Oleh : Muhammad Syarif,SHI,M.H*
Memakai
sarung bagi santri dayah adalah leksikon wajib, khususnya bagi laki-laki, akan
tetapi dibeberapa dayah wanita di Aceh, tradisi pakai sarung sudah menjadi ruhnya
santriwati, sebut saja Dayah Raudhatul Thulab, Aceh Besar. Lakon ini sering
kami lihat saat mengantar dan menjemput keluarga.
Lantas,
apa makna pilosofis di balik kain sarung? tulisan ini mencoba mengurai secara
apik, eksistensi kain sarung di pusaran nusantara, serta makna pilosofisnya. Berdasarkan beberapa catatan, kain sarung berasal
dari Yaman. Awalnya sarung dipakai suku badui yang tinggal di Yaman. Saat itu,
sarung berasal dari kain putih yang dicelupkan ke dalam neel yang merupakan
pewarna bewarna hitam. Penggunaan sarung pun meluas. Tidak hanya ada di
Semenanjung Arab saja, namun sarung juga sampai di Asia Selatan, Afrika, Asia
Tenggara, Eropa, hingga Amerika.
Di
Yaman, sarung dikenal dengan nama futah,
izaar, wazaar atau ma'awis.
Sedangkan, di Oman, sarung dikenal dengan nama wizaar. Kemudian orang Arab Saudi mengenalnya dengan nama izaar. Tekstil memang menjadi industri
pelopor di era Islam. Pada era itu, standar tekstil masyarakat Muslim di
Semenajung Arab sangat tinggi. Industri tekstil di era Islam memiliki pengaruh
yang sangat besar terhadap Barat. Sat itu sarung telah menjadi pakaian
tradisonal masyarakat Yaman.
Namun
hingga sekarang, tradisi itu masih tetap melekat kuat. Sarung Yaman menjadi
salah satu oleh-oleh khas tradisional dari Yaman. Kemudian orang-orang yang
berkunjung ke Yaman biasanya menjadikan sarung sebagai buah tangan.
Sarung
masuk ke Indonesia pada abad ke-14. Saat itu sarung dibawa oleh para saudagar
Gujarat dan Arab yang juga menyebarkan agama Islam. Sehingga dalam perkembangan
berikutnya, sarung di Indonesia akhirnya identik dengan kebudayaan Islam.
Pada
zaman penjajahan Belanda, sarung identik dengan perjuangan melawan budaya barat
yang dibawa para penjajah. Kaum santri merupakan masyarakat yang paling
konsisten menggunakan sarung, sedangkan kaum nasionalis abangan hampir
meninggalkan sarung.
Sikap
konsisten penggunaan sarung juga dijalankan oleh salah seorang pejuang yaitu KH
Abdul Wahab Hasbullah, seorang tokoh penting di Nahdhatul Ulama (NU). Suatu
ketika, beliau pernah diundang Presiden Soekarno.
Protokol
kepresidenan memintanya untuk berpakaian lengkap dengan jas dan dasi. Namun,
saat menghadiri upacara kenegaraan, ia datang menggunakan jas tetapi bawahannya
sarung. Padahal biasanya orang mengenakan jas dilengkapi dengan celana panjang.
Sebagai
seorang pejuang yang sudah berkali-kali terjun langsung bertempur melawan
penjajah Belanda dan Jepang, Abdul Wahab tetap konsisten menggunakan sarung
sebagai simbol perlawanannya terhadap budaya Barat. Ia ingin menunjukkan harkat
dan martabat bangsanya di hadapan para penjajah.
Sarung
menjadi salah satu pakaian kehormatan untuk menunjukkan nilai kesopanan
yang tinggi di masyarakat. Makanya, sarung sering dipakai untuk shalat di
masjid. Biasanya laki-laki mengenakan atasan baju koko, sedangkan bawahannya
menggunakan sarung. Sedangkan, wanita memakai atasan mukena, sedangkan
bawahannya menggunakan sarung.
Perlu
diperhatikan, di Indonesia sarung sendiri tidak hanya dikenakan oleh umat
muslim. Tetapi, non-muslim juga mengenakan sarung. Seperti umat Hindu di Bali,
bagi mereka sarung dikenakan untuk upacara-upacara adat dan keagamaan.
Sementara, masyarakat di NTT, sarung dikenakan untuk kehidupan sehari-hari,
bahkan untuk melindungi tubuh dari suhu malam hari yang agak dingin.
Dedi
Mulyadi mantan Bupati Purwakarta menghubungkan sarung dengan kosmologi
kesundaan atau cerita rakyat yakni Lutung Kasarung. Berdasarkan kisah tersebut
menurutnya, Lutung Kasarung merupakan pewaris tahta kerajaan yang mengalami
cobaan berupa pengasingan di hutan belantara, sebelum akhirnya diangkat menjadi
pemimpin.
Dalam
konteks ini, sarung berfungsi sebagai media kaderisasi kepemimpinan. Sebab saat
seseorang memakainya, ada banyak peraturan yang tidak boleh ia langgar akibat
penggunaan sarung tersebut. Dari sini lahirlah akhlak dan tercipta karakter
yang kuat.
Dedi
membagi “sarung” menjadi dua suku kata. Menurutnya, “sa” merupakan lambang
keinginan manusia dengan segala unsur penciptaannya yang terdiri dari tanah,
air, udara dan matahari. Unsur material inilah yang menurut dia harus dikurung.
Hal ini tercermin dari suku kata yang kedua yakni “rung”.
Jika
seluruh unsur material ini mampu dikurung, maka unsur hakikat kemanusiaan dalam
diri manusia yakni ruh akan semakin menguat. Segala ketamakan manusia yang
tercermin dari keempat unsur tersebut harus dikurung.
Ada
juga yang mengartikan filosofi sebagai “sarune dikurung” (sarung). Artinya,
sarung merupakan instruksi kehidupan, agar manusia mengedepankan rasa malu,
tidak sombong, tidak arogan, apalagi sembrono. Saling menghormati diutamakan,
yang muda menghormati yang tua dan yang tua menyayangi yang muda.
Tradisi memakai
kain sarung menjadi cirikhas Alumni Santri Salafiyah, mudah sekali membedakan
antara Pimpinan Dayah Alumi Dayah Terpadyu (Moderen) dengan Dayah Salafiyah
(Tradisional), cukup melihat pada konsistensinya memakai kain sarung, walaupun
ada satu dua pimpinan dayah yang menyesuaikan dengan situasi dan kondisi. Lantas
jika ada pejabat dinegeri ini yang
memakai kain sarung, silahkan ditafsirkan sendiri ya? Hehe...
*Penulis
adalah Sekjen DPP ISKADA, Kabid SDM dan Manajemen Disdik Dayah Banda Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar