Konon dalam literasi klasik, tradisi kanduri Apam berasal dari seorang sufi yang amat miskin di Tanah Suci Mekkah. Si miskin yang bernama Abdullah Rajab adalah seorang zahid yang sangat taat pada agama Islam. Berhubung amat miskin, ketika ia meninggal tidak satu biji kurma pun yang dapat disedekahkan orang sebagai kenduri selamatan atas kematiannya.
Keadaan yang menyedihkan hati itu; ditambah lagi dengan sejarah hidupnya yang sebatangkara, telah menimbulkan rasa kasihan masyarakat sekampungnya untuk mengadakan sedikit kenduri selamatan di rumah masing-masing. Mereka memasak Apam untuk disedekahkan kepada orang lain. Tradisi ini pula akhirnya di jadikan referensi masyarakat Aceh menggelar perayaan “toet Apam” (memasak Apam) yang disesuaikan dengan masing-masing locus masyarakat Aceh.
Tradisi ini juga langgeng, baik di bulan Rajab, acara kematian, kenduri maulid, turun kesawah dan sebagainya. Tentunya masing-masing daerah di Aceh memiliki tradisi toet apam yang berbeza. Adanya juga tradisi toet apam sebagai sanksi adat atas pelanggaran tidak melaksanakan shalat jumat tiga kali berturut-turut dengan denda 100 buah apam yang diantar ke masjid. Semakin sering ia membawa kue apam kemasjid semakin malu, karna masyarakat lain tahu yang bersangkutan sering meninggalkan shalat jumat.
Ya, ini hanyalah kisah klasik yang terus berevolusi dan pada akhirnya menjadi festival toet Apam di Kutaraja yang di fasilitasi Ketua DPRK Banda Aceh, Farid Nyak Umar, ST, Politisi Partai Keadilan Kota Banda Aceh, Krue semangat…
*Penulis adalah peminat sejarah kuliner Aceh, Sekretaris Forum Muda Alumni Lemhannas Aceh, Sekjen DPP ISKADA Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar