-undang, demi kemanfaatan masyarakat. Jadi yang diutamakan bukanlah kepastian hukum, karena peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional dan doktrin hanyalah sebagai     “pengantar” atau “Pembuka jalan”, “pedoman” dan “bahan inspirasi” atau     sarana bagi hakim untuk membentuk dan menemukan sendiri hukumnya yang dinyatakan dalam putusannya atas suatu perkara yang diadilinya dan dihadapkan padanya itu.
 (c) Aliran Soziologische Rechtsschule, mengajarkan bahwa Hakim seyogianya mendasarkan putusannya sesuai dengan dan memperhatikan kesadaran hukum dan perasaan hukum serta kenyataan-kenyataan masyarakat, yang sedang hidup di dalam masyarakat ketika putusan itu dijatuhkan. Tokoh-tokoh aliran ini antara lain Arthur Honderson, J. Valkhor, A Auburtin dan G.Gurvitch.


[1]Diskusi awal bulan bersama Aceh Reseach Institute (ARI), 2 Februari 2013

Tidak ada komentar: