Makam Meurah Pupok |
Sultan
Iskandar Muda Mahkota Alam adalah seorang pribadi yang kuat dalam arti yang
sebenarnya secara fisik dan mental. Seorang bangsawan yang cerdas serta tegas.
Negarawan yang agung dan adil sekaligus politisi dan diplomat yang ulung. Ia
adalah Sultan terbesar Aceh yang mampu membawa Aceh Darussalam mencapai
kejayaan dan menjadi kerajaan yang disegani.
Keperkasaannya tidak saja diwujudkan dalam menaklukkan
musuhnya, tetapi mampu menaklukkan dirinya sendiri ketika harus
mengeksekusi putra mahkotanya sendiri karena suatu kesalahan. Terlebih
lagi ia telah dipersiapkan menjadi putra mahkota.
Dalam kurun hampir 30 tahun masa pemerintahannya,
Sultan Iskandar Muda telah berhasil menyempurnakan Qanunul Asyi Ahlussunah Wal
jamaah yang terdiri dari 500 ayat Al-Quranul Karim, 500 Hadis Rasulullah, Ijma’
Sahabat rasulullah, Qiyas Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah. Kemudian dilengkapi
pula dengan Qanun Putroe Phang suatu aturan yang mampu memberikan perlindungan
kepada Kaum Wanita.
Iskandar Muda adalah cucu Sultan Alaiddin Riayat Syah
Saidil Mukamil (1588-1604). Dari hasil perkawinannya dengan putri raja Lingga,
Iskandar Muda memiliki seorang anak laki-laki yang bernama Meurah Pupok.
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda inilah
dikenal sebuah Kata Filosofis Rakyat Aceh : Adat bak Poteu meureuhom, Hukom bak
Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, reusam bak Laksamana.
Kata Filosofis ini menjadi pedoman hidup bagi kerajaan
dan masyarakatnya untuk mengatur tata kehidupan dalam menegakan kebenaran dan
keadilan demi kesejahteraan masyarakat.
Ditengah perenungannya didalam Istana, Sultan mulai
memikirkan kederisasi kepemimpinannya. Ia membutuhkan seorang penerus kerajaan
yang kuat yang mampu merpertahankan kekuasaannya dan menjaga Kerajaaan Aceh dan
daerah taklukannya agar tidak tunduk pada kekuasaan asing, terutama Portugis
dan Inggris yang saat itu terus melakukan provokasi di Selat Malaka.
Putra Mahkota
Terlintaslah pandangannya pada wajah Sang Putra
Mahkota – Meurah Pupok – yang digelari Sultan Muda atau Poteu Cut. Anak
kesayangannya ini berwajah gagah mewarisi ketampanan wajah sang ayah. Putra
Mahkota atau Poteu Cut ini memang masih belia, minim pengalaman.
Menuju Makam Meurah Pupok |
Sultan merencanakan untuk memberikan beberapa tanggung
jawab kepada Putra Mahkota agar ia belajar dan berpengalaman. Sebelum nantinya
memegang tampuk kerajaan. Maka ia berencana menyerahkan tanggung jawab
keamanan Negara Termasuk diantaranya tugas tempur untuk memimpin Armada Laut
terbesar Kerajaan yaitu Armada Cakra Donya.
Kalau sekarang ya dicalonkan jadi Kapolri, atau
Panglima TNI , semacam itulah. Para pembesar kerajaan semua sudah setuju,
majelis rahayat agung pun sudah merestui dengan aklamasi pula.
Ditengah perenungannya itulah datang seorang
rakyat yang berhiba-hiba. Namun ditangannya tergenggam sebilah keris yang
berdarah .Pemandangan yang cukup aneh. “Ampun Baginda, mohon hamba dimaafkan, ”
rengek rakyat kecil yang bersujud di kaki Sultan Iskandar Muda. ” Apa yag
terjadi hambaku. Dan keris itu……..” titah sang raja.Belum tuntas sang baginda
bertanya si rakyat jelata menyambung.
Kisah Pilu Anak Raja |
“Hamba baru membunuh seseorang Baginda. Mohon hamba
diadili,” sahut si rakyat kecil terbata-bata.” Siapa yang kau bunuh dan salah
apa dia…” Tanya Baginda
”Saya baru saja membunuh isteri saya, Baginda,”
jawabnya. Kali ini cukup tegas jawabnya tidak lagi terbata-bata.
Mengelus janggutnya yang tidak begitu panjang Sultan
menarik nafas. Tentu ada alasan kuat sehingga rakyat kecil ini melakukan. Belum
terucap pertanyaan untuk menyingkap awal sebabnya si rakyat melanjutkan.
” Saya pulang ke rumah dari menjala ikan di laut, saya
dapati isteri saya berzina dengan seseorang di rumah Baginda., “katanya dengan
lancar.
” Oo… ,” nada suara Baginda kendor penuh pengertian.
” Tentu kau bunuh pula si lelakinya khan…..”
lanjut Baginda enteng.
Kali ini si rakyat kecil tidak segera menyahut,
tetapi malah kelihatan gemetar.
”Tidak …Baginda,:” suaranya lirih
menyiratkan ketakutan yang amat sangat….
“Mengapa……mengapa tidak kau bunuh sekalian,” Tanya
Baginda. Pertanyaan ini sampai dua kali , sebelum si rakyat kecil berhasil
mengumpulkan keberanian untuk memberikan keterangan.
”Karena… si lelaki adalah orang yang saya hormati dan
semua rakyat juga menjunnjung tinggi kehormatannya Baginda….,” jawab
rakyat nelayan itu nyaris merintih.” Siapa…..Siapa ….sebutkan ,” kini
Baginda Sultan Iskandar berkata dengan suara meninggi. Cukup lama sebelum si
nelayan menjawab dan Baginda mengendorkan suaranya ” Sebutkan”.
”Ampun Baginda dia adalah Sang Putra Mahkota – Si
Meurah Pupok…” kata itu terlepas bersama dengan lepasnya beban puluhan
ton diatas pundaknya.Beban tersebut langsung menimpa Sultan Iskandar di
singgasananya. Ia terlonjak sambil duduk karena beratnya fakta didepan matanya.
Menuju makam meurah Pupok |
Saat itu Sultan Iskandar membuktikan keperkasaan
dirinya. Menyerahkan perkaranya kepada qadli untuk mengadili anaknya dan
menghukum mati. Persoalan timbul lagi karea tidak seorang pun algojo bersedia
melaksanakan hukuman mati tersebut.
Menteri kehakiman yang bergelar Sri Raja Panglima
Wazir berusaha membujuk, tetapi sultan tetap pada keputusannya. Sultan sendiri
dengan tegas mengatakan apabila tidak ada seorang pun yang mau melakukan
hukuman ini maka ia sendiri yang akan melakukannya. Sultan Iskandar Muda mengatakan,
“aku akan menerapkan hukum kepada Putra Mahkota yang seberat-beratnya. Dengan
tanganku sendiri akan kupenggal leher putraku karena telah melanggar hukum dan
adat negeri ini.”
Rehat di Komplek Makam Belanda (1/1/2018) |
Suatu peristiwa yang mengharukan dan menggetarkan
setiap jiwa, ketika Sultan Iskandar Muda mengeksekusi mati anaknya sendiri
(Meurah Pupok) sesuai dengan vonis pengadilan.
Dari peristiwa inilah muncul ungkapan masyhur: mate
aneuk mupat jeurat, gadoh adat pat tamita (‘mati anak jelas kuburannya,
hilang adat (hukum) ke mana hendak dicari’), maksudnya menegakkan hukum yang
adil tanpa pilih tebang.
Meurah Pupok
"Siputra mahkota yang gagal naik tahta"
Abad 17 Kerajaan Aceh Darussalam.
Kisah
pilu antara kesalahan fatal dan intrik politik begitu kuat, hingga ada sebuah
kata ungkapan "kalau mau belajar politik datanglah ke Kerajaan Aceh".
Sebuah Fakta yang menempatkan hukum sebagai panglima, hanya ada di Aceh, kala
itu.
*Komplek
Keerkhof Peutjut /Perkuburan Tentara Belanda, belakang Museum Tsunami Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar