5 Apr 2016

Mengintip Kaedah Normatif Pelaksana Tugas, Pelaksana Harian, dan Penjabat*

Oleh : Muhammad Syarif

Dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan, kita sering mendengar sebutan Pelaksana Tugas (Plt), Pelaksana Harian (Plh) dan Penjabat (Pj). Biasanya  penerapan ketiga sebutan ini sering dipakai jika ada kekosongan sementara Jabatan pada Institusi Pemerintah atau Penyelenggara Negara.
Setidaknya ada dua hal yang perlu diperjelas dari istilah-istilah di atas. Pertama, apa pengertian atau maksud ‘Pelaksana Tugas’, ‘Pelaksana Harian’, dan ‘Penjabat’. Kedua, jika dilekatkan dengan jabatan seseorang apakah sebutan tersebut memiliki konsekuensi hukum?


Salah satu cara memberikan penjelasan atas hal pertama adalah melihat istilah dan definisi frasa tadi dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Istilah Plt dan Plh antara lain disebut dalam Pasal 34 ayat (2) UU No. 30Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP). Rumusannya: “Apabila Pejabat Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhalangan menjalankan tugasnya, maka Atasan Pejabat yang bersangkutan dapat menunjuk Pejabat Pemerintahan yang memenuhi persyaratan untuk bertindak sebagai pelaksana harian atau pelaksana tugas”.
 
Masalahnya, UUAP tak memberikan penjelasan apa yang dimaksud ‘pelaksana harian’ dan ‘pelaksana tugas’. Selain itu, sebelum UUAP lahir konsep Plh dan Plt sudah dikenal dan dipraktikkan. Tetapi kita bisa melacak ketentuannya lebih jauh dari Pasal 14 UUAP yang mengatur tentang mandat. Ada dua kategori pejabat yang memperoleh mandat, yaitu ditugaskan oleh Badan dan/atau Pemerintahan di atasnya, atau merupakan pelaksanaan tugas rutin. Tugas rutin adalah pelaksanaan tugas jabatan atas nama pemberi mandat yang bersifat pelaksanaan tugas jabatan dan tugas sehari-hari.


Pejabat yang melaksanakan tugas rutin tersebut terdiri dari Pelaksana Harian yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan sementara; dan Pelaksana Tugas yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan tetap. Coba pilah masuk kategori berhalangan yang mana keadaan pejabat definitif berikut: cuti lebaran, menunaikan ibadah haji, kunjungan ke daerah, mengikuti sekolah pimpinan, atau dirawat di rumah sakit.


Kalau merujuk pada Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara No. K.26-3/V.5-10/99 tertanggal 18 Januari 2002, semua kategori tadi menjadi dasar untuk mengangkat Pelaksana Harian. Disebutkan dalam SK Kepala BKN ini, jika ada pejabat yang tidak dapat melaksanakan tugas sekurang-kurangnya 7 hari kerja, maka untuk tetap menjamin kelancaran pelaksanaan tugas, Atasan Pejabat segera menunjuk Pelaksana Harian. Ketentuannya dirinci dalam SK tentang Penunjukan Pejabat Pelaksana Harian itu.

Konsep Pelaksana Tugas selama ini merujuk pada SK Kepala BKN No. K.26-20/V.24.25/99 tertanggal 10 Desember 2001 tentang Tata Cara Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Sebagai Pelaksana Tugas. Konteksnya adalah jika tidak ada pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat untuk diangkat dalam jabatan struktural.


PP No. 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural antara lain menyebutkan agar dapat diangkat dalam jabatan struktural serendah-rendahnya menduduki pangkat satu tingkat di bawah jenjang pangkat yang ditentukan. Jika tak ada di lingkungan instansi tersebut, maka boleh diangkat diangkat seorang Pelaksana Tugas demi kelancaran pelaksanaan tugas-tugas organisasi. Syarat-syarat dan mekanismenya diatur dalam SK Kepala BKN tadi.
 
Selain ‘Pelaksana Harian’ dan ‘Pelaksana Tugas’, perundang-undangan Indonesia mengenal juga sebutan ‘Penjabat’. Secara leksikal, Penjabat adalah pemegang jabatan orang lain untuk sementara (lihat misalnya Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi IV, cetakan ke-19 September 2015, halaman 554). Dari sini tampak bahwa maksudnya senada dengan Plh atau Plt. Terminologi  ‘Penjabat’ bisa dibaca dalam konsepsi UU No. 23Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah direvisi kedua melalui UU No. 9 Tahun 2015).
Pasal 86 ayat (2) UU Pemda menyebutkan “Apabila gubernur diberhentikan sementara dan tidak ada wakil gubernur, Presiden menetapkan Penjabat gubernur atas usul Menteri”. Lema Penjabat bisa juga ditemukan pada ayat 3, 5, dan 6 pasal yang sama, serta Pasal 88 ayat (1) UU Pemda. Apakah orang yang memangku jabatan untuk sementara waktu selalu disebut Penjabat? Undang-Undang Pemda tak memberikan penjelasan lebih detil.
Hal kedua, jika seseorang sudah diangkat menjadi Plt, Plh, atau Penjabat, maka ia mendapatkan hak-hak dan berkewajiban menjalankan tugas sesuai tupoksi pejabat definitif. Masalahnya, apakah semua tugas dan wewenang pejabat definitif bisa dijalankan oleh seorang Plt, Plh, atau Penjabat? 
Pasal 34 ayat (2) UUAP menegaskan Plh atau Plt ‘melaksanakan tugas serta menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan rutin yang menjadi wewenang jabatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan’. Pasal ini sebenarnya tak memberikan pembatasan yang jelas.


Tafsiran atas Pasal 34 ini, Kepala BKN mengeluarkan Surat BKN No. K.26.30/V.20.3/99 tentang Kewenangan Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas dalam Aspek Kepegawaian. Beleid tertanggal 5 Februari 2016 ini sengaja dikeluarkan untuk memperjelas maksud UUAP.

Salah satu klausula yang sangat penting dikemukakan adalah pembatasan wewenang. Disebutkan begini: “Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui mandat tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.


Apa yang dimaksud dengan Keputusan dan/atau Tindakan yang bersifat strategis itu? Jawabannya bisa dilihat pada Penjelasan Pasal 14 ayat (7) UUAP, yaitu Keputusan dan/atau Tindakan yang memiliki dampak besar seperti penetapan perubahan rencana strategis dan rencana kerja pemerintah. Sedangkan maksud ‘perubahan status hukum kepegawaian’ adalah melakukan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai’.

BKN kemudian membuat poin-poin pembatasan bagi Plt atau Plh. Pertama, tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek kepegawaian.
Kedua, tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam aspek kepegawaian yang meliputi pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai.
Ketiga, kewenangan Plh atau Plt adalah (i) menetapkan sasaran kerja pegawai dan penilaian prestasi kerja; (ii) menetapkan kenaikan gaji berkala; (iii) menetapkan cuti selain cuti di luar tanggungan negara; (iv) menetapkan surat penugasan pegawai; (v) menyampaikan usul mutasi kepegawaian kecuali perpindahan antar instansi; dan (vi) memberikan izin belajar, izin mengikuti seleksi jabatan pimpinan tinggi/administrasi, dan izin tidak masuk kerja.

Poin lain yang penting dari Surat Keputusan Kepala BKN terbaru itu adalah tentang pelantikan. Ditegaskan bahwa Plh atau Plt yang ditetapkan tidak perlu dilantik atau diambil sumpahnya. Pengangkatannya pun cukup dengan Surat Perintah dari Pejabat Pemerintah yang memberikan mandat.
Pertayaan yang muncul kepermukaan, apakah secara empiris terminologi :Pelaksana Tugas, Pelaksana Harian, dan Penjabat sudah sesuai dengan aturan main? cukup jawaban itu disimpan dalam hati masing-masing. 

* Tulisan ini disadur dari berbagai sumber (bahan diskusi rutin Aceh Research Institute)

Tidak ada komentar: