8 Sep 2019

Politik Hukum Dayah di Aceh (Analisis Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2018)


Oleh: Muhammad Syarif,SHI.,M.H*

Dayah berasal dari kata zawiyah, kata ini dalam bahasa Arab mengandung makna sudut, atau pojok Mesjid. Kata zawiyah mula-mula dikenal di Afrika Utara pada masa awal perkembangan Islam, zawiyah yang dimaksud pada masa itu adalah satu pojok Mesjid yang menjadi halaqah para Sufi, mereka biasanya berkumpul bertukar pengalaman, diskusi, berzikir dan bermalam di Mesjid. Dalam khazanah pendidikan Aceh, istilah zawiyah kemudian berubah menjadi Dayah, seperti halnya perubahan istilah Madrasah menjadi Meunasah. Pada era Islam pertama masuk ke Nusantara yaitu masa Kerajaan Pereulak telah dikenal adanya temapat-tempat untuk menekuni dan mendiskusikan ajaran agama, salah satu tempat yang terkenal kala itu adalah Zawiyah Cot Kala, tempat inilah yang merupakan lembaga Pendidikan Agama pertama di Nusantara.

Merujuk kepada Sejarah Kerajaan Islam Pereulak, Dayah secara historis telah ada sejak abad IX Masehi, keberadaan Dayah di Aceh telah ada bersamaan dengan masuknya Islam ke Aceh pada akhir masa kekhalifahan Usman bin Affan. Beberapa Dayah yang berkembang saat itu diantaranya; Dayah Cot Kala, Dayah Kuta Karang, Dar as-syariah Mesjid Raya, namun semua Dayah ini telah diobrak-abrik Belanda. Pada abad 5 Hijriah, Mesir menemukan kapal buatan Aceh yang terdampar di Laut Tengah. Pada masa Iskandar Muda, sebuah kapal Spanyol rusak di perairan Sabang, kemudian diderek ke pantai dengan gajah dan diperbaiki oleh satri-santri dayah Dar as-syariah. 
Menurut Abdul Qadir Djailani dalam bukunya Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia, Samudera Pasai merupakan pusat pendidikan Islam pertama di Indonesia dan dari sini berkembang ke berbagai daerah lain di Indonesia, hingga sampai ke Pulau Jawa. Salah seorang santri alumni Samudera Pasai adalah Maulana Malik Ibrahim, ia datang ke Gresik Jawa Timur pada tahun 1399 dan wafat pada tahun 1419, setelah melakukan dakwah selama dua puluh tahun lamanya, sebelumnya, Maulana Malik Ibrahim bertugas sebagai Muballigh di daerah Campa yang merupakan daerah Kesultanan Samudera Pasai, setelah Maulana Malik Ibrahim wafat, Dayah juga diteruskan oleh anak beliau Raden Rahmat (Sunan Ampel). 
Secara pasti tidak diketahui kapan sebenarnya Dayah masuk ke Aceh. Namun, A. Hasyimi seorang Sejarawan Aceh, beliau berpendapat bahwa Dayah masuk ke Aceh sejak awal berdirinya Kerajaan Islam Pereulak pada Muharram 225 H/840 M. Salah satu penyebab sulitnya mengetahui dengan pasti kapan sebenarnya Dayah masuk ke Aceh karena minimnya penelitian dan perhatian yang cukup untuk menggali sejarah perkembangan Dayah, walaupun Anthony Reid dalam bukunya The Rope God, membahas tentang lembaga ini, tetapi hanya dibahas perkembangan pada masa abad ke-19 M dan pertengahan abad ke 20 M. Tidak hanya Anthony Reid, Hasbi Amiruddin dalam bukunya Ulama Dayah Pengawal Agama Masyarakat Aceh, juga membahas tentang Dayah tetapi lebih terfokus pada peranan ulamanya, bukan pada Dayah itu sendiri.

Eksistensi Dayah Pasca Kemerdekaan

Keberadaan Dayah di Aceh telah banyak melahirkan cendikiawan, tokoh agama bahkan umara, baik dilevel nasional maupun internasioanl. Sebut saja satu diantaranya  Abuya Syeikh Muda Wali Al-Khalidy (1917-1961). Pimpinan Dayah Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan ini telah  banyak memberikan kontribusi positif bagi kemajuan Aceh, bahkan Negara Indonesia. Beberapa muridnya, lulusan Dayah Darussalam pernah menjabat Menteri Pertanian NKRI, Syeik Marhaban, Putra Abu H, Hasan Krueng Kalee.
Bahkan beberapa alumni Darussalam, Labuhan Haji mengembangkan Dayahnya di daerahnya masing-masing diantaranya, Abu Adnan Bakongan, Abu Abdullah, Tanoh Mirah, Singkil, Abu Usman Fauzi, Lueng Ie-Aceh Besar, Abu Muhammad Isa, Peudada, Abu Abdul Aziz, Mudi Mesra Samalangan, Abu Abdul Wahhab Matang Perlak, Abu Ibrahim, Budi Lamno, Abu Gurah, Pekan Bada, Abu Daud Zamzami, Inshafuddin, Banda Aceh, Abon Hasbi, Kuta Fajar serta beberapa ulama besar lainnya di Aceh dan Sumatera.

Politik Hukum Dayah di Aceh Pasca Reformasi
Lahirnya Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2018 tentang penyelenggaraan Pendidikan Dayah, 31 Desember 2018 mengharuskan negara dalam hal ini pemerintah Aceh terlibat aktif dalam melakukan pentadbiran tata kelola dayah. Dimana pada masa pra kemerdekaan, pengelolaan dayah murni dikelola secara turun-temurun oleh masyarakat Aceh, serta tidak ada peran negara dalam melakukan pembinaan sumber daya santri, guru/teungku dayah serta pemenuhan sarana prasarana dayah. Semua murni dikelola mandiri oleh masyarakat.
Lahirnya Qanun tersebut memberikan mandat dan kewenangan bagi Gubernur, Bupati, Walikota yang dalam hal ini melekat pada Dinas teknis (Disdik Dayah Aceh, Disdik Dayah Kabupaten/Kota atau nama lainnya). Kewenangan penyelenggaraan pendidikan dayah meliputi; bidang kebijakan, pembiayaan, kurikulum dan pengajaran, sarana prasarana, pembinaan terhadap pimpinan, pendidik, tenaga kependidikan dan thalabah, bidang penjamin mutu pendidikan dayah, pemberdayaan ekonomi dayah, bidang pengelolaan dayah terpencil, dayah perbatasan serta dayah madrasah ulumul qur`an.
Disamping itu juga Qanun ini melakukan pembagian dayah menjadi tiga yaitu ; dayah salafiyah, terpadu dan dayah tahfidz qur`an. Ketiga model dayah tetap menitik beratkan pada kajian thurats (kitab kuning). Dimana masing masing kurikulum dayah tersebut secara derivatif regulatorinya diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub). Qanun ini juga melahirkan subordinat regulatori, lebih kurang 21 Pergub. Itu artinya lembaga pendidikan keagamaan baru dianggap dayah jika ada kajian kitab kuning, jika tidak maka dikualifikasikan Balai Pengajian atau Taman Pendidikan Al-Qur`an, pendidikan di Dayah juga wajib mondok dalam terminologi rakyat aceh dikenal "meudagang".
Sementara jenjang pendidikan dayah terdiri dari empat tingkatan meliputi; Ula merupakan jenjang pendidikan dayah di tingkat dasar berusia enam sampai lima belas tahun, Wustha merupakan jenjang pendidikan dayah tingkat lanjutan dengan masa belajar 3 tahun. Lulusannya mampu membaca kitab kuning dan menghapal al-qur`an juz 30.  Ulya merupakan jenjang pendidikan dayah tingkat menengah dengan  masa belajar 3 tahun, lulusannya diharapkan mampu membaca kitab kuning dan menghapal 5 juz al-qur`an. Sementara Mahad Aly (Dayah Mayang) merupakan jenjang pendidikan dayah tingkat tinggi dengan masa belajar 4 tahun. Lulusannya mampu membaca kitab kuning serta menghapal 8 juz al-qur`an. Qanun  ini juga mengatur tentang syarat pimpinan dayah setiap jenjangnya, termasuk didalamnya syarat menjadi guru dayah. Qanun ini juga mengharuskan keberpihakan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota terhadap alokasi anggaran pendidikan dayah paling sedikit 30 % bagi peningkatan mutu sesuai Renstra Dinas Pendidikan Dayah Aceh. Itu artinya peningkatan sumber dayah guru dayah menjadi penting diperhatikan sekaligus kelulusan santri dayah sesuai syarat minimal yang diatur dalam qanun ini. Ketentuan Qanun ini berlaku secara mutatis mutandis untuk Kabupaten/Kota sesuai kewenangannya (baca pasal 71). Disamping itupula Qanun ini memberikan mandat lahirnya Badan Akreditasi Dayah (BADA), yang nantinya menjadi lembaga independen yang melakukan penilaian borang akreditasi dayah se-Aceh layaknya Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. Tentunya dengan sedikit berbeza dalam hal indikator penilaian tipologi dayah. Frasa Qanun ini diundangkan pada tanggal 8 Januari 2019, memberikan sinyal bahwa keberlakuan qanun ini dimulai sejak diundangkan. Disamping itu juga qanun ini mewajibkan penyelenggaraan satuan pendidikan Dayah di Aceh berpedoman pada aturan ini paling lama 2 tahun sejak Qanun ini diundangkan. Akankah Qanun ini berlaku efektif? hanya waktu yang menjawabnya. Krue semangat, semoga kehadiran Qanun ini memperkuat posisi dan peran dayah dalam mewujudkan Aceh carong dan meuadab.

*Penulis adalah Kabid SDM dan Manajemen Disdik Dayah Banda Aceh


Tidak ada komentar: