Oleh: Bung Syarif*
Dayah atawa pondok pesantren didirikan tidak hanya bertujuan
mensyiarkan ilmu-ilmu agama Islam, tetapi juga wadah kegiatan
sosial-kemasyarakatan, termasuk sebagai wadah pergerakan nasional kemerdekaan
melawan penjajah. Dalam konteks nasioal Pesantren kini telah menjadi icon baru
pendidikan keagamaan Islam. Tradisi dan amaliyah keagamaan yang berkembang di
pesantren juga dipraktikkan oleh masyarakat. Ulama pesantren dijadikan simbol
akhlak dengan segala kearifan dan kebijaksanaannya. Mereka membawa ajaran-ajaran
yang diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW. Nasihatnya didengar, petuahnya
direnungkan, dan fatwanya diikuti.
Bukan bertujuan mengkultuskan pribadi manusia, melainkan
karena akhlak mulia dan kedalaman ilmunya. Kearifan kiyai memunculkan keluhuran
tradisi pesantren yang hingga kini berkembang di tengah masyarakat luas. Jauh
daripada itu, para ulama pesantren berjuang atas dasar kemaslahatan bangsa,
bahkan skala global. Prinsip kemerdekaan bangsa yang akan memunculkan
kemaslahatan bersama harus diperjuangkan bersama-sama.
Ulama dayah/pesantren berperan sebagai penggerak rakyat melawan
penjajah. Bahkan selain sebagai tempat menempa ilmu-ilmu agama dan wadah
pergerakan nasional, pesantren juga sebagai tempat penyemaian kecintaan santri
dan masyarakat terhadap bangsa dan negaranya. Pada titik itulah kearifan dalam
memandang kepentingan bangsa menjadi tolak ukur perjuangan para ulama pesantren
beserata santri-santrinya. Mereka berhasil mendudukkan bersama antara prinsip
keagamaan dengan konsep berbangsa dan bernegara dalam irama persatuan sebagai
modal penting melawan penjajah. Dalam kondisi terjajah, prinsip kecintaan tanah
air merupakan aktualisasi nilai-nilai agama sehingga perjuangan memerdekakan
bangsa Indonesia merupakan panggilan agama.
Prinsip tersebut mengilhami KH Muhammad Hasyim Asy’ari
(Pendiri NU) sehingga lahir konseptualisasi agung “hubbul wathani minal iman” (cinta tanah air adalah bagian dari
iman). Istilah iman di sini tidak hanya berlaku bagi umat Islam, tetapi juga
konsep iman menurut keyakinan dan agama-agama lain di luar Islam. Dampaknya,
konsep tersebut tidak hanya menggelorakan perjuangan umat Islam, tetapi juga
umat-umat agama lain beserta seluruh bangsa Indonesia untuk melepaskan diri
dari kungkungan penjajah.
Kini tentunya konsepsi ini masih relevan dalam makna yang
luas. Dalam dialektikan yang lain melanggengkan tradisi keilmuan di
Dayah/Pesantren khususnya di Aceh semakin kelihatan. Berbagai Event Festival
Antar Santri Dayah dilakoni dibawah kepempimpinan Usamah El-Madny. Mantan Sekum
DPD KNPI NAD (Aceh) ini sangat lincah dalam merumuskan program milenial dalam
rangka peningkatan kualitas sumber daya insani khususnya bagi santri. Tak ada
cara lain, Event Festival bagian dari wujud evaluasi nan ceria agar santri
dayah percaya diri tampil di publik. Sejak Disdik Dayah Aceh dibawah kendali
Usamah El-Madny, sunguh luar biasa.
Sejak tanggal 5-7 November 2019, Hotel Mekkah menjadi Locus
Utama Festival Baca dan Tulis Manuskrib Kuno Karya salah satu Ulama Besar Aceh
bertaraf dunia, Syekh Abdurrauf Bin Ali Al Fansuri dengan kitabnya Turjaman
Al-Mustafid. 23 Kabupaten Kota mengutuskan pesertanta kecuali Aceh Barat,
Abdya, Semeulu dan Aceh Tengah. Selaku pendamping yang ditunjuk atasan, maka
saya berusa memberikan kenyamanan bagi santri dayah Banda Aceh.
Target kami tidak ambil juara, tapi lebih memberikan energi
sapodang. Karna kami punya misi lain yaitu santri dayah di Banda Aceh percaya
diri diatas rata-rata, walau tidak juara. Hehe..kali ini saya ajak mereka
menikmati kuliner terbaik santri yaitu menikmati makanan indomie berbalut telur
serta miniman jus sesuai selera. Pojok Hotel Mekkah menjadi tempat mangkal kami
hingga pukul 23.30 Wib. Setelah itu kami langsung menuju hotel untuk
beristirahat. Ikuti terus ulasan bung syarif praktisi dayah Aceh yang lama
bergelud dalam dunia persilatan reformasi birokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar