28 Jun 2011

Kekuatan Mengikat Putusan MK


Oleh Muchamad Ali Safa’at

Mahkamah Konstitusi (MK) yang dibentuk sejak tahun 2003 telah mewarnai perkembangan hukum dan ketatanegaraan di Indonesia. Putusan-putusan MK mengejutkan banyak pihak dan mendorong kehidupan berbangsa dan bernegara lebih dinamis.
Salah satu putusan yang mendapat perhatian publik adalah putusan yang membatalkan Pasal 214 UU 10 Tahun 2008 baik dari sisi substansi maupun dari sisi kekuatan hukum. Salah satunya adalah tulisan Ramlan Surbakti dengan tajuk “Perlu Perpu Atur Suara Terbanyak” (Kompas, 11/02/2009) yang menjadi rujukan bagi KPU yang mengemukakan alternatif memberlakukan Pasal 214 jika tidak ada Perpu yang mengaturnya.

Tulisan ini tidak hendak membahas perlu tidaknya Putusan MK itu diatur lebih lanjut dengan Perpu, tetapi akan membahas dasar argumentasi bahwa Putusan MK baru mengikat jika sudah ada peraturan, baik perubahan UU maupun Perpu, yang memperbaiki ketentuan yang telah dibatalkan oleh MK. Terkait dengan putusan suara terbanyak, dinyatakan bahwa KPU baru terikat melaksanakan putusan MK jika putusan itu sudah menjadi bagian dari undang-undang. Argumentasi yang dikemukakan hendak menunjukkan bahwa kedudukan Putusan MK tidak sama dengan UU. Suatu UU yang berlaku mengikat adalah hasil dari proses politik oleh lembaga yang dipilih oleh rakyat.
Masalah mendasar dari tulisan Ramlan Surbakti adalah tidak membedakan antara persoalan kekuatan mengikat putusan MK dan pelaksanaannya.

Untuk menentukan produk suatu lembaga negara adalah produk hukum yang mengikat tidak semata-mata ditentukan oleh logika politik keterwakilan. Yang mengikat sebagai norma hukum tidak harus selalu lahir dari proses politik. Yang lebih menentukan adalah apakah produk itu memang ditempatkan sebagai hukum yang mengikat menurut ketentuan yang lebih tinggi dan dibuat sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku. Untuk mengetahui apa saja produk hukum dalam sistem hukum nasional, tentu saja rujukannya adalah UUD 1945 sebagai hukum tertinggi.
 
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Putusan MK bersifat final. Hal itu berarti Putusan MK telah memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam persidangan MK. Putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap memilki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan.
Berbeda dengan putusan pengadilan biasa yang hanya mengikat para pihak, Putusan MK dalam perkara pengujian UU mengikat semua komponen bangsa, baik penyelenggara negara maupun warga negara. Dalam perkara pengujian UU, yang diuji adalah norma UU yang bersifat abstrak dan mengikat umum. Walaupun dasar permohonan pengujian adalah adanya hak konstitusional pemohon yang dirugikan, namun sesungguhnya tindakan tersebut adalah mewakili kepentingan hukum seluruh masyarakat, yaitu tegaknya konstitusi.
 
Kedudukan pembentuk UU, DPR dan Presiden, bukan sebagai tergugat atau termohon yang harus bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan. Pembentuk UU hanya sebagai pihak terkait yang memberikan keterangan tentang latar belakang dan maksud dari ketentuan UU yang dimohonkan. Hal itu dimaksudkan agar ketentuan yang diuji tidak ditafsirkan menurut pandangan pemohon atau MK saja, tetapi juga menurut pembentuk UU, sehingga diperoleh keyakinan hukum apakah bertentangan atau tidak dengan konstitusi.
 
Oleh karena itu yang terikat melaksanakan Putusan MK tidak hanya dan tidak harus selalu pembentuk UU, tetapi semua pihak yang terkait dengan ketentuan yang diputus oleh MK. Dalam Putusan suara terbanyak, tidak hanya KPU ataupun pemerintah dan DPR yang terikat oleh Putusan MK, tetapi juga partai politik peserta Pemilu sejak putusan itu dibacakan.

Karena putusan MK mengikat umum, pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan UU yang telah diputus MK harus melaksanakan putusan itu. Namun demikian, mengingat norma dalam UU adalah satu kesatuan sistem ada pelaksanaan putusan yang harus melalui tahapan-tahapan tertentu, bergantung pada substansi putusan. Ada putusan yang dapat dilaksanakan langsung tanpa harus dibuat peraturan baru atau perubahan, ada pula yang memerlukan pengaturan lebih lanjut terlebih dahulu.
 
Putusan yang langsung dapat dilaksanakan adalah putusan membatalkan norma tertentu yang tidak menganggu sistem norma yang ada dan tidak memerlukan pengaturan lebih lanjut. Misalnya, putusan yang mengembalikan hak pilih mantan anggota PKI dengan membatalkan ketentuan Pasal 60 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2003. Sejak putusan itu diucapkan, yaitu tanggal 24 Februari 2004, hak pilih mantan anggota PKI telah dipulihkan.
 
Putusan lain yang langsung dapat dilaksanakan adalah Putusan MK yang membatalkan pasal-pasal tentang penghinaan Presiden dalam KUHP, yaitu Pasal 134, 136 bis, dan 137. Sejak putusan ini diucapkan dalam sidang MK tidak seorang pun dapat dipidana berdasarkan pasal-pasal itu. Kepolisian tidak dapat menjadikan pasal-pasal itu sebagai dasar penyelidikan dan penyidikan. Demikian pula penuntutan oleh kejaksaan. Putusan MK berlaku serta merta, meskipun belum ada perubahan terhadap KUHP.
 
Di sisi lain, terdapat putusan yang untuk pelaksanaannya membutuhkan aturan lebih lanjut, yaitu putusan membatalkan suatu norma yang mempengaruhi norma-norma lain, atau untuk melaksanakannya diperlukan aturan yang lebih operasional. Putusan MK mengenai calon perseorangan dalam Pemilukada dan putusan mengenai suara terbanyak adalah contoh jenis putusan ini.
 
Namun demikian, belum adanya peraturan yang menindaklanjuti putusan MK tidak mengurangi kekuatan mengikat yang telah melekat sejak dibacakan. Setiap pihak yang terkait harus melaksanakan putusan itu. Apabila ada peraturan yang dilaksanakan ternyata bertentangan dengan putusan MK, maka yang menjadi dasar hukum adalah putusan MK.
 
Mekanisme itu sama halnya dengan pembentukan UU baru. Suatu UU mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak diundangkan. Namun demikian ada ketentuan yang dapat langsung dilaksanakan, tetapi ada pula yang memerlukan peraturan pelaksana. Apabila aturan pelaksana belum dibuat atau disesuaikan, hal itu tidak mengurangi sifat mengikat UU itu sendiri. Bahkan, dalam setiap ketentuan penutup UU selalu menyatakan bahwa semua peraturan pelaksana tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU itu sendiri.

Sebagai akhiran perlu ditegaskan bahwa memang untuk melaksanakan putusan MK terkait “suara terbanyak” sebaiknya dibuat pengaturan lebih lanjut. Namun hal itu bukan karena putusan MK belum memiliki kekuatan mengikat, tetapi karena kompleksitas persoalan dalam pelaksanaanya. Pengaturan lebih lanjut tentu sebaiknya dilakukan dengan peraturan setingkat, yaitu perubahan UU atau Perpu. Tetapi, kalaupun peraturan itu tidak dibuat, KPU tetap terikat melaksanakan putusan MK. Tiada cara lain kecuali dengan membuat Peraturan KPU.
 
Kemungkinan pengujian Peraturan KPU tentu saja ada dan merupakan wewenang MA untuk memutus. Sebagai satu kesatuan sistem hukum, MA tentu saja akan menjadikan putusan MK sebagai dasar dalam memeriksa dan memutus perkara, karena Peraturan yang diuji memang dibuat untuk menindaklanjuti putusan MK. Hakim tentu paham benar kedudukan putusan MK sebagai negative legislation. Hal itu telah terbukti dengan dikabulkannya gugatan 4 partai politik oleh PTUN berdasarkan putusan MK yang membatalkan Pasal 316 huruf d UU Nomor 10 Tahun 2008.

Tidak ada komentar: