Oleh:
Muhammad Syarif*
Sering
kali kita ambigu mencermati beberapa istilah dalam pembuatan kontrak. Diantaranya
“perikatan, perjanjian dan kontrak” dalam hukum istilah tersbut bisa sama dan
bisa berbeda. Menurut Prof. Subekti, “perikatan” adalah hubungan hukum yaitu
hak si berpiutang terhadap kewajiban si berhutang dijamin oleh hukum, dan
apabila tuntutan itu dipenuhi secara sukarela oleh si berhutang maka si
berpiutang dapat menuntut didepan hakim. Perjanjian diatur dalam pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata),. Yaitu suatu perbuatan yang mana salah satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Pejanjian itu sah mana
kala telah ditandangani para pihak.
Sementara
kontrak secara bahasa berasal dari bahasa inggris ”contract” mengandung makna perbuatan hukum yang saling mengikat
para pihak kedalam suatu hubungan hukum, perikatan. Istilah kontrak lebih
sering digunakan dalam praktek bisnis. Adapun perikatan sebagaimana di jelaskan
oleh Prof. Subekti adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak
berdasarkan pihak mana berhak menuntut suatu hal dari pihak lain sementara
pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan hal tersebut. Pihak yang berhak
menuntut dinamakan “krediitur” atau si berpiutang. Sedangkang pihak yang berkewajiban
memenuhi tuntutan dinamakan “debitur” atau siberhutang.
Dalam
pasal 1233 KUHPerdata mengenai
perikatan dijelaskan” tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan
maupun karena undang-undang. Ini bermakna
bahwa undang-undang menegaskan bahwa perikatan itu bisa terjadi karena
perjanjian atau karena perintah undang-undang. Terkait dengan perikatan terjadi
dengan perjanjian/kontrak, maka harus merujuk pada pasal 1320 KUH Perdata dimana ada dua syarat sahnya kontrak yaitu Syarat Subjektif dan Syarat Objektif
Syarat
Subjektif ini, menjelaskan bahwa syarat-syarat mengenai orang atau subjek yang
mengadakan kontrak yaitu (1) kata sepakat dan (2) cakap melakukan perbuatan
hukum. Kata sepakat bermakna tidak ada unsur “paksaan”, “kekhilafan” dan “penipuan”.
Suatu kontrak yang dibuat karena tekanan psikis dan ancaman fisik ataun karenan
kelalain mengenai orang dan barang atau karena tipu muslihat, sehingga membuat
pihak lain terpaksa menyetujui dan menandatangani kontrak yang sebenarnya, maka
kontrak yang dibuat menjadi tidak sah
Cakap
melakukan perbuatan hukum bermakna mampu melakukan perbuatan yang berakibat
hukum karena dianggap memahami konsekuensinya. Terkait dengan hal ini Pasal
1330 KUHPerdata memberikan batasan terhadao mereka yang tidak cakap dalam
membuat kontrak sebagai berikut:
1. Orang
yang belum dewasa yaitu belum berumur 21 tahun bagi laki-laki dan belum 19
tahun bagi perempuan. Orang yang belum dewasa semua perbuatan hukumnya diwakili
oleh orang tua atau walinya. Jika orang belum dewasa tersebut telah menikah
maka dianggap telah dewasa.
2. Orang-orang
yang ditaruh dibawah pengampuan karena gila atau hilang ingatan. Orang yang
berada dibawah pengampuan maka seluruh perbuatan hukumnya diwakili oleh
pengampunya.
3. Perempuan
dalam hal-hal yang telah ditentukan oleh undang-undang. Misalnya penjual harta
bersama dalam perkawinan yang dilakukan oleh istri harus mendapat persetujuan
suami
4. Orang-orang
yang memperbolehkan atau melarangnya untuk melakukan perbuatan hukum. Misalnya menurut
undang-undang Perseroan Terbatas (PT_ yang dapat mewakili perbuatan hukum PT
adalah direksi, sehingga selain direksi tidak boleh mewakili perbuatan hukum
PT, kecuali ada pemberian kuasa.
Sementara
Syarat Objektif mengenai isi kontrak itu sendiri, yaitu objek perbuatan hukum
yang akan dilakukan yaitu: (1) suatu hal tertentu dan (2) sebab yang halal.
Suatu
hal tertentu berarti objek perjanjiannya “terang dan jelas”, dapat
didefinisikan baik jenis maupun jumlahnya dalam bahasa kontrak lazim dikenal
spesifikasi barang. Sementara sebab yang halal bermakna objek yang
diperjanjikan bukanlah objek yang terlarang namun sesuatu yang diperbolehkan.
Dalam pasal 1335 KUHPerdata menyebutkan, perbuatan yang tidak halal meliputi
perbuatan melanggar hukum, berlawanan dengan kesusilaan dan melanggar
ketertiban umum. Misalnya kontrak jual beli narkoba, penjual video porno atau
kontrak jasa provokator untuk mengadakan kerusuhan. Tidak terpenuhinya salah
satu syarat subjektif dan objektif menyebabkan kontrak menjadi tidak sah. Bila syarat
objektif tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum (nul and void). Untuk mendaliminya dapat
membaca Buku III KUHPerdata yang berjudul “perihal perikatan” (van Verbintenissen). Dapat disimpulkan
bahwa sumber hukum perikatan/kontrak ada dua yaitu karenan perjanjian dan
karena Undang-Undang.
Kita
padahi dulu ya bro!
Ikuti
terus ulasan-ulasan lainnya di portal Bung Syarif. Edisi Kedua kita ulas
mengenai membuat draf kontrak, penandatangan serta urgensi materai dalam
dokumen kontrak. Ingat dimasa pandemi covid-19 ini, cara terbaik adalah
seumateh pada protokol kesehatan dan bertawakal serta berdoa pada Allah.
#dirumahsaja
#tetapberkarya
*Penulis
adalah Dosen Legal Drafting FSH UIN
Ar-Raniry
Tidak ada komentar:
Posting Komentar