19 Mar 2019

Mewujudkan Wilayah Bebas Korupsi bagi SKPD


Oleh: Muhammad Syarif, SHI.M.H*

Berbagai upaya dilakukan oleh negera, guna mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Pembentukan Institusi, regulasi serta pendidikan anti korupsi terus didengungkan. Meskipun tak dapat dipungkiri pembuat regulasi dan pengendali negeri terkadang masuk “jebakan batman” akibat prilakunya yang korup.


Untuk itulah sejatinya seluruh stakeholder perlu melakukan “gerakan anti korupsi”. Gerakan ini harus massif dan terus digulirkan, sehingga setiap penggunaan uang negara dapat dipertangungjawabkan secara transparan dan akuntabel. 

Sejak Tahun 2013, Pemerintah Kota Banda Aceh melakukan gebrakan dengan meletakkan pondasi Wilayah Bebas Korupsi  (WBK) bagi SKPD. Landasan pijaknya adalah Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 60 Tahun 2012. Sejalan dengan itupula Pemko Banda Aceh membentuk Tim Zona Integritas yang bertugas melakukan penilaian Wilayah Bebas Korupsi pada SKPD. 

Pencangangan Gerakan WBK ini telah dimuali oleh Pemerintah Kota Banda Aceh sejak Tahun 2013 dalam rangka mewujudkan good governance and clear goverment. Langkah ini pula di teruskan tradisinya oleh Bapak Aminullah Usman, Wali Kota Banda Aceh, dengan menandatangani Pencanangan Zona Integritas Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM) di ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Kelas I A Banda Aceh, Selasa (12/3/2019).

Selain Wali Kota, penandatanganan zona integritas wilayah bebas korupsi ini juga dilakukan Ketua PN Banda Aceh, Suwono, Kapolresta Banda Aceh, Kombes Pol Trisno Riyanto dan Kajari Banda Aceh, Erwin Desman.
“Saya pikir ini kerjasama yang baik, langkah strategis dan sangat penting dalam mewujudkan good governance,” ujar Aminullah usai menandatangani zona integritas WBK dan WBBM.

Meski survey penilaian integritas KPK tahun lalu menempatkan Banda Aceh sebagai yang terbaik di Indonesia dengan nilai 77,39, Wali Kota tidak berpuas diri dan memandang pencanangan zona integritas WBK dan WBBM oleh Pengadilan Negeri menjadi sebuah hal yang lebih menguatkan Pemko dalam mewujudkan pemerintah yang bersih dari korupsi dan juga benar benar mampu menghadirkan layanan publik dengan baik kepada warga kota.
Tahun 2018, Banda Aceh memperoleh prediket tertinggi survey integritas KPK dengan nilai 77,39. Apa yang kita lakukan hari ini tentunya lebih menguatkan lagi komitmen kita dalam menghadirkan pemerintahan bersih bebas dari korupsi,”ungkap Aminullah.

Lanjutnya, dalam hal pengelolaan keuangan daerah, Banda Aceh juga telah mencatat prestasi fenomenal dimana telah berhasil meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) 10 kali berturut turut dari BPK. “Meskipun telah meraih sejumlah prestasi tersebut, bukan berarti kita tidak memiliki kekurangan. Momentum hari ini kita manfaatkan untuk mendapatkan masukan masukan dalam memperbaiki kinerja guna mewujudkan Banda Aceh Gemilang dalam Bingkai Syariah.

Sementara itu, Ketua PN Banda Aceh, Suwono mengatakan menyebutkan bahwa pola pikir dan budaya kerja di lingkungan instansi pemerintah diharapkan bisa berubah sehingga mampu pemposisikan diri sebagai pelayan masyarakat yang lebih baik. 
Untuk itu, lanjutnya, perlu adanya penataan organisasi dan budaya kerja yang mendukung. Zona Integritas (ZI) ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan MENPANRB RI Nomor 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Zona Integritas menuju Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM) di lingkungan instansi Pemerintah.
Dalam melakukan penilaian WBK ada 3 aspek penilaian yaitu indikator mutlak, indikator operasional dan indikator kinerja organisasi. Masing-masing indikator tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama: Indikator mutlak berdasarkan aspek integritas dalam pengelolaan keuangan, yang dihitung selama 2 tahun terakhir, dan mengacu pada LHP/LHA dari BPK, BPKP dan APIP. Opini BPK sekurang-kurangnya WDP, persentase jumlah maksimum kerugian negara (KN) yang belum diselesaikan; persentase  jumlah maksimum temuan ineffektiveness; persentase  jumlah maksimum temuan inefficiency; jumlah maksimum pegawai yang dijatuhi hukuman disiplin karena penyalahgunaan pengelolaan keuangan. “Selain itu, tidak ada pegawai yang menjadi tersangka korupsi, dan tidak ada pegawai yang terlibat kasus suap dan pungutan liar. 

Kedua: Indikator operasional, yakni indikator program pencegahan korupsi (komitmen pimpinan) yang memiliki bobot 40  persen. Di sini terdiri dari penandatanganan dokumen pakta integritas, kebijakan pimpinan yang tertuang dalam keputusan pimpinan, ketaatan dalam menyusun renstra, SAKIP/LAKIP, laporan keuangan. Selain itu juga adanya jenis/bentuk kegiatan pencegahan korupsi yang dilaksanakan, misalnya kode etik, whistle blower system, program pengendalian gratifikasi, kebijakan anti conflict of interest, dan program inisiatif anti korupsi.

Ketiga: Indikator kinerja organisasi yang memiliki bobot 60 persen. Unsur-unsurnya terdiri dari keberhasilan pelaksanaan tugas dan fungsi, tingkat kepatuhan menyampaikan LHKPN, nilai evaluasi SAKIP, jumlah pengaduan masyarakat yang dapat diselesaikan dalam waktu setahun, indeks kepuasan masyarakat (IKM), dan indeks integritas. Ketiga indikator tersebut nantinya diakumulatif menjadi indikator proses dan hasil sesuai format penilaian dari Kementrian PAN dan RB.

*Penulis adalah TIM WBK Banda Aceh Tahun 2013-2015 serta Dosen Hukum Tata Negara UIN Ar-Raniry.

Tidak ada komentar: