Pada
tanggal 14 Oktober 1957 diundang oleh presiden pertama RI Soekarno ke Istana
Cipanas, Abuya Syeikh Muda Waly Al-Khalidy di undang bersama dengan Abu
Muhammad Hasan Krueng Kalee, serta beberapa ulama lain dari seluruh Indonesia
sekitar 500 orang untuk membicarakan status Negara RI dan presidennya dalam
tinjauan agama Islam, apakah sah atau tidak.
Berangkatlah
ulama-ulama Aceh ini melalui bandara Polonia Medan. Dalam perjalanan itu Tgk
Syihabuddin Syah atau Tgk Keumala juga ikut mengantarkan Abuya sampai ke
bandara.
Setiba
Abuya di Jakarta, beliau bertemu tokoh-tokoh ulama dari daerah lain di
antaranya Sumatera, Jawa, dan daerah-daerah lain seluruh Indonesia. Setelah
para ulama-ulama ini berkumpul di istana Negara, Presiden mengucapkan selamat
datang dan menyampaikan maksud dan tujuan undangannya.
Presiden
berkata: "Saya meminta kepada para ulama yang hadir untuk merumuskan nama
keberadaan dan kedudukan saya sebagai Presiden RI."
Setiap
Ulama dari berbagai perwakilan menyampaikan sikap dan pandangan mereka. Ulama
Masyumi dan Muhammadiyah secara tegas menolak keabsahan Soekarno sebagai
presiden yang sah dalam tinjauan Islam karena tidak diangkat oleh Ahlul Halli
Wal 'Aqdi (Suatu lembaga yang bertugas memilih, mengangkat, dan mengawasi
khalifah/ pemimpin dalam politik Islam).
Hingga
sampai pada giliran seorang ulama kharismatik dari jawa yang bergelar Sulthanul
Ulama, beliau juga mengatakan tidak sah dengan berbagai alasan dan hujjah.
Ketika
semua orang hampir pada kesimpulan itu, pimpinan sidang menanyakan kepada ulama
dari Aceh tentang pandangan mereka. Abu Krueng Kalee mempersilahkan Abuya
Syeikh Muda Waly angkat bicara. Abuya menyatakan Soekarno sah menjadi presiden
"Dharurat", alasannya karena ia mempunyai "Syaukah"
(kekuasaan yang kuat).
Kekuasaannya
itu adalah sebagai panglima tertinggi membawahi polisi dan Tentara Nasional
Indonesia. Intinya, Abuya dan Abu Krueng Kalee menilai pemerintah RI dan
presiden Soekarno sah untuk disebut sebagai pemerintah (Ulil Amri) menurut
Islam, walaupun secara Dharuri Bi Asy-Syaukah.
Ulil
Amri Bisy-Syaukah adalah pemerintah yang memiliki kekuasaan untuk sementara
waktu (Pemerintah Masa Transisi) hingga terbentuknya Pemerintahan yang sah dan
benar. Pemerintahan ini oleh sebagian ulama dianggap sah selama tidak kafir
pemimpinnya, dan tidak mengingkari keberadaan hukum-hukum syari'at, baik secara
I'tiqad (Kepercayaan), 'Inad (Pembangkangan), atau istihzak (menghina hukum
Islam) walaupun mereka tidak menerapkan sebagiannya, mereka harus menyadari
bahwa hal tersebut adalah dosa, dan tidak menghalalkan perbuatan mereka yang
tidak menerapkan hukum Allah Swt.
Setelah
Abuya dan Abu Krueng Kalee menilai pemerintah RI dan presiden Soekarno sah
untuk disebut sebagai Ulil Amri walaupun secara Dharuri Bisy-Syaukah, hal itu
disanggah kembali oleh Sulthanul Ulama. Lalu Abuya membaca dalil dari matan
Tuhfah yang mengakui keabsahan 'Ulil Amri Dharuri Bisy-Syaukah".
Alasan
ini disanggah kembali oleh Sulthanul Ulama. Akhirnya Abuya dari duduk langsung
bangun, dan berkata dengan meminjam kalimat yang pernah diucapkan oleh Khalifah
Umar Bin Khattab:
"Tafaqqahu
qabla an tasuudu...!" "Tafaqqahu qabla an tasuudu...!"
"Tafaqqahu qabla an tasuudu...!" (pelajarilah fiqh sebelum kamu
diangkat menjadi pemimpin). Kata-kata itu diulang hingga tiga kali. Lalu Abuya
meminta persetujuan Abu Krueng Kalee atas ucapannya itu: "Kon Nyo Menan
Abu?" (bukankah demikian Abu?)
Abu Krueng Kalee menjawab: Nyoe
betoi ( iya, benar ).
Pertemuan
itu akhirnya menyimpulkan kesepakatan Ulama sesuai dengan apa yang diutarakan
oleh Ulama Aceh. Pertama, kemerdekaan RI adalah sah. Kedua, Presiden RI
Soekarno adalah presiden sah dalam posisi Ulil Amri Dharuri Bisy-Syaukah.
Dalil-dalil
Abuya Syeikh Muda Waly tentang Pemerintahan RI dan tinjauan Agama hukum
berontak kepada pemerintah yang sah:
1.
Bughyatul Mustarsyidin sha. 271 bab al-qadhaa
2.
Bughyatul Mustarsyidin sha. 249 bab arriddah
3.
Tuhfatul Muhtaj juz 9 sha. 87 kitab arriddah
4.
Tuhfatul Muhtaj juz 9 sha. 78 kitab al-Bughah
5.
Tuhfatul Muhtaj juz 9 sha. 88 kitab arriddah
6.
Shawi 'Alal Jalalain Juz 1 sha. 378 tafsir surah al-Ma-idah ayat 54
7.
Jam'ul Jawami' juz 2 sha. 439
8. Tuhfatul
Muhtaj juz 9 sha. 66
9.
Mishbahul munir sha. 124
10.
Tuhfatul Muhtaj Juz 9 sha. 71
Tanpa dua
ulama Aceh, Soekarno tidak diakui sebagai Presiden oleh ulama Nusantara, ungkap
Mustafa Woyla, Humas Dayah Darul Ihsan Hasan Kreung Kalee.
Sumber: Mutiara Fahmi dkk, Teungku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee (Banda Aceh: Yayasan Darul Ihsan Tgk. H. Hasan Kreung Kalee, 2010, hal.126-127)
Sumber: Mutiara Fahmi dkk, Teungku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee (Banda Aceh: Yayasan Darul Ihsan Tgk. H. Hasan Kreung Kalee, 2010, hal.126-127)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar