Oleh: MUHAMMAD SYARIF,S.HI,M.H
A. Latar Belakang Masalah
Kota Banda Aceh adalah ibu kota
Propinsi Aceh yang mempunyai wilayah administrasi 9 Kecamatan, 70 Desa dan 20
kelurahan[1].
Kota Banda Aceh terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 (Drt) Tahun 1955
tentang Pembentukan Daerah Otomomi/Kota-Kota Besar dalam lingkungan Daerah
Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Tahun 109) dan Peraturan Pemerintah
Nomor 5 Tahun 1983 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II
Banda Aceh (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3247).[2]
Penyelenggaraan Pemerintah Kota Banda
Aceh sesuai dengan urusan wajib dan pilihannya serta sesuai dengan kewenangan
yang diberikan oleh pemerintah pusat, walikota dibantu oleh perangkat daerah
yang terdiri dari[3]:
sekretariat daerah, sekretariat DPRK, dinas daerah, lembaga teknis daerah, Kecamatan dan Kelurahan.
Sekretariat Daerah mempunyai tugas dan kewajiban membatu Walikota dalam
menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan Dinas daerah dan lembaga teknis daerah
sebagai unsur pendukung dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang
bersiafat spesifik.
Undang-Undang No. 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), memberikan
norma umum bagi Kabupaten/Kota untuk menyesuaikan Organisasi
Perangkat Daerah yang sesuai dengan urusan wajib dan pilihan sesuai dengan kewenangannya.
Lebih jauh Penyususnan Organisasi Perangkat Daerah Kota Banda Aceh harus
ditujukan sebagai upaya untuk melaksanakan pemerintahan yang baik, efisien,
efektif, akuntabel dan probesional. Tanpa terpenuhinya prasyarat tersebut di
dalam sebuah organisasi perangkat daerah, Pemerintah Kota Banda Aceh dipastikan
akan sulit bagi masyarakat untuk dapat merasakan pembangunan yang dilaksanakan
di Kota Banda Aceh.
Lebih lanjut Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007
tentang Organisasi Perangkat Daerah, menghendaki dilaksanakan penataan kembali
Organisasi Perangkat Daerah. Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun
2007 ini menetapkan ketentuan sebagai berikut:
(1)
Pembentukan Organisasi
Perangkat Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah dengan berpedoman pada
Peraturan Pemerintah ini.
(2)
Peraturan Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengatur mengenai susunan, kedudukan, tugas pokok dan
fungsi organisasi perangkat daerah
(3)
Rincian tugas, fungsi dan tata
kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dangan Peraturan
Gubernur/ Bupati/ Walikota
Berdasarkan Pasal 2 Peraturan
Pemerintah ini menjadi jelas bahwa Pemerintah Kota Banda Aceh harus melakukan
penyesuaian Kelembagaan Perangkat Daerah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 dimana
pengaturan Organisasi Perangkat Daerah Kota Banda Aceh diatur dengan Qanun Kota
Banda Aceh.
Ada masalah birokrasi yang dihadapi semua
Pemerintah Daerah sehubungan dengan restrukturisasi yang didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007.[4]
Pertama, di dalam aspek kelembagaan
akan terjadi penyempitan struktur kelembagaan. Hal ini akan menimbulkan
beberapa jabatan hilang dan akan dirasakan oleh Pegawai Negeri
Sipil di lingkungan Pemerintah Daerah. Akan tetapi di sisi lain, akan terjadi efisiensi
anggaran. Kedua, adalah belum
melembaganya karakteristik good
governance di dalam pemerintahan daerah, baik dari segi struktur dan kultur
serta nomenklatur program yang mendukungnya. Sampai sekarang penerapan kaidah good governance di pemerintah daerah
masih bersifat sloganistik. Ketiga, yang muncul di bidang kelembagaan, yaitu
dilema terhadap penciutan (likuidasi) lembaga-lembaga daerah. Sebagaimana
diketahui pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu
pendanaan, personil, peralatan, dan pengelolaan.[5]
Bila keempat faktor itu
dikembangkan di daerah, maka biasanya akan menimbulkan kendala
pendanaan. Untuk itu
jalan pintas yang dapat dilakukan adalah dengan melikuidasi
lembaga-lembaga daerah.
Keempat, keberlanjutan pembangunan daerah memerlukan institusi lokal yang mampu
dan berdaya dalam menghadapi tantangan dan perubahannya. Saat ini memang ada
upaya-upaya untuk membentuk institusi baru, tetapi tidak memperhatikan
keberadaan-keberadaan institusi yang mungkin jika ditingkatkan dan
diberdayakan, dapat menjalankan peran baru dan menjawab berbagai tantangan
baru. Institusi-insitusi itu harus mampu mewadahi perubahan di segala aspek :
sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Kelima, adalah permasalahan profesionalisme tidak jalan, sehingga berpengaruh
kepada kelembagaan. Dinamika perkembangan masyarakat sangat cepat, dengan
permasalahan yang semakin multidimensional, menuntut Pemda menangani
permasalahan daerah secara tepat dan profesional. Di samping itu, masih sering
terjadi penempatan pegawai tidak sesuai dengan keahliannya.
Permasalahan
lainnya, adalah meningkatnya kecenderungan untuk merekrut dan mempromosikan
pegawai yang merupakan putera asli daerah, sehingga penerimaan pegawai sering
kali tidak diawali dengan analisis kebutuhan yang rasional, tetapi lebih pada
pertimbangan emosional dan euforia reformasi yang masih banyak dirasakan di
daerah-daerah. Di samping itu ditemukan juga adanya beberapa
pejabat daerah yang
terlibat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,
birokrasi lamban, tidak responsif, tidak transparan, dan sebagainya.
Sementara
itu sekarang ini masih ditemukan berbagai kelemahan birokrasi pemerintahan di
daerah, yaitu :[6]
1. Struktur organisasi dan tata kerja yang
dibuat oleh masing-masing Pemerintah daerah (Pemda) hanya sekadar menampung
personel dalam suatu jabatan struktural. Struktur dan lembaga yang baru dibentuk, baik karena penggabungan maupun
penggantian sering kali hanya dilakukan untuk mengakomodasikan jumlah personel
yang berlebih dan upaya menyiasati anggaran. Pembentukan struktur tidak melalui
pengkajian yang matang sehingga tidak efektif dalam menjalankan tugas dan
fungsinya. Selain itu tidak tersedianya SDM yang terampil dan memiliki
kemampuan di bidang itu menjadi salah satu faktor penyebab ketidakefektifan birokrasi
pemerintah daerah.
2.
Partisipasi rakyat masih
rendah.
3.
Transparansi belum berjalan.
4.
Mekanisme kerja dan pembagian
tugas yang tumpang tindih akan menyulitkan kalangan internal dan masyarakat
dalam berurusan dengan Pemda.
5. Politisasi PNS tetap menggejala.
6. Sistem karier yang tidak jelas membuat
persaingan yang tidak sehat.
Untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, perlu upaya peningkatan kinerja. Peniningkatan kinerja perlu perubahan
terhadap tata organisasi, perampingan organisasi, rasionalisasi personil,
profesionalisme.[7]
Untuk menata organisasi perangkat daerah langkah pertama pemerintah daerah
harus melakukan analisis kelembagaan berdasarkan kebutuhan tentang[8]:
1. Unsur staf apa saja yang dapat diwadahi
dalam sekretariat;
2. Kelembagaan apa saja yang harus diwadahi
dalam bentuk dinas, badan atau kantor.
Ukuran dalam menentukan
besaran organisasi adalah berdasarkan skorsing dengan melihat pada variable jumlah penduduk, luas
wilayah dan jumlah Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).[9]
Sejalan dengan Reformasi Kelembagaan Organisasi Perangkat Daerah tersebut,
Pemerintah Kota Banda Aceh sesuai dengan Qanun Nomor 2 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Perangkat Daerah, memformulasikan 2 Sekretariat, 5 Staf Ahli
Walikota, 12 Dinas Daerah dan 12 Lembaga Teknis Daerah.
B. Identifikasi
Masalah
Berdasarkan ilustrasi diatas maka yang menjadi
identifikasi masalah adalah:
- Apakah Penataan
Perangkat Daerah pada Pemerintah
Kota Banda Aceh sesuai dengan
Peraturan Perundang-undangan?
- Kendala apa
saja yang dihadapi Pemerintah Kota Banda Aceh dalam pelaksanaan
restrukturisasi kelembagaan perangkat daerah?
C. Kerangka Pikir
1. Otonomi Daerah
Susunan Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri
dari dua tingkat, yaitu tingkat pusat dan tingkat daerah. Susunan negara tingkat pusat mencerminkan seluruh
cabang-cabang pemerintahan negara dan fungsi kenegaraan pada umumnya. Di
tingkat daerah terbatas pada susunan penyelenggaraan pemerintahan (eksekutif)
dan unsur-unsur pengaturan (regeleren)
dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan.
Keberadaan susunan
pemerintah daerah (tingkat lebih rendah) merupakan salah satu sendi
ketatanegaraan Republik Indonesia. Hal ini secara eksplisit terlihat dalam
Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 sebagai sumber penyelenggaraan pemerintahan
tingkat lebih rendah.
Pasal 18:
(1) Negara Republik Indonesia di bagi atas
daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,
yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah,
yang diatur dengan undang-undang.
(2) Pemerintah daerah provinsi, daerah
kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan.
(3) Pemerintah daerah menjalan otonomi
seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan
sebagai urusan pemerintah pusat.
(4) Pemerintah daerah berhak menetapkan
peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan
tugas pembantuan.
(5) Susunan dan tatacara penyelenggaraan
pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.
Pasal 18 A
(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan
kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan
dan keragaman daerah.
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum,
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras
berdasarkan undang-undang.
Pasal 18 B
(1) Negara mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa
yang diatur dengan undang-undang.
(2) Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang.
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa Pasal 18 UUD 1945 sebagai landasan yang mendorong
otonomi sebagai bentuk dan cara menyelenggarakan pemerintahan tingkat daerah.
Dalam hal ini The Liang Gie berpendapat bahwa otonomi hanya dapat diwujudkan
melalui desentralisasi yaitu penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah
atau daerah tingkat atasnya kepada daerah (Pemerintah Daerah) menjadi urusan
rumah tangga sendiri.[10]
Desentralisasi tidak lain bertujuan untuk memberikan wewenang, tugas dan
tanggung jawab kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan rumah
tangganya sendiri.
Desentralisasi
menurut Hans Kelsen ádalah salah satu bentuk organisasi negara.[11]
Karena itu pengertian desentralisasi berkaiatan dengan pengertian negara. Negara
menurut Hans Kelsen ádalah tatanan hukum (legal
order). Dengan demikian
desentralisasi itu menyangkut sistem tatanan hukum dalam kaitannya dengan
wilayah negara. Tatanan hukum yang sentralistik menunjukkan ada berbagai kaidah
hukum yang berlaku sah dalam (bagian-bagian) wilayah yang berbeda. Ada kaedah
yang berlaku sah untuk seluruh wilayah negara yang disebut kaedah sentral (central norm), dan ada kaidah yang
berlaku sah dalam bagian-bagian wilayah yang berbeda yang disebut kaidah
desentral atau kaedah lokal (decentral or local norms).[12]
Dalam
perkembangan ketatanegaraan, pemberian otonomi kepada daerah pada umumnya
dikenal 2 (dua) sistem otonomi yang pokok, yaitu:
1.
Sistem
otonomi materiil atau pengertian rumah tangga materiil (materuele huishoudingsbegrip);
2.
Sistem
otonomi formil, atau pengertian rumah tangga formil (formeele huishoudingsbegrip). Di samping itu, ada juga sistem lain yang
merupakan kombinasi antara kedua sistem
itu, yakni:
3.
Sistem
otonomi riil, atau pengertian rumah tangga riil (riele huishoudingsbegrip).[13]
Dalam
sistem otonomi materiil, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ada
pembagian tugas (wewenang dan tanggung jawab) yang eksplisit (diperinci dengan
tegas) dalam undang-undang. Artinya otonomi daerah itu hanya meliputi
tugas-tugas yang telah ditentukan satu per satu, jadi bersifat definitif. Hal
itu berarti pula, apa yang tidak tercntum dalam undang-undang, tidak termasuk
urusan pemerintah daerah otonom, tetapi urusan pemerintah pusat.[14]
Di dalam
pengertian sistem otonomi formil, tidak ada perbedaan sifat antara
urusan-urusan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan oleh daerah-daerah
otonom. Pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab antara pusat dan daerah
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tertentu tidak dibatasi secara
positif atau ditetapkan secara rinci.[15]
Pandangan
yang dipakai dalam sistem ini adalah tidak ada perbedaan sifat antara urusan
yang diselenggarakan pusat dan yang diselenggarakan daerah. Apa saja yang dapat
diselenggarakan oleh pusat pada dasarnya dapat pula diselenggarakan oleh
daerah. Pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab untuk mengatur dan
mengurus suatu urusan pemerintahan semata-mata didasarkan pada keyakinan bahwa
suatu urusan pemerintahan akan lebih baik dan lebih berhasil kalau diurus dan
diatur oleh satuan pemerintah tertentu.[16]
Dalam
sistem otonomi nyata ini penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan kepada
daerah didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan
atau kemampuan yang riil dari daerah maupun pemerintah pusat serta pertumbuhan
masyarakat yang terjadi. Oleh karena itu pemberian tugas dan kewejiban serta
wewenang ini didasarkan pada keadaan yang riil di dalam masyarakat, membawa
konsekuensi bahwa tugas atau urusan yang
selama ini menjadi wewenang pemerintah pusat dapat diserahkan kepada pemerintah
daerah, dengan memperhatikan kemampuan masyarakat daerah untuk mengaturnya dan
mengurusnya sendiri. Sebaliknya, tugas yang telah menjadi kewenangan daerah
pada suatu ketika, bilamana dipandang perlu dapat ditarik kembali oleh
pemerintah pusat.[17]
Di dalam
teori Trias Politica yang terkenal
yang disampaikan oleh John locke dan diteruskan oleh Montesque, Trias Politica adalah anggapan bahwa
kekuasaan Negara terdiri dari tiga macam kekuasaan, pertama kekuasaan
legislative atau kekuasaan membuat undang-undang (dalam peristilahan baru
sering disebut dengan rulemaking)
kedua kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (dalam
peristilahan baru sering disebut dengan rule
application function), ketiga kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili
atas pelanggaran undang-undang (dalam peristilahan baru sering disebut dengan rule adjudication function). Trias Politica adalah suatu prinsip
normative bahwa kekuasaan-kekuasaan (atau function)
ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang fihak yang berkuasa dengan demikian
diharapkan hak-hak azasi warga nergara lebih terjamin.
Pembagian
kekuasaan dapat dibagi dua yaitu pertama
Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya. Maksudnya
pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan, misalnya antara
pemerintah pusat dengan dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan, atau
antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam suatu suatu negara
federal. Kedua Secara horizontal,
yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya, dalam pembagian ini lebih
menitikberatkan pada pembedaan antara fungsi pemerintahan yang bersifat
legislative, eksekuti dan legislatif.[18]
Adanya
pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara menerapkan
prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara
horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki
kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan
oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt,
and absolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu harus
dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang
bersifat ‘checks and balances’ dalam
kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama
lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan ke
dalam beberapa organ yang tersusun secara vertical. Dengan begitu, kekuasaan
tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang
memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.
Menurut D.H. Meuwisen
Hukum Tata Negara (klasik) lazimnya mengenal dua pilar hukum Tata Negara, yaitu
organisasi negara dan warga negara. Dalam organisasi negara diatur bentuk
negara dan sistem pemerintahan termasuk pembangian kekuasaan negara atau alat
kelengkapan negara. Pembagian kekuasaan negara ada dua macam yaitu pembagian
kekuasaan negara secara horizontal dan pembagian kekuasaan negara secara
vertikal. Pembagian kekuasaan secara vertikal dalam negara kesatuan dalam
kepustakaan Hukum Tata Negara lebih dikenal sebagai “desentralisasi territorial”[19]. Desentralisasi
diartikan penyerahan tugas atau kewenangan kepada pemerintah tingkat bawah.
Menurut Carl J. Fedreich,
pembagian kekuasaan secara vertikal atau pembagian kekuasaan secara territorial
(territorial division of power)
adalah pembagian kekuasaan antara beberapa tingkatan pemerintahan dan pembagian
kekuasaan ini dapat dengan jelas jika dibandingkan atara negara kesatuan,
federasi dan konfederasi.[20]
Para Ahli hukum
mengidentifikasikan kedalam tiga macam ajaran dalam konteks otonomi daerah,
ketiga ajaran tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Sistem
Rumah Tangga Formal
Dalam sistem rumah tangga formal, pembagian
wewenang, tugas dan tanggungjawab atara pusat dan daerah untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan tertentu tidak dibatasi secara positif, atau
ditetapkan secara rinci. Pandangan yang dipakai dalam sistem ini adalah tidak
ada perbedaan sifat antara urusan yang diselengarakan Pusat dan yang
diselenggarakan daerah. Apa saja yang dapat diselenggarakan oleh Pusat pada
dasarnya dapat pula diselenggarakan oleh daerah. Pembagian tugas, wewenang dan
tanggungjawab untuk mengatur dan mengurus suatu urusan pemerintahan semata-mata
didasarkan pada keyakinan bahwa suatu urusan pemerintahan akan lebih baik dan
lebih berhasil kalau diurus dan diatur oleh satuan pemerintahan tertentu.
Dalam sistem rumah tangga ini, prinsipnya daerah
dapat mengatur dan mengurus suatu urusan pemerintahan sebagai urusan rumah
tangga sendiri atas dasar kebebasan inisiatif sendiri, meskipun urusan tersebut
belum diserahkan. Bagir manan mengatakan bahwa “isi rumah tangga daerah dalam
sistem rumah tangga formal tidak diberikan tetapi sesuatu yang dibiarkan tumbuh
atau diberi pengakuan.
Hakekat otonomi daerah menurut sistem rumah tangga
formal bukanlah merupakan suatu yang bersifat pemberian, melainkan sesuatu yang
dibiarkan tumbuh secara alami dan diberi pengakuan. Hal ini merupakan indikasi
bahwa otonomi daerah secara kodrati telah melekat dalam diri suatu daerah
sebagai layaknya hak melekat dalam diri manusia untuk melakukan segala sesuatu
yang dianggap penting bagi dirinya.[21]
Sistem rumah tangga formal tidak menutup
kemungkinan adanya isi atau urusan rumah tangga daerah yang berasal dari
pemberian. Hal ini mengingat dalam sistem rumah tangga ini juga mengakui adanya
asas kemamfaatan penyelenggaraan pemerintahan secara umum. Artinya apabila ada
suatu jenis urusan pemerintahan yang oleh pemerintah pusat dianggap layak untuk
diserahkan kepada suatu daearah dengan pertimbangan bahwa urusan tersebut akan
lebih baik atau bermamfaat bila diurus oleh daerah yang bersangkutan, maka
urusan pemerintah tersebut diserahkan atau diberikan kepada daearah untuk
diatur sebagai urusan rumah tangga sendiri. Dalam hal ini Suganda mengatakan
bahwa : Wewenang yang diserahkan kepada daerah tidaklah diperinci satu persatu
melainkan menunggu apa yang telah diatur oleh Pusat untuk menjadi wewenang pusat, itulah lapangan
wewenang daerah dalam hal ini daerah hanya mendapat sisanya dari urusan-urusan
pemerintahan. Daerah tidak boleh mengatur apa yang telah diatur dan diurus oleh
Pusat, cara ini sering disebut dengan tiori sis atau Residutheorie.[22]
Titik berat
perkiraaan di dalam sistem rumah tangga formal adalah pertimbangan daya guna
dan hasil guna merupakan titik perhatian untuk menentukan pembagian tugas,
wewenang dan tanggungjawab. Sistem rumah tangga formal menghendaki adanya
kesejajaran kedudukan antara Pusat dengan daerah. Daerah bukanlah merupakan
organ bawahan dari Pemerintah Pusat melainkan sebagai mitra dalam
penyelenggaraan pemerintahan pada umumnya.
b. Sistem
Rumah Tangga Materiil.
Sistem rumah tangga materiil memuat secara rinci
tentang pembagian wewenang, tugas dan tanggungjawab antara Pusat dan Daerah
ditetapkan secara pasti dan jelas, sehingga daerah punya pedoman yang jelas. Sistem
Rumah Tangga materiil berpangkal pada pemikiran bahwa ada perbedaan mendasar antara
urusan pemerintah pusat dan daerah. Daerah dianggap mempunyai ruang lingkup
urusan pemerintahan tersendiri yang secara material berbeda dengan urusan
pemerintahan yang diatur dan diurus oleh Pusat.
Sistem ini didasarkan pada pemikiran bahwa
urusan-urusan pemerintahan itu dapat dipilah-pilah dalam berbagai lingkungan
satuan pemerintahan. Sistem rumah tangga materiil ini dalam literatur Belanda
dikenal dengan ajaran tiga lingkungan (de
driekringeleer).[23].
Disebut tiga ajaran lingkungan karena sesuai dengan susunan satuan organisasi
pemerintahan Belanda yang terdiri dari Pemerintah Pusat, Provinsi dan Gemeente.
Suatu negara hanya mempunyai dua susunan satuan
organisasi pemerintahan (pusat dan hanya satu satuan daerah otonom) tentu tidak
tepat disebut ajaran tiga lingkungan. Esensinya urusan pemerintahan tidaklah
terletak pada dua atau tiga susunan satuan organisasi pemerintahan, melainkan
bahwa urusan pemerintahan itu dapat dipilah-pilah secara mendasar satu sama
lain.
Seluruh urusan pemerintahan pada suatu negara
dianggap sebagai urusan pemerintah Pusat, tentunya Daerah hanya bersifat
sebagai organ pelaksana dari urusan-urusan Pemerintah Pusat tersebut.
Sebaliknya apabila ada sebagian dari urusan pemerintahan tersebut secara
kodrati dapat dikatagorikan sebagai urusan pemerintahan Daerah, maka sudah
sepantasnya urusan tersebut diserahkan kepada Daerah untuk menjadi urusan rumah
tangga sendiri.
Hakekat Otonomi daerah dalam sistem rumah tangga
materiil, bukan merupakan sesuatu yang tumbuh dan berkembang secara alami,
melainkan hasil penyerahan dari Pemerintah Pusat kepada daerah, melalui
peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada sifat dan kodrat urusan
pemerintahan yang bersangkutan.
Dalam hal ini Daan Sugandha mengatakan bahwa:
“Pemberian Otonomi materiil, Pemerntah Pusat menentukan secara terperinci
wewenang yang diserahkan. Wewenang ini ditetapkan dalam Undang-Undang
desentralisasi maupun dalam Undang-undang pembentukan suatu daerah menjadi
Daerah Otonom. Daerah-daerah kemudian hanya berhak melaksanakan kekuasaan yang
telah disebut satu persatu, sedangkan wewenang lainnya yang ada diluar itu akan
tetap menjadi wewenang Pusat sampai waktunya dapat pula diserahkan kepada
Daerah”.
Bagir Manan mengatakan bahwa” semua urusan rumah
tangga daerah berasal dari penyerahan (overdragen) urusan atau sebagian urusan
pemerintahan pusat atau dari suatu daerah tingkat lebih atas. Dengan kata lain,
suatu daerah hanya mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerah kalau
urusan itu diserahkan kepada daerah yang bersangkutan.
c. Sistem
Rumah Tangga Riil
Istilah sistem rumah tangga riil (nyata) dapat
dijumpai dalam penjelasan undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah serta Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
Nomor XXI/MPRS/1966 yang menambah dengan kata-kata seluas-luasnya.[24]
Sistem teori rumah tangga riil ini merupakan jalan
tengah, antara sistem rumah tangga formal dan materiil. Di dalam sistem ini
penyerahan urusan kepada daerah di dasarkan kepada keadaan dan faktor-faktor
yang riil. Menurut Bagir Manan sistem
rumah tangga riil ini lebih mengutamakan asas formalnya. Dalam sistem rumah
tangga formal terkandung gagasan untuk mewujudkan prinsip kebebasan dan
kemandirian bagi daerah, sedangkan sistem rumah tangga materiil akan merangsang
timbulnya ketidak puasan daerah dan spanning hubungan antara pusat dan daerah.[25]
Lebih lanjut Bagir Manan mengemukakan ciri-ciri
khas sistem rumah tangga riil yang membedakan sistem rumah tangga formal dan
meteriil yaitu: Pertama, adanya urusan
pangkal yang ditetapkan pada saat pembentukan suatu daerah otonom, memberikan
kepastian mengenai urusan rumah tangga daerah. Hal semacam ini tidak mungkin
terjadi pada sistem rumah tangga formal. Kedua, disamping urusan-urusan rumah
tangga yang ditetapkan secara” material”. Daerah-daerah dalam sistem rumah
tangga nyata, dapat mengatur dan mengurus pula urusan pemerintahan yang menurut
pertimbangan adalah penting bagi daerahnya sepanjang belum diatur dan diurus
oleh Pusat dan Daerah tingkat lebih atas. Ketiga, Otonomi dalam rumah tangga
nyata didasarkan pada faktor-faktor nyata suatu daerah. Hal ini memungkinkan
perbedaan isi dan jenis urusan-urusan rumah tangga daerah sesuai dengan keadaan
masing-masing.
D. Penataan Kelembagaan Perangkat Daerah Kota
Banda Aceh
Sebagaimana amanah
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sebagai pedoman
Pemerintahan Daerah dalam melaksanakan prinsip Otonomi Khusus di Aceh termasuk
di Kota Banda Aceh, daerah dapat menata perangkat daerah sesuai dengan kekhususan.[26]
Untuk itulah menjadi penting dalam penataan Kelembagaan di Kota Banda Aceh
mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Lebih lanjut Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 mengharuskan Pemerintah Kota Banda Aceh untuk menyesuaikan
Organisasi Perangkat Daerah sesuai dengan urusan wajib dan pilihan sesuai
dengan kewenangannya.
Penyusunan
Organisasi Perangkat Daerah Kota Banda Aceh harus ditujukan sebagai upaya untuk
melaksanakan pemerintahan yang baik, efisien, efektif, akuntabel dan
profesional[27]. Tanpa terpenuhinya
prasyarat tersebut didalam sebuah organisasi perangkat daerah, maka dapat
dipastikan pemerintah kota Banda Aceh sulit memberikan pelayanan maksimal bagi
masyarakat. Dalam pelaksanaan penataan kelembagaan perangkat daerah Pemerintah
pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun
2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah sebagai pedoman bagi daerah untuk menata kelembagaan perangkat daerah.
Dalam penyelenggaraan organisasi
perangkat Daerah sebagaimana diatur pada PP Nomor 41 Tahun 2007 harus
berdasarkan pertimbangan adanya urusan pemerintah yang perlu ditangani.[28] Penanganan urusan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak harus dibentuk ke dalam organisasi tersendiri.[29]
Dalam hal beberapa urusan yang ditangani oleh satu perangkat daerah, maka
penggabungannya sesuai dengan perumpunan urusan pemerintahan yang dikelompokkan
dalam bentuk dinas dan lembaga teknis daerah.[30]
Perumpunan urusan yang diwadahi dalam bentuk dinas terdiri dari[31]:
a.
bidang
pendidikan, pemuda dan olah raga;
b.
bidang
kesehatan;
c.
bidang
sosial, tenaga kerja dan transmigrasi;
d.
bidang
perhubungan, komunikasi dan informatika;
e.
bidang
kependudukan dan pencatatan sipil;
f.
bidang
kebudayaan dan pariwisata;
g.
bidang
pekerjaan umum meliputi bina marga, pengairan, cipta karya dan tata ruang;
h.
bidang
perekonomian yang meliputi koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah,
industri dan perdagangan;
i.
bidang
pelayanan pertanahan;
j.
bidang
pertanian yang meliputi tanaman pangan, peternakan, perikanan darat, kelautan
dan perikanan, perkebunan dan kehutanan;
k.
bidang
pertambangan dan energi; dan
l.
bidang
pendapatan, pengelolaan keuangan dan aset.
Sementara
perumpunan urusan yang diwadahi dalam bentuk badan, kantor, Inspektorat dan
rumah sakit terdiri dari:[32]
a.
bidang
perencanaan pembangunan dan statistik;
b.
bidang
penelitian dan pengembangan;
c.
bidang
kesatuan bangsa, politik dan perlindungan masyarakat;
d.
bidang
lingkungan hidup;
e.
bidang
ketahanan pangan;
f.
bidang
penanaman modal;
g.
bidang
perpustakaan, arsip dan dokumentasi;
h.
bidang
pemberdayaan masyarakat dan pemerintah desa;
i.
bidang
pemberdayaan perempuan dan keluarga berencana;
j.
bidang
kepegawaian, pendidikan dan pelatihan;
k.
bidang
pengawasan;
l.
bidang
pelayanan kesehatan.
Perangkat
Daerah yang dibentuk untuk melaksanakan urusan pilihan, berdasarkan
pertimbangan adanya urusan yang secara nyata ada sesuai dengan kondisi,
kekhasan dan potensi unggulan daerah.[33] Untuk merespon terhadap tuntutan penyelenggaraan pemerintah di Daerah ini
telah dilakukan berbagai langkah-langkah penataan kelembagaan oleh Pemerintah Kota
Banda Aceh dengan ditetapakannya Qanun Nomor. 2 Tahun. 2008 .
Untuk menyelenggarakan pemerintahan
di Kota Banda Aceh telah dikeluarkan Qanun Nomor 2 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi
dan Tata Kerja Perangkat Daerah Pemerintah Kota Banda Aceh. Sekretariat Daerah
adalah unsur pembantu pimpinan pemerintah daerah. Sekretariat Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah adalah Sekretariat DPRD adalah unsur pelayanan DPRD. Dinas adalah
unsur pelaksana pemerintah daerah. Lembaga teknis daerah adalah unsur pelaksana
tugas tertentu yang karena sifatnya tidak tercakup oleh sekretariat daerah dan
dinas. Kecamatan adalah wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah kabupaten.
Pasal 2 Qanun No. 2 Tahun 2008 menentukan bahwa organisasi perangkat daerah
yang dibentuk dengan Qanun ini terdiri dari :
1.
Sekretariat Daerah;
2.
Sekretariat Dewan Perwakilan
Rakyat Kota;
3.
Dinas Pendidikan, Pemuda dan
Olah Raga;
4.
Dinas Kesehatan;
5.
Dinas Pekerjaan Umum;
6.
Dinas
Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika;
7.
Dinas
Sosial dan Tenaga Kerja;
8.
Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil;
9.
Dinas Perindustrian,
Perdagangan, Koperasi dan Usaha Kecil Menengah;
10.
Dinas
Kelautan, Perikanan dan Pertanian;
11.
Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata;
12.
Dinas
Kebersihan dan Keindahan Kota;
13.
Dinas Pengelolaan Keuangan dan
Aset Daerah;
14.
Dinas Syariat Islam;
15.
Inspektorat;
16.
Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah;
17.
Badan Kepegawaian, Pendidikan
dan Pelatihan;
18.
Badan Pemberdayaan
Masyarakat ;
19.
Badan
Kesatuan Bangsa, Politik, Perlindungan Masyarakat dan Penanggulangan Bencana;
20.
Kantor
Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu;
21.
Kantor Pemberdayaan Perempuan
dan Keluarga Berencana;
22.
Kantor Perpustakaan dan Arsip;
23.
Kantor Pemadam Kebakaran;
24.
Kantor Lingkungan Hidup;
25.
Satuan Polisi Pamong Praja dan
Wilayatul Hisbah;
26.
Rumah Sakit Umum Daerah
Meuraxa; dan
27.
Kecamatan-Kecamatan
Disamping itupula,
dengan lahirnya Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
maka pemerintah Kota Banda Aceh melakukan kajian dengan mengakomudirnya Qanun
Nomor 3 Tahun 2011 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan
Penanggulangan Bencana Daerah, tentu konsekwensi dengan lahirnya Qanun ini
menyebabkan hilangnya beberapa SKPD hilang seperti Kantor Pemadam Kebakaran dan
beberapa bidang pada Badan Kesbangpollinmas dan Penanggulangan Bencana.
Tentu ada
konsekwensi terhadap penerapan Qanun No. 2 Tahun 2008 dan Qanun No.3
Tahun 2011 tersebut
berkurangnya Jabatan Eselonering dari 767 Jabatan Struktural menjadi 573
Jabatan Struktural.[34]
Pemerintah Kota Banda Aceh menambah atau mengurangi dinas daerah dan lembaga
teknis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Mencermati hal
diatas, tentunya menurut kajian Yuridis Penataan Kelembagaan Organisasi
Perangkat Daerah di Kota Banda Aceh belum mengacu seutuhnya pada Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006, hal ini disebabkan Pemerintah Pusat memaksakan daerah
untuk menata kelembagaan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2006[35],
sementara PP Nomor 41 Tahun 2007 merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004.
Aceh dengan
kekhususannya sebagai daerah otonomi khusus mestinya diberikan keleluasan
menata kelembagaan perangkat daerah. Hal ini sejalah dengan prinsip dasar
otonomi khusus. Residue Power ada pada daerah, bukan pada pemerintahan pusat.
Dalam kontek ini pula penulis cenderung untuk mengunakan pendekatan teori rumah
tangga riil. Dalam sistem rumah tangga riil urusan rumah tangga daerah
didasarkan pada keadaan yang nyata bagi daerah untuk melakukan pengelolaan
pemerintahanya sesuai dengan karakteristik daerah.
Mestinya Pemerintah
Pusat harus konsisten dalam menjalankan prinsip otonomi khusus, kalau tidak
maka penerarapan otonomi khusus di Aceh terkesan hanya kamuplase. Pendek kata Pemerintah Daerah diberi
wewenang yang lebih luas untuk melakukan perubahan sistem birokrasi di Daerah. Hal ini menambah kepercayaan diri bagi Pemerintah Kota Banda Aceh untuk
meningkatkan daya kreasi dan produktivitas kerja para anggota birokrat kota .
Restrukturisasi terhadap kelembagaan
perangkat daerah menjadi kerharusan untuk dilakukan oleh pemerintah daerah,
karena jika tidak dilakukan maka konsekwesninya pejabat struktural tidak bisa
naik pangkat. Profesionalisme
dalam menjalankan tugas dan fungsi organisasi dalam lingkungan pemerintah Kota
Banda Aceh juga terus ditingkatkan. Hal ini dilakukan agar tugas keorganisasian
dapat dilaksanakan sebagaimana yang diharapkan[36].
Profesionalisme aparatur pemerintahan kota saat ini menjadi hal yang sangat
mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah guna penyelenggaraan
pemerintahan, pembangunan dan tugas pelayanan kepada masyarakat.
Profesionalisme adalah kecocokan (fitness) antara kemampuan yang
dimiliki oleh seorang PNS dengan kebutuhan tugas (task requirement).
Profesionalisme ini diwujudkan dengan kemampuan untuk merencanakan,
mengkoordinasikan, dan melaksanakan fungsinya secara efisien, inovatif, lentur,
dan mempunyai etos kerja tinggi.[37]
Profesionalisme merupakan cermin dari kemampuan, yaitu memiliki
pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), bisa melakukan (ability)
ditunjang dengan pengalaman (experience) yang tidak mungkin muncul
tiba-tiba tanpa Peningkatan profesionalisme PNS Kota Banda Aceh dari sisi internal
berarti kemampuan untuk meningkatkan kinerja pelayanan kepada masyarakat secara
efisien dan efektif. Sedangkan dari sisi eksternal adanya akuntabilitas dan
responsibilitas. Akuntabilitas di sini berkaitan dengan pelaksanaan kerja yang
transparan, khususnya mengenai keuangan yang digunakan, sedangkan
responsibilitas berkaitan dengan tanggung jawab dalam melaksanakan beban kerja
yang menjadi tugas dan kewajibannya.
E. Kendala-Kendala yang dihadapi oleh Pemerintah Kota Banda
Aceh dalam Pelaksanaan Restrukturisasi Kelembagaan Organisasi Perangkat Daerah.
Berangkat dari makna dasar desentralisasi dan otonomi adalah wewenang
untuk mengatur dan mengurus urusan sendiri pemerintahan sebagai urusan rumah
tangga sendiri. Hal ini sejalan dengan prinsip otonomi khusus sebagai mana
termaktub dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006.
Otonomi Daerah merupakan revitalisasi dan pemberdayaan daerah agar
kemampuan dalam merumuskan kebijakan dan mengambil keputusan secara lebih
tepat, cepat dan sesuai dengan kebutuhan daerah, sehingga pelayanan dapat
diberikan secara prima kepada masyarakat. Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2006 dengan sangat jelas menyebutkan:
(1)
Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota berwenang mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan
pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah.
(2)
Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar
negeri, pertahanan, keamana, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan urusan
tertentu di bidang agama.
Dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) diungkapkan bahwa yang dimaksud dengan
urusan pemerintahan yang bersifat nasional dalam ketentuan ini termasuk
kebijakan di bidang perencanaan nasional, kebijakan di bidang pengendalian
pembangunan nasional, perimbangan keuangan, administrasi negara, lembaga
perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, teknologi
tinggi yang strategis, serta konservasi dan standarisasi nasional.
Penerapan implementasi otonomi daerah, salah satu aspek yang cukup
strategis adalah aspek kelembagaan perangkat daerah. Kelembagaan perangkat
daerah berdasarkan Pasal 100 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, menyebutkan bahwa Perangkat Daerah Kabupaten/Kota terdiri
dari Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRK, Dinas Kabupaten/Kota, Lembaga Teknis
Kabupaten/Kota dan Kecamatan.
Oleh karena itu, dalam penataan kelembagaan Perangkat Daerah khusunya di
Aceh termasuk Kota Banda Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik
Indonesi harus diberi Pedoman Khusus terkait Penataan Kelembagaan. Ini menjadi
penting karena secara teknis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tidak ada Juknis
khusus terkait Penataan Kelembagaan Perangkat Daerah.
Penataan Kelembagaan sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, pemerintah
Kota Banda Aceh mengalami kendala, dimana secara teknis operasional Permendagri
No.57 Tahun 2007 tentang Petunjuk teknis Penataan Organisasi Perangka Daerah
yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 adalah
turunan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dan ini tidak sejalah denga semangat filosofis dan
historis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006.
Di sisi yang lain Pemerintah Kota Banda Aceh termasuk Provinsi tidak
berani mengambil sikap yang tegas, hal ini disebabkan Peraturan Pemerintah
Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah akan memberikan sanksi
administratif kepegawaian bagi daerah yang tidak sesuai dengan PP Nomor 41
Tahun 2007 dalam menata kelembagaan perangkat daerah. Adapun sanksi yang
diberikan berupa tidak mengakui Eselonoring dan tidak mempores kenaikan pangkat
pejabat struktural. Ini sama halnya bahwa Pemerintah Pusat Inkonsistenan dalam
menerapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006.
Problem inilah
yang mengharuskan pemerintah Kota Banda Aceh suka- tidak suka harus mengacu
pada PP Nomor 41 Tahun 2007. Kalau tidak maka akan banyak korban birokratisasi,
dimana Pejabat akan terbentur dengan kepangkatan serta tunjangan jabatan tidak
dibayar oleh negara. Apa lagi PP Nomor 41 Tahun 2007 memberikan batas waktu
pelaksanaan penataan kelembagaan perangkat daerah satu tahun pasca pengesahan
PP Nomor 41 Tahun 2007. Untuk menghindari sanksi inilah pemerintah di daerah
termasuk Kota Banda Aceh dengan sangat terpaksa harus mempedomani PP Nomor 41
Tahun 2007 sebagai Pedoman Pelaksanaan dalam Penataan Kelembagaan Perangkat
Daerah.
F. Kesimpulan
1.
Penataan Kelembagaan Perangka Daerah Kota Banda Aceh
sebagaimana tertuang Dalam Qanun Nomor 2 Tahun 2008 dan Qanun Nomor 3
Tahun 2011 belum mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 hal ini
disebabkan, Pemerintah Kota Banda Aceh tidak berani ambil resiko, makanya dalam
penataan Kelembagaan tetap mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun
2007 tentang Pedoman Organisasi Perangkat.
2.
Kendala dalam
Penataan Kelembagaan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang
Organisasi Perangkat Daerah serta Peraturam Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun
2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah belum
sepenuhnya memberikan keleluasan bagi daerah untuk menata kelembagaan, hal ini
disebabkan daerah menjadi dilematis yang pada akhirnya tetap mengacu pada
regulasi yang ada.
[1]Laporan Akuntabiltas Kinerja Instansi Pemerintah
Kota Banda Aceh Tahun 2010,
hal
4-5.
[3]Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah dan Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh
[4]Sarundajang, Birokrasi dalam Otonomi Daerah dan Upaya Mengatasi Kegagalannya,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2003, hal. 138-139.
[5]Tata Rustadinata, Miss Otonomi Daerah Perlu Dikoreksi, www.mimbar-opini.com, diakses 20 Maret 2012.
[7]Deputi Bidang Kelembagaan Men.PAN, Kebijakan Penataan Organiasi Perangkat
Daerah dalam Rangka Mengelola Pemerintah Yang Baik (Disampaikan pada Acara
Lokakarya Penataan Organisasi Perangkat Daerah Kota Banda Aceh, 14 Juli 2005, hal.3
[8]Joni Dawud, Rasionalisasi
Penataan Kelembagaan Pemerintah, Pusat Kajian dan Pelatitah Aparatur,
Jurnal Volume.1 Maret 2007, hal.26
[9]Pasal 19, UU No.41 Tahun 2007. berdasarkan
Hasil Kajian Akademik SOTK Pemerintah Kota Banda Aceh Tahun 2008 dengan Skor
67.
[10]The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintah Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid
III, Liberty, Yogyakarta, 1995, hal.113.
[11]Faisal A. Rani, Penataan Organisasi Perangkat Daerah dalam Rangka Peningkatan Pelayanan
Publik (Disajikan pada Seminar dalam
rangka Penataan Kembali Struktur Organisasi Perangkat Daerah Kota Banda Aceh,
Universitas Syiah Kuala, 2005, hal.4
[13] Krishna D.Darumurti dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah, Perkembangan Pemikiran,
Pengaturan dan Pelaksanaan, Cet. Ke-II, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,
hal.19.
[15] Bagir Manan, Op. Cit. hal. 76.
[16] Husni Jalil, Eksistensi Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dalam
Negara Kesatuan RI Berdasarkan UUD 1945, CV.Utomo, Bandung,
2005, hal.89.
[17]
Krishna D.Darumurti dan Umbu Rauta, Op.
Cit. hal.22.
[18] Anton Pratono, Teori Pembagian Kekuasaan, www.google, donwload 5 Mei 2010
[22]Daan Suganda, Organisasi
dan Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia serta Pemerintahan di Daerah,
Sinar Baru, Bandung, 1986.hal.92
[23]Husni Jalil, Eksistensi Otonomi Khusus Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam Dalam Negara Kesatuan RI berdasarkan UUD 1945, CV:
Utomo, Bandung, 2005, hal.93
[24]Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara, Pusat Studi
Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesiam Jakarta, 1988, hal.255
[25]Bagir Manan, Hubungan
Antara Pusat dan Daerah Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1994, hal.17
[28]Pasal 22 ayat (1) PP No. 41 Tahun 2007
[34] Herry, S.STP,M.Si (Kasubbag
Anforjab pada Bagian Organisasi Setda
Kota Banda Aceh, Wawancara 13 Maret
2012
[35] Bapak Muschlis, SH dan Ibu Nurbaity, M.H
(Kabag.Hukum dan Kasubbag Perudang-Undangan pada Bagian Hukum Setda Kota Banda
Aceh), Wawancara 14 Maret 2012
[36] M. Natsir Ilyas (Kepala BKPP Kota Banda
Aceh), Wawancara 16 Maret 2012. Lebih lanjut pemerintah kota banda
aceh melalui BKPP terus melakukan
langkah-langkah strategis seperti program bantuan belajar bagi aparatur yang
berprestasi, kaderisasi kepempimpinan (seperti bimtek/diklat teknis dan
fungsional yang dikelola oleh Banda Aceh Akademik (BAA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar