Aceh
daerah yang berjulukan serambi mekah, akhir-akhir ini dinodai oleh kaum
misionaris. Pasca Tsunami ribuan juta mata tertuju pada Aceh. Aksi bantuan kemanusiaan
yang diberikan oleh Organisasi Dunia baik yang berbasis Islam maupun non Islam,
ternyata memiliki dampak psikologi yang besar. Awal-awalnya memang rakyat Aceh
tidak menaruh kecurigaan kepada Kalangan Non Muslim terutama dalam aksi
kemanusiaan, akan tetapi lama-kelamaan tercium juga. Bayak fakta ditemukan ada
misi tertentu dibalik program kemanusian.
Kita
patut bersyukur bahwa masih ada Ormas Islam yang risau terhadap Aksi
Misionaris, Sebut saja Front Pembela Islam Aceh (FPI Aceh), Perhimpunan Ulama
Dayah (HUDA), Ikatan Siswa Kader Dakwah (ISKADA), Remaja Masjid Raya
Baiturraham Banda Aceh, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI Cabang Banda Aceh),
Komite Penguatan Aqidah dan Peningkatan Amalan Islam (KPA-PAI), Forum
Masyarakat Penduli Kota (FMPK).
Masyarakat perlu memberikan apresiasi kepada
Pemerintah Kota Banda Aceh yang sangat berani melakukan penutupan 16 rumah
ibadah yang tidak memilik Izin. Tindakan tersebut dinilai oleh sebagaian umat
muslim di Aceh adalah tindakan yang mulia dan ini sejalan dengan prinsip
demokrasi. Dimana dalam setiap aktifitas apapun harus patuh pada rambu-rambu
yang telah disepakati bersama. Terkait pendirian Rumah Ibadah ada aturan SKB
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama. Dalam Surat Keputusan Bersama (SKB)
Menteri Dalam Nergeri (Mendagri) dan Menteri Agama (Menag) Nomor 8-9 Tahun 2006,
dan diperkuat dengan Peraturan Gubernur Nomor 25 tahun 2007 tentang pendirian
rumah ibadah di Aceh yang yang dijadikan sandaran hukum Undang-undang 44 Tahun
1999 tentang Keistimewaan Aceh dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh. Dua Undang-Undang ini menjadi Lex specialis dalam rangka pemberlakuan hukum Islam/Agama di Aceh.
Lebih
lanjut Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman
Pendirian Rumah Ibadah.
Sebuah rumah ibadah
dapat memperoleh ijin jika mendapat persetujuan dari 120 orang warga sekitar
dengan jumlah jemaat lebih dari 150 orang, mendapat pengesahan dari lurah, dan
ada surat rekomendasi dari kantor Kementerian Agama setempat.
13
lembaga yang tergabung dalam keanggotaaan Pengawasan Aliran Kepercayaan
Masyarakat (PAKEM) yakni, dari unsur Pemerintah Kota Banda Aceh, Kejaksaan
(kajati dan Kajari Kota Banda Aceh), Kepolisian (Polda dan Polresta Banda
Aceh), TNI (Kodan dan Kodim BS), Kementerian Agama (Provinsi dan Kota), MPU
(Aceh dan Banda Aceh) dan lainnya menyepakati kebikajan penutupan aktivitas
ibadah pada rumah-rumah ibadah Illegal (Gereja dan Vihara) yang dirasakan sudah
menggangu ketentraman warga. Hal ini terungkap saat pertemuan ke 13 lembaga
tersebut pada rapat koordinasi, di ruang rapat Wakil Walikota Banda Aceh.
Sekda
Kota Banda Aceh, Drs. T. Saifuddin TA, M.Si saat memimpin rapat mengatakan,
persolan operasional rumah ibadah illegal dirasakan sudah sangat meresahkan
warga kota, terutama warga yang tinggal di sekitar tempat ibadah Illiegal
tersebut. “Mereka memanfaatkan toko-toko tempat usaha sebagai lokasi rumah
ibadah, dan terkesan sembunyi-sembunyi karena berkedok kursus-kursus seperti
Les-les mata pelajaran. Kebanyakan dari mereka menggunakan lantai III toko”
papar Sekda.
Dikatakannya
lagi, Keputusan rapat PAKEM ini diyakini bisa menjawab keinginan mayoritas
masyarakat kota yang merasa terganggu dengan aktifitas Illegal tersebut. Bahkan
Lanjut Sekda, FPI (Front Pembela Islam) beberapa waktu yang lalu berdemo di
Balikota juga menginginkan persoalan ini bisa di atasi sesegera mungkin guna
menghindari aksi massa yang dikhawatirkan akan menggangu harmonisasi kerukunan
ummat beragama yang selama ini dirasakan sangat baik di Banda Aceh. “Pada
dasarnya kita di Aceh sangat toleran terhadap pemeluk agama lain. Kita akan
panggil pengelola rumah ibadah illegal maslaha ini secara bersama, rencananya
akan kita panggil Senin nanti dan juga akan dihadiri Wakil Walikota” ujar
Sekda.
Adalah
sangat keliru dan ngawur jika kita membaca statmen politisi senayan: Pemerintah Pusat tidak boleh membiarkan
permasalahan penutupan gereja
dan vihara
di Banda Aceh,
Nanggroe Aceh
Darussalam. "Kasus itu pintu masuk disintegrasi bangsa. Ini upaya
sistematis untuk terjadinya disintegrasi bangsa. Kalau itu terjadi, pemerintah
pusat sangat bertanggung jawab," kata Lily Wahid, politisi Partai Kebangkitan
Bangsa di Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta (24/10).
Pernyataan
Lily Wahid mengundang reaksi banyak pihak di Aceh. Inilah contoh prilaku
politisi yang tidak memahami persoalan Aceh. Cetus syarif. Sejak kemerdekaan
hingga sekarang masyarakat Aceh sangat toleransi terhadap antar umat beragama.
Bahkan Gereja dan Vihara terletak dipusat Kota. Bukankah ini bentuk dari toleransi
antar umat beragama. Mana ada di dunia ini yang penduduk minoritas di
dilindungi oleh Negara selain di Aceh?
Pernyataan
Sang Politisi senayan juga mendapat kritikan dari Wakil Walikota Banda Aceh. "Tindakan
kita murni untuk bertujuan melindungi kaum minoritas agar dapat lebih nyaman
dan tenang dalam beribadah," katan Wakil Walikota kepada Bisnis Aceh Kamis,
25 Oktober 2012. Lebih lanjut Illiza sangat menyesalkan pernyataan-pernyataan
yang dikeluarkan oleh para politisi senayan yang menuding Pemko bertindak
diskriminatif terhadap pemeluk agama minoritas di Banda Aceh."Yang kita
tutup itu bukan gereja, bukan vihara, melainkan bangunan yang dijadikan rumah
ibadah dan vihara, catat itu baik-baik," tegasnya. Menurutnya, bangunan
yang selama ini dijadikan vihara dan gereja oleh pemeluk agama minoritas di
Banda Aceh tidak sesuai dengan aturan dan ketentuan yang ada dalam hal
pendirian rumah ibadah.
Bangunan
yang mereka dirikan itu tidak sesuai dengan SKB 2 Menteri dan juga Pergub
tentang pendirian rumah ibadah," cetus Illiza. Sehingga, lanjutnya
penutupan bangunan yang dijadikan rumah ibadah itu justru untuk melindungi
pemeluk minoritas dari anarkisme masyarakat. "Justru tindakan ini untuk
melindungi, dan yang kita tutup itu bangunan yang dijadikan rumah ibadah, Pemko
tidak ada menutup rumah ibadah yang legal dan sesuai ketentuan".
Oleh karenanya, kita berharap kepada para
politisi senayan untuk tidak mengeluarkan statement yang jusru akan membuat
situasi kenyamanan dan ketertiban toleransi ummat beragama di Banda Aceh justru
terusik. Sebaiknya para politisi senayan dan penggiat HAM itu datang ke Aceh,
melihat sendiri situasi disini, jangan hanya baca koran dan kemudian
mengeluarkan statmen yang sifatnya ngawur.
*Penulis
adalah Divisi Hukum & Pemerintahan Aceh Research Institute (ARI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar