“Sesungguhnya Allah akan menambahkan Rezkinya mana kala manusia senantiasa tuhduk dan patuh atas perintah-Nya, akan tetapi Allah sangat murka bila hambanya (manusia) melupakan perintah-Nya.”
“Dan sesungguhnya kami telah mengutuskan Rasul pada tiap-tiap umat untuk menyerukan sembahlah Allah saja, dan jauhilah thagut itu maka diantara umat-umat itu ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula diantaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan para Rasul-Nya” (QS.16:36).
Pelaksanaan syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam kesannya tidak begitu berdampak pada sebagian besar masyarakat di daerah yang berjulukan “Serambi Mekkah”. Lihat saja Pasca Tsunami manusia bukan malah sadar akan tetapi justru makin menyimpang dari nilai-nila syar`i. Budaya korupsi masih melekat pada sanubari insan yang mengaku muslim, budaya westernisasi bagian dari urat nadi sebagian besar generasi muda-mudi, Pergelaran Senipun rasanya tidak lagi mencerminkan budaya keislaman. Lihat saja musik yang diputar di cape-cape, Restoran pada umumnya lebih banyak musik cengeng, cinta birahi dan musik heleng yang membuat pencinta musik geleng-geleng kepala. Bukan hanya itu CD Porno dan Film forno di Hand Phone sangat mudah di akses oleh anak-anak terpelajar (mulai dari SMP sampai kalangan Perguruan Tinggi) Yang paling menyedihkan kalangan kakek- nenekpun ikut menyamperin budaya itu. Anek bin ajaib tapi berbungkus nyata kata pujangga. Makanya tidak heran kalau ada nenek atau pun Ayah kandung yang tega memperkosa anaknya sendiri. Masya Allah itu lah prilaku manusia sekarang ini.
Hampir saban hari Dinas Syariat Islam melalui Satpol PP dan WH Kota Banda Aceh memproses pelanggaran Qanun Syariat Islam, terutama kasus khalwat.
Ketika manusia memainkan hukum (ketetuan) Allah, maka Allah tidak akan segan-segan memberikan Azab-Nya. Allah tidak pernah ingkar janji. Gempa dan Gelombang Tsunami serta banjir bandang yang melanda masyarakat Aceh baru-baru ini (meliputi Aceh Timur, Aceh Utara, Biruen dan Tamiang) merupakan bukti bahwa Allah sudah “muak dan bosan” melihat tingkah laku manusia. Bahasa syar`inya: “Allah murka dengan hambanya yang kufur akan nikmat yang telah Ia berikan”. bukan hanya itu, hampir di seluruh Nusantara Allah memberikan tanda-tanda akan kemurkaan-Nya bagi hambanya, namun sungguh disayangkan sebagian manusia hatinya tidak sadar, malah menjadi-jadi. Disadari atau tidak perbuatan kita sudah jauh dari perintah Allah
Ya Allah, ya Tuhan kami cukuplah azabmu Engkau perlihatkan kepada kami. Bukalah pintu hati saudara kami, agar ia kembali kepangkuan Ilahi. Berilah Hidayahmu agar manusia kembali mengingat-Mu. Kami yakin bahwa jika Engkau menghendaki seluruh anak negeri ini senantiasa mengingat akan kebesaran dan kemuliaan-Mu, pasti itu akan terjadi. Namun Engkau (Allah) punya maksud tertentu. Sehingga esensi syurga dan Neraka, para Malaikat pencatat amal baik dan amal jahat senantiasa berfungsi.
Esensi Penciptaan Manusia
Allah berfirman (QS. 51:56-58) yang artinya: “Dan Aku tidak menciptkan jin dan manusia melainkan mereka menyembahku. Aku tidak menghendaki rizki dari mereka sedikitpun dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan, sesungguhnya Allah dialah kekuatan yang sangat kokoh.
Rasulullah, Muhammad SAW di utus dipermukaan bumi inipun untuk membawa misi Risalah akan keagungan dan kebesaran Ilahi.
Merujuk dari firman Allah, semestinya manusia tahu diri akan hakikat penciptaan manusia. Bukan menjadi malah sebaliknya. Mari kita runut sejenak bagaimana Allah menenggelamkan kaum Nabi Nuh manakalah menduakan Tuhannya dan menjadikan patung-patung sembahan untuk dipuja dan di dewakan, sehingga Allah murka sehingga menenggelamkan negeri, yang menyebabkan banyaknya korban manusia.
Manakala Allah murka, bukan hanya berguguran orang-orang yang zhalim dan kufur nikmat Allah saja yang kena imbasnya, namun juga orang-orang `alim (Ulama/ cendikiawan muslim) juga bagian dari korban atas murkanya Allah SWT. Semestinya manusia sadar. Banjir di Aceh Tamiang, Aceh Utara, Aceh Timur dan Bireun yang menelan korban nyawa dan kerugian material lainnya merupakan bagian dari kemurkaan Allah. Lagi-lagi Rakyat Aceh belum sadar.
Aceh Masa lalu
Sejarah terukir indah, keberadaan masyarakat Aceh telah memperlihatkan bahwa kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia berhasil menata kehidupan yang unik dan berkeseimbangan, dimana hukum Islam bagian dari urat nadinya kebudayaan Aceh.
Adat Aceh yang ditampilkan pada waktu itu sejalan dengan hukum Islam. Hal ini sesuai dengan Hadih Maja; “Hukum ngon adat lagee zat, ngon sefeut”. Artinya Hukum adat dengan Hukum Islam tidak dapat di pisahkan, laksana Ikan tidak dapat dipisahkan dengan Air.
Saya melihat tatanan hukum yang pernah lestari di Tanah Rencong Insya Allah bisa di lestarikan kembali pasca Memorandum Understanding ( M o U) Pemerintah RI-GAM yang di tanda tangani pada 15 Agustus 2004 di Helsinky, Fillandia.
Dengan landasan hukum dan dan nilai sejarah itu maka lembaga Adat disetiap derah khususnya di Prov. Nanggroe Aceh Darussalam merupakan primadona di negeri ini dan merupakan khazanan kekayaan budaya Indonesia. Di samping itu nilai adat juga merupakan sebuah jati diri masyarakat, yang tidak mungkin dihindari dari keberadaanya disebabkan adat merupakan identitas dan manifestasi wujudnya roh suatu masyarakat yang harus dipelihara eksistensinya. Lebih lanjut ungkap Prof. DR. Syahrizal, MA (Guru besar ilmu Hukum Islam IAIN Ar-Raniry) : Masyarakat Aceh adalah sebagian dari pendukung kebudayaan Indonesia dalam perjalanannya mempunyai ciri tersendiri yang telah tumbuh dan berkembang sejak berapa abad yang lalu dan di perkirakan sejak Abad ke -13 dan puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (kurang lebih 17 Abad).
Dalam perjalanannya kebudayaan Aceh mengalami pasang surut yang tajam akibat kolonisasi Belanda dan perpecahan dari masyarakat Aceh sendiri (Ismail Suni, 1985 :131). Namun setelah Indonesia merdeka, kebudayaan Aceh kembali mencari identitasnya sendiri dan berhadapan pula dengan kebudayaan nasional yang menampakkan wajah baru yang telah diwarnai oleh kebudayaan dunia. Disinilah kebudayaan Aceh mengalami “dilema” yang belum terpecahkan. Artinnya apakah kebudayaan Aceh masih seperti dulu atau mengikuti pola baru yang sedang dirisaukan sekarang ini dimana masyarakat Aceh sedang dipengaruhi oleh unsure-unsur kebudayaan global.
Dalam perjalanan konflik yang berkepanjangan yang sudah kita rasakan bertahun-tahun, tanpa disadari adakalanya unsure-unsur budaya yang dapat mengkonsensuskan (mencari jalan tengah) sebagai salah satu alternative pemecahan belum terpikirkan sama sekali walaupun keputusan yang diambil itu sebagai suatu pemecahan semata. Sebagai sample adanya temua barang-barang yang berlebelkan symbol-simbol agama atau budaya dalam bantuan kemanusiaan. Menurut hemat saya kesimpulan sementara bantuan silakan diambil namun buang jauh-jauh simbol agama. "Bek sempat di paso ie lam punggoeng dek oreung laen". (Jangan sempat kita dimasukkan air dalam punggung oleh orang lain). Ingat Waspadalah dari segala praktek kemanusiaan dan bantuan. Dan jangan latat dan gegabah dalam mengambil kesimpulan. Jika yang baik silakan ambil.
Khatimah
Dari ilustrasi di atas mari kita kembali kepada ajaran yang dibawa oleh Muhammad SAW, yakni senantiasa mengambil rujukan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Bukankan Islam ajaran yang sesuai dengan Fitrahmanusia. Mengapa kita menjauhi dari ajaran yang dibawa oleh Rasulullah. Insya Allah Aceh kembali seperti masa Sultan Iskandar muda mana kala Rakyatnya kembali pada Rabbnya. Semoga Pasca Ibadah Puasa 1430 H impian untuk mewujudkan masyarakat Aceh yang bermartabat, menjunjung tinggi pemberlakuan syariat Islam dan kita kita juga berharap kepada Bapak Gubernur, Bupati dan Walikota agar senatiasa Istiqmah dalam menjalankan amanah rakyat dan menegakkan hukum Allah di Tanah Rencong ini. Malu rasanya jika masih ada pejabat dilingkungan Pemerinta Aceh satu persatu di masukkan ke penjara karena kesalahannya alias korupsi. Hari gini masih korupsi! eh gimana negeri syari`at. Wallahu a`lam bishawab
Penulis adalah Dosen Fak. Syariah IAIN Ar-Raniry & Ketua Remaja Masjid Raya Baiturrahman B. Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar