Oleh : Muhammad Syarif
Barangkali tidak berlebihan kalau ada ungkapan harapan adalah awal dari segalanya, karena sepertinya memang hidup dan kehidupan ini dibangun di atas sebuah harapan. Tumpukan catatan harapan yang tersusun menjadi cita-cita dan impian tentang hari esok yang lebih baik. Dari sinilah kemudian sesungguhnya peradaban itu dimulai. Dari segumpal harap yang tumbuh dan berkembang menjadi impian dan kemudian melahirkan berbagai bentuk bangunan peradaban yang menjadikan hidup lebih hidup.
Dengan demikian, peradaban manusia seperti yang kita lihat saat ini tidak pernah ada, kalau manusia itu sendiri tidak pernah memiliki harapan. Kita tak kan pernah bertemu dengan kemajuan sains dan teknologi yang begitu mengagumkan seperti sekarang, misalnya, andai manusia tak berani membuat impian tentu hidup ini akan hampa. Dalam konteks ini wajar kalau ada yang mengatakan bahwa kita harus berani bermimpi, karena hidup seringkali bermula dari sebuah impian.
Kiranya Mimpi Mawardy- Illiza untuk mewujudkan Bandar Wisata Islami Indonesia patut kita respon dengan baik.
Adalah suatu hal yang tak bisa dibantah bahwa harapan adalah sumber energi kehidupan yang karenanya hidup itu bisa bergerak dan berproduksi. Kalau tidak, maka insan penghuni kolong langit ini, tak lebih dari 'mayat hidup', manusia yang secara fisik masih bisa bergerak, namun ruhnya tak lagi bisa menggerakkan kehidupan. Mereka yang tak lagi mampu berharap dalam hidupnya adalah mereka yang kemudian tak mampu memahami hakekat dan memainkan peran kehidupannya sebagai manusia secara utuh.
Dalam banyak penggalan kehidupan, barangkali cukup sering kita bisa merasakan betapa dahsyatnya kekuatan harapan ini. Betapa kita pernah merasakan bahwa ada energi yang mengalir deras dalam diri kita tatkala kita sudah mampu membangun harapan. Sebaliknya, betapa kemudian kita berubah menjadi seorang yang tak berdaya, ketika kita tergoda untuk membunuh dan mengubur harapan itu dalam hidup kita.
Harapan untuk mengecap pendidikan tinggi telah membawa saya ke banyak jalan untuk menggapainya. Terlahir dari keluarga yang sederhana tidak membuat saya takut untuk menggapai impian ”saya harus kuliah”. Saya bisa kalau saya mau dan saya mampu mebahagiakan kedua orang tuan. Demikian keyakinan saya. Sampai akhirnya dengan bayak cara, Allah permudah jalan saya menjadi sarjana pertama di keluarga.
Alhamdulillah
Bagi seorang ayah, harapan untuk membangun masa depan keluarga yang lebih baik adalah sumber energi luar biasa untuk bertahan dan sabar dalam malakoni peran sebagai seorang ayah yang kadang tak mudah. Karena harapan inilah, seorang ayah (dan juga ibu) tak peduli dinginnya suasana malam, teriknya panas mentari atau lebatnya guyuran hujan saat mereka mencari nafkah demi anak-anak mereka tercinta. Demi sebuah penghidupan yang lebih baik. Demi menggapai sebuah harapan yang sudah ditanam. Energi seperti inilah kemudian yang bisa membuat seorang bapak/ibu mampu menikmati rasa capek setelah bekerja seharian.
Bangunan Harapan Seorang Muslim
Pada skala makro, akan ada banyak sekali variable yang menjadi titik pemicu seorang anak manusia dalam membangun harapan itu. Titik-titik itu bisa bersifat material (seperti keinginan untuk memiliki harta yang banyak dan keinginan untuk berkuasa) dan juga bersifat non-material (seperti harapan untuk membahagian seseorang yang dicintai).
Pertanyaannya, sebagai seorang muslim, apa seharusnya yang menjadi motivator utama bagi kita tatkala mulai membangun harapan itu? Jawabannya barangkali bisa kita lihat dari banyak kisah para sahabat dalam perjalanan sejarah Islam. Kalau kita teliti sirah rasul dan para sahabat dalam mendakwahkan Islam, misalnya, tak ragu kita untuk menyimpulkan bahwa harapan untuk mendapatkan ridho Allah lah yang membuat mereka menjadi seseorang yang begitu tegar mengarungi jalan dakwah yang seringkali menanjak dan berliku. Karena harapan inilah, misalnya Nabi Nuh as tak pernah berhenti menyeru ummatnya untuk menyembah Allah siang dan malam selama 950 tahun, sekalipun hanya berapa orang saja yang mau menerima seruan yang beliau sampaikan.
Karena harapan ini jugalah seorang Mushab bin Ummair tak gentar membuka ladang dakwah untuk pertama kali di kota Yastrib sendirian. Ya sendirian. Karena ini jugalah seorang Handzalah bin Abu Amir tanpa ragu meninggalkan kenikmatan malam pertama dengan isterinya tercinta dan kemudian memilih menjawab panggilan jihad yang diserukan Rasulullah SAW. Dan juga karena ini, seorang Sayid Qutb masih mampu tersenyum ikhlas penuh kemenangan pada detik-detik maut akan menjemputnya di tiang gantungan demi mempertahankan keyakinannya untuk tidak berdamai dengan penguasa yang zalim.
Akan kita temui ada begitu banyak kisah heroik dan mengagumkan dalam siroh para rasul dan sahabat ini. Kisah-kisah yang sekilas seakan utopis dan seperti hanya ada di negeri dongeng, namun kita yakin cerita tentang mereka adalah nyata adanya. Mereka adalah pelaku nyata kisah-kisah heroik dalam sejarah peradaban Islam itu. Apa yang membuat mereka menjadi tokoh-tokoh yang melegenda itu? Sekali lagi, jawabannya adalah karena mereka telah mampu membangun harapan (baca: mencari keridhaan Allah SWT).
Pendeknya, membangun harapan sepertinya adalah suatu hal yang perlu kita lakukan secara sadar dan terencana. Karena hidup hanya sekali, maka penting bagi kita untuk menulis naskah (harapan) kehidupan kita. Baik harapan sebagai seorang individu, seorang pemimpin, sebagai anggota masyarakat, sebagai kepala keluarga, sebagai warga negara, sebagai bagian dari kaum muslimin, dan tentu sebagai seorang hamba Allah SWT. Karena pentingnya harapan ini dalam semua dimensi kehidupan kita, wajar kalau Allah SWT mengaitkan harapan ini dengan keimanan, yaitu ketika Allah mengharamkan hambaNya berputus asa dengan nikmat Allah (QS. 39:53).
Tentu seorang pemimpin yang bijak, maka akan selalu memikirkan sesuatu yang terbaik buat masyarakatnya. Segala keputusan yang akan di lakukan mestinya tidak menzhalimi orang lain. Tutur bahasanya santun, tidak berfikir patah alias hanya bisa menyalahkan bawahan tanpa mau mengkaji lebih dalam lagi, apa yang sebenarnya terjadi.
Di awal tahun baru ini, adalah saat yang tepat bagi kita untuk kembali menata ulang bangunan harapan itu. Secara umum tentu kita harus berharap bahwa hari ini harus lebih baik dari kemaren, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Kita harus berani menatap masa depan kita dengan kepala tegak dan wajah penuh optimisme, sekalipun pada saat yang sama, kita dan bangsa besar kita masih belum juga keluar dari perangkap berbagai permasalahannya. Sekali lagi, kita harus yakin bahwa ‘badai pasti berlalu’, kalau kita semua bergerak secara sungguh-sungguh untuk menghalau badai itu.
Namun demikian, tentu perlu juga diingat bahwa keputusan Allah lah yang berlaku di atas semua harapan itu. Keyakinan seperti ini juga penting, agar kita tidak terjebak menjadi seseorang yang kecewa berat tatkala harapan kita tak sesuai dengan kenyataan. Tak kala hasil yang kita peroleh tak seindah rencana bangunan harapan kita. Oleh karenanya, kita mesti menutup ungkapan harapan kita dengan kata-kata ‘semoga’ atau ‘mudah-mudahan’. Kita hanya bisa berencana (dan berusaha), pada akhirnya keputusan Allahlah yang berlaku. Selamat Tahun Baru 2011, Semoga Wajah Kota Banda Aceh akan terus berbenah seiring dengan megahnya gedung Balaikota yang merupakan karya seorang arsitektur anak negeri Bapak Ir.Mawardy Nurdin, M.Eg.Sc. Sejatinya Gedung Megah Balaikota nantinya menjadi pusat kajian, peradaban, kesenian tradisional budaya, sejarah dan Birokrasi di Aceh, Why not?. Harapan Mewujudkan Bandar Wisata Islami Indonesia, sebagai mana impian Mawardy-Illiza, Semoga saja harapan itu bisa terwujud dan mendapat ridha Allah SWT, Amin.
* Penulis adalah Direktur Aceh Research Institute Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar