7 Jun 2011

Banda Aceh dan Awak Ateuh?

Cerminan IMB Kota B. Aceh

Oleh    : Hasnanda Putra

Kami persilahkan siapa saja yang mau berinvestasi di Banda Aceh, tapi aturan tata ruang kota tetap harus dipatuhi (serambi 27/7). Selamat menanam modal di Kota Banda Aceh, rasanya ini yang mau diucapkan Pemerintahan Kota bagi setiap yang mau mendukung kota tua ini menjadi salah satu tempat kunjungan wisata. Kehadiran Banda Waterboom (BWB) Ulee Lheue paling tidak telah mampu menjadi salah satu sarana pelengkap wisata air selain wisata kuliner yang sedang digalakkan pemerintah kota. Visi bandar wisata islami indonesia makin mantap setelah sebuah piala “mini” bertulis Adipura juga ikut diraihnya. Penghargaan tepat diusia tua 804 tahun, tentu tidak mudah didapat, paling tidak ini tidak terlepas dari peran cantik Dinas Kebersihan dan Keindahan Kota Banda Aceh dan tentu saja peran manis dengan tata ruangnya dari Dinas Pekerjaan Umum Kota Banda Aceh. Alhasil penghargaan ini paling tidak sedikit membesarkan hati kita setelah sekian lama Banda Aceh kehilangan ruh  sebagai ibukota provinsi yang nyaris tanpa kejutan dan prestasi.
Namun membangun sebuah kota yang “penuh” dengan segala masalah disatu sisi dan keberkahan disisi lainnya juga tidaklah gampang. Menertibkan pedagang kaki lima atau memastikan tidak ada canoopy depan toko yang merintangi pe-jalan kaki bukanlah hal sulit, sekali gebrakan (SATPOL PP ) maka pedagang kaki lima (sebagian nyak-nyak) akan angkat kaki dan demkian halnya dengan penegakkan hal perkara lainnya, suasanapun pasti bersih sedap dipandang mata walau kadang hanya sekejap? Begitupun misalnya menjadikan jalanan kota bebas ternak bukanlah basa-basi, hampir jarang ditemukan lagi kasus hewan ternak berkeliaran dikota, selain pengawasan ketat juga barangkali “sang” ternak sadar, petugas Satpol PP sudah teruji sangat cekatan, lihai dan cepat dalam menangkap ternak (keberhasilan “pasukan” pamong praja ini pernah mendapat penghargaan khusus dihari ulang tahunnya beberapa waktu lalu). Tapi kali ini beratnya bukan pada warga biasa dan hewan ternak, namun pada yang “tidak biasa” yaitu kaum yang biasa kita sebut “awak ateuh” yaitu Penguasa dan Pengusaha, praktis ini bukanlah pekerjaan gampang. Kekuasaan yang dimiliki Penguasa cenderung arogan, dan dana yang melimpah dari Pengusaha cenderung menjadikannya sombong dan  takabur.
 Kasus pembangunan Banda Waterboom (BWB) di Ulee Lheue yang dimulai pembangunan tanpa memiliki izin mendirikan bangunan (IMB) adalah salah satu ketidapatuhan “awak ateuh” (pengusaha lokal) terhadap aturan. Dan klimaksnya berdirilah sarana wisata air itu tanpa aturan, padahal sebelumnya sudah beberapa kali diperingatkan dengan harapan bangunan wahana permainan air itu tidak memakan Garis Sempadan Bangunan (GSB). Tapi, hal itu tidak pernah digubris, sehingga bangunan tersebut telah mengganggu kelancaran lalulintas. Akhirnya Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Banda Aceh, Iskandar S.Sos, memberi waktu satu bulan pada pengelola Banda Waterboom (BWB) di Ulee Lheue untuk membongkar bagian bangunan wahana permainan air tersebut yang terkena garis sempadan bangunan (GSB). (serambi 27/7).
Kasus ini sempat menarik perhatian banyak orang, karena pemilik Banda Waterboom (BWB) di Ulee Lheue bukanlah pengusaha “asing”, usahanya yang terkenal dengan merk PP telah lama berwara-wiri mencari rezeki dari warga kota. Sayangnya kasus terakhir ini sedikit mencoreng “citranya” sebagai pengusaha yang tidak taat aturan. Terlepas akhirnya dia mengurus izin, tetapi keterlambatan ini dipandang sebagai sesuatu tidak baik dan tak bersahabat. Walau akhirnya pemilik Banda Water Boom (BWB), Abubakar Usman menyadari itu sebagai sebuah kesalahan dan menyebutkan  pihaknya sudah mengurus semua persyaratan yang ditetapkan Pemko Banda Aceh dan saat ini menunggu keluar surat izinnya (analisa 31/5).
Apa yang menarik dicermati dari masalah ini, sebenarnya kalau semua pihak sadar bahwa pembangunan Kota Banda Aceh tak hanya sekedar menutup ruang kosong dan meramaikan ruang yang sepi, tetapi lebih dari itu dibutuhkan estetika selain keindahan dan kerapian. Semua itu tentu telah diatur dalam rancangan tata ruang dan tata wilayah (RTWW) Kota Banda Aceh. Tak ada larangan membangun di kota ini, apalagi mau memberikan sesautu yang berarti bagi kemajuan kota tentu akan disambut dengan tangan terbuka asalkan taat aturan sebagaimana tertulis pada kalimat pembuka tulisan ini dari seorang pejabat eselon Pemko Banda Aceh.
Miris memang, untuk tidak mengatakan sedih, kecewa tentu, untuk tidak menyebut kesal, sampai kapan semua sadar bahwa membangun kota bukan seperti membuka lahan kosong dalam rimba raya. Kota dan rimba sungguh berbeda jauh. Karena kita berada dalam kota maka segala aturan harus dipatuhi dan dijalankan. Untuk apa kita sesumbar berinvestasi milyaran rupiah untuk “meramaikan” kota, sementara membayar hanya beberapa jutaan saja untuk PAD kota  dengan mengurus IMB terasa berat. Uang melimpah bisa jadi sedang dikejar siapapun pengusaha, tetapi janganlah kemudian mengorbankan keindahan kota. Bila pengusaha yang notabene menjadi panutan tidak patuh pada aturan sama halnya mengumumkan pada publik bahwa di kota ini tidak berlaku aturan, tetapi yang kuat makin mantap, yang lemah (warga kecil) makin tersingkir.
Pelanggaran tata ruang selama ini justru dilakukan oleh banyak penguasa (instansi pemerintah) dan pengusaha yang notabene seharusnya memberi contoh yang baik bagi warga kota. Setelah sebelumnya pelanggaran dilakukan oleh Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Telekomonikasi (Hubkomintel) Provinsi Aceh yang melakukan pembangunan Rehab Gedung Kantor, Pembuatan Ruang ATM dan pembuatan baliho yang berlokasi di persimpangan Jl. Sultan Alaidin Mansyursyah dan Jl. Tgk Chik Di Tiro.
Harusnya ada kesadaran semua pihak sipil atau militer (instansi) memahami dan membaca Qanun No.3 Tahun 2003 tentang RTRW Kota Banda Aceh 2002-2010 , yang salah satu pasalnya berbunyi : “setiap orang yang berada di wilayah Kota Banda Aceh dilarang: memanfaatkan atau melakukan aktifitas pembangunan sebelum memperoleh IMB dari instansi yang berwenang”. Bahkan kembali ditegaskan dalam Pasal 74 ayat (1) dan Pasal 81, Qanun No. 10 Tahun 2004 tentang Bangunan Gedung, yang berbunyi :  “ Setiap orang atau badan yang mendirikan, memperluas, merubah dan memperbaiki/merehab bangunan gedung harus mendapat IMB dari Walikota”. Mungkinkah pasal-pasal ini tidak sempat dibaca awak ateuh (pengusaha dan penguasa) sehingga nyaris praktek pelanggaran didominasi kaum berduit dan berkuasa ini.
Akhirnya memang kita berharap, ini adalah akhir pelanggaran tata ruang atau aturan lain yang berkaitan dengan pembangunan kota, namun demikian kenekatan membangun tanpa izin sebagai langkah merusak tata ruang juga pantas kita berikan sanksi, walaupun sekedar sanksi moral berupa pengumuman pada publik sebagai pihak yang tidak taat aturan dan merusak kota Banda Aceh. Tanpa menyalahkan siapapun dan membenarkan apapun, benar kata banyak orang bijak, kita butuh masukan untuk dana retribusi PAD kota dari setiap perizinan IMB atau izin lainnya sebagai modal untuk membangun kota dan melayani warga, tetapi tidak berarti kemudian target PAD yang kita kejar menggeser keindahan dan kerapian kota kita.
 Kini Rancangan Qanun tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) 2009 akan segera disahkan dengan harapan Banda Aceh dapat menjadi sebuah kota yang teratur dan sistematis. Akankah kemudian “awak ateuh” patuh dan taat pada aturan kembali? Dengan penekanan sanksi kedepan yang lebih tegas dan tidak milih-milih, rasanya kita sebagai warga sangat berharap bahwa tak ada perbedaan atau diskriminasi dalam penataan kota nantinya. Bagi “awak ateuh” (penguasa dan pengusaha) yang biasa melanggar aturan sudah saatnya ditegakkan aturan dan pilihannya harus jelas bagi yang mengangkangi RTRW untuk dipersilahkan “meninggalkan” bisnis di kota ini dan pindah mencari ladang rezeki dikota atau daerah lain yang mungkin tidak perlu izin segala.
Nah mungkinkah RTRW baru ini menyadarkan atau memaksakan “awak ateuh” tunduk dan patuh pada aturan sehingga mereka bisa membedakan mana kota (dengan aturan) dan mana rimba (tanpa aturan), atau hom hai kadang hana mangat ngen awak nyan? Wallahualam.
·        Penulis adalah Pendiri Forum Kutaradja dan Pengurus KNPI Kota Banda Aceh.


Tidak ada komentar: