Oleh: Muhammad Syarif
Peci bisa diartikan juga sebagai kopiah atau songkok. Bicara soal sejarah peci, sebagian orang akan mengacu pada Fez, tutup kepala kaum nasionalis Turki atau petje dari bahasa Belanda, artinya topi kecil. Sementara nama kopiah, orang Islam Indonesia mengacu pada keffieh, kaffiyeh atau kufiya dari bahasa Arab. Artinya, tutup kepala juga, tetapi bentuknya tak seperti peci atau songkok.
Peci atau kopiah barangkali agak dekat dengan kepi dalam bahasa Perancis. Bentuk kepi yang biasa dipakai militer Perancis agak mirip dengan kopiah yang kita kenal di Indonesia. Bedanya lebih bulat dan ada semacam kanopi di bagian depannya yang mirip topi. Sementara, istilah songkok, mengacu dari bahasa melayu dan Bugis. Di beberapa daerah di Indonesia dengan pengaruh Melayu dan Bugis, menyebut peci sebagai Songkok. Demikian pula di Malaysia dan Brunei.
Peci bisa diartikan juga sebagai kopiah atau songkok. Bicara soal sejarah peci, sebagian orang akan mengacu pada Fez, tutup kepala kaum nasionalis Turki atau petje dari bahasa Belanda, artinya topi kecil. Sementara nama kopiah, orang Islam Indonesia mengacu pada keffieh, kaffiyeh atau kufiya dari bahasa Arab. Artinya, tutup kepala juga, tetapi bentuknya tak seperti peci atau songkok.
Peci atau kopiah barangkali agak dekat dengan kepi dalam bahasa Perancis. Bentuk kepi yang biasa dipakai militer Perancis agak mirip dengan kopiah yang kita kenal di Indonesia. Bedanya lebih bulat dan ada semacam kanopi di bagian depannya yang mirip topi. Sementara, istilah songkok, mengacu dari bahasa melayu dan Bugis. Di beberapa daerah di Indonesia dengan pengaruh Melayu dan Bugis, menyebut peci sebagai Songkok. Demikian pula di Malaysia dan Brunei.
Sebelum ada peci, laki-laki di Indonesia terbiasa menutup kepala dengan ikat kepala. Tanpa tutup kepala, seorang laki-laki dianggap tak jauh beda dengan orang telanjang. Tutup kepala adalah bagian dari kesopanan.
Menurut Rozan Yunos, dalam artikelnya The Origin of the Songkok or Kopiah di The Brunei Times (23/09/2007), peci diperkenalkan oleh pedagang-pedagang Arab yang menyebarkan agama Islam. Rozan juga menyebut beberapa ahli berpendapat di Kepulauan Malaya peci atau kopiah ini sudah dipakai pada abad XIII. Setelah dipopulerkan para pedagang Arab itu, baru orang Malaysia, Indonesia dan Brunei mengikutinya.
Zaman dahulu, ketika Raja Bone dijabat La Pawawoi lalu Andi Mappanyuki, Songkok Recca atau peci Bugis ini hanya dikenakan kain bangsawan. Sebuah foto zaman kolonial, memperlhatkan Raja La Pawawoi tengah mengenakan songkok ketika ditangkap pada 1905. Sementara lukisan diri Andi Mappanyuki pun memperlihatkan sosoknya tengah mengenakan songkok. Namun, dalam perkembangannya songkok tidak hanya digunakan oleh kalangan Raja Bone, tetapi juga rakyat biasa. Peci Bugis saat ini jadi bagian dari pakaian daerah Sulawesi Selatan.
Peci, biasanya terbuat dari kain beludru yang diberi rangka plastik padat agar tegak. Di Tanah Bugis, Peci tradisional mereka, terbuat dari pelepah daun lontar yang dipukul-pukul hingga menjadi serat, lalu dianyam. Peci ini disebut Songkok Recca. Ukurannya berbeda dengan peci yang dipakai secara nasional dalam forum resmi masa kini.
Di Indonesia peci nyaris identik dengan Islam. Banyak tokoh Islam berfoto dalam keadaan berpeci. Jamaah-jamaah tokoh Islam pun juga pakai peci. Seejak abad XIII peci sudah diperkenalkan kepada orang Islam di Indonesia. Baru pada awal abad XX orang Islam di Indonesia beramai-ramai pakai peci. Dalam perjalanannya, peci dianggap sebagai identitas Islam.
Padahal peci kecil dipakai juga oleh rabi-rabi pemuka agama Yahudi dan juga pemuka agama Katolik. Peci agak besar seperti fez Turki dipakai juga oleh orang-orang Kristen ortodok di sekitar Timur Tengah. Bahkan jilbab juga dipakai wanita-wanita kristen ortodok.
Di Kampung Sawah, di mana orang-orang berkebudayaan Betawi beragama Kristen hidup, memakai peci bagi kaum laki-laki dan kerudung bagi perempuan adalah hal biasa. Perayaan Natal mereka kadang diisi dengan ondel-ondel juga. Mereka berusaha menunjukan Agama Kristen tidak membunuh budaya lokal. Itulah kenapa mereka masih berpeci juga.
Kassian Chepas, 'Sang Pemula' dalam Fotografi Indonesia, juga berpeci dalam sebuah foto dirinya yang dibuat tahun 1905. Kassian Chepas juga seorang kristen. Nama belakangnya, Chepas, adalah nama baptisnya. Chepas tentu bukan satu-satunya orang Kristen yang pakai peci.
Peci sedemikian lekat dengan Islam, padahal tidak demikian. Walikota Bandung Ridwan Kamil mengatakan, peci hitam atau kopiah merupakan penutup kepala khas Indonesia dan tidak ada hubungannya dengan agama Islam.
Peci ikut mewarnai sejarah Indonesia. Banyak tokoh pergerakan nasional setelah tahun 1920an mengenakan peci. Muhammad Husni Thamrin, yang sejak 1927 terpilih sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat), menghadiri sidang dengan kepala tertutup peci. Kemungkinan, sejak kecil Thamrin sudah berpeci dan masih mempertahankan peci sebagai identitasnya hingga dia meninggal.
Soekarno yang besar dalam budaya Jawa tentu beda dengan Thamrin yang besar dalam budaya Betawi, meski dia Indo. Sedari kecil, Soekarno terbiasa dengan blangkon atau tutup kepala khas Jawa. Begitu pun Bapak Bangsa sekaligus Bapak kos Soekarno, Hadji Oemar Said Cokroaminoto. Dalam film Guru Bangsa Tjokroaminoto (2015), Cokro sempat mempergunakan blangkon sebagai identitas yang diikuti banyak pengikutnya. Belakangan, baik Cokro maupun Soekarno pun berpeci. Blangkon mereka tinggalkan.
Sebagai Ketua umum Sarekat Islam (SI), kebiasaan Cokro tentu diikuti. Awalnya, SI hanya berkembang di Jawa saja. Belakangan, SI berkembang di wilayah di mana blangkon bukan tutup kepala lagi. Apalagi pengurus SI lain yang bernama Agus Salim pun orang Padang. Salim semasa muda juga kebarat-baratan.
Belakangan,
foto-foto Agus Salim kebanyakan berpeci.
Setelah Indonesia merdeka, seorang pahlawan keturunan Belanda bernama Douwes Dekker pun pakai peci di masa tuanya. Ketika dia jadi menteri. Di masa lalu, dia tak berpeci. Peci tetap jadi tutup kepala yang umum.
Meski tak resmi, Peci sering dipakai sebagai anggota Tentara atau laskar. Mereka tak memiliki baret atau helm baja untuk menutup kepala. Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang baru saja terbentuk pada 5 Oktober 1945, tak mampu sediakan baret dan helm baja. Jika ada yang memakai baret atau helm, itu seringkali hasil rampasan dari tentara musuh.
Tak ada baret, para pahlawan Indonesia tetap terlihat gagah. Panglima Besar, Letnan Jenderal Soedirman pun juga berpeci seperti Soekarno. Dalam acara resmi, Soedirman lebih sering berpeci. Belum ditemukan ada foto Soedirman pakai baret. Itu bukan sesuatu yang ketinggalan zaman untuk ditiru. Ketika memeriksa barisan dalam apel partai Gerindra, Prabowo pun berpeci ketika berkuda. Mirip Panglima Besar Soedirman.
Setelah tahun 1950, peci makin jarang digunakan anak muda. Tak seperti di tahun 1945. Hanya orang-orang tua atau tokoh masyarakat yang masih suka memakainya. Anak muda hanya berpeci ketika ke masjid atau ke acara keagamaan.
Hingga usia senjanya, Soekarno terus memakai peci hitamnya. Peci membuat Soekarno terlihat gagah dalam foto-foto yang banyak beredar meski tubuhnya mulai ringkih dan kepalanya membotak.
Barangkali sosok laki-laki Indonesia sejati adalah yang berpeci. Sosok Pitung yang diperankan Dicky Zulkarnaen dalam beberapa film tentang Pitung di tahun 1970an, digambarkan sebagai sosok pria berpakaian merah dan berpeci. Pakaian itu seperti tampilan jago-jago silat Betawi setelah Pitung terbunuh oleh Polisi kolonial di tahun 1893. Tentu saja, para pendekar anti kolonial pun belakangan juga berpeci. Sebut saja Soekarno, Agus Salim, Alimin, Cokroaminoto. Begitu juga tokoh betawi berdarah Inggris, Muhammad Husni Thamrin.
Filosofis Kupiah Meuketop
Setelah Indonesia merdeka, seorang pahlawan keturunan Belanda bernama Douwes Dekker pun pakai peci di masa tuanya. Ketika dia jadi menteri. Di masa lalu, dia tak berpeci. Peci tetap jadi tutup kepala yang umum.
Meski tak resmi, Peci sering dipakai sebagai anggota Tentara atau laskar. Mereka tak memiliki baret atau helm baja untuk menutup kepala. Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang baru saja terbentuk pada 5 Oktober 1945, tak mampu sediakan baret dan helm baja. Jika ada yang memakai baret atau helm, itu seringkali hasil rampasan dari tentara musuh.
Tak ada baret, para pahlawan Indonesia tetap terlihat gagah. Panglima Besar, Letnan Jenderal Soedirman pun juga berpeci seperti Soekarno. Dalam acara resmi, Soedirman lebih sering berpeci. Belum ditemukan ada foto Soedirman pakai baret. Itu bukan sesuatu yang ketinggalan zaman untuk ditiru. Ketika memeriksa barisan dalam apel partai Gerindra, Prabowo pun berpeci ketika berkuda. Mirip Panglima Besar Soedirman.
Setelah tahun 1950, peci makin jarang digunakan anak muda. Tak seperti di tahun 1945. Hanya orang-orang tua atau tokoh masyarakat yang masih suka memakainya. Anak muda hanya berpeci ketika ke masjid atau ke acara keagamaan.
Hingga usia senjanya, Soekarno terus memakai peci hitamnya. Peci membuat Soekarno terlihat gagah dalam foto-foto yang banyak beredar meski tubuhnya mulai ringkih dan kepalanya membotak.
Barangkali sosok laki-laki Indonesia sejati adalah yang berpeci. Sosok Pitung yang diperankan Dicky Zulkarnaen dalam beberapa film tentang Pitung di tahun 1970an, digambarkan sebagai sosok pria berpakaian merah dan berpeci. Pakaian itu seperti tampilan jago-jago silat Betawi setelah Pitung terbunuh oleh Polisi kolonial di tahun 1893. Tentu saja, para pendekar anti kolonial pun belakangan juga berpeci. Sebut saja Soekarno, Agus Salim, Alimin, Cokroaminoto. Begitu juga tokoh betawi berdarah Inggris, Muhammad Husni Thamrin.
Filosofis Kupiah Meuketop
Peci
Meuketup atawa Kupiah Aceh terbuat dari kain berwarna dasar merah dan kuning.
Kain dirajut jadi satu, berbentuk lingkaran. Pinggiran bawah kupiah, terdapat
motif anyaman dikombinasikan warna hitam, hijau, merah dan kuning. Anyaman
serupa terdapat di bagian tengah, yang dibatasi lingkaran kain hijau di atasnya
dan kain hitam di bawah.
Pada
lingkaran kepala bagian bawah, terdapat motif yang lebih dominan, berbentuk
“lam” dalam huruf hijaiyah. Namun ada garis yang menyambung antara bagian bawah
dan atas motif tersebut. Motif yang sama juga terdapat di lingkaran kepala
bagian atas. Hanya saja ukurannya lebih kecil. Di bagian paling atas, terdapat
rajutan benang putih sebagai alas mahkota kuning emas, bertingkat tiga.
Warna yang
dipakai memiliki makna tersendiri. Merah melambangkan kepahlawanan, kuning
berarti kerajaan atau negara, hijau menandakan agama, hitam berarti ketegasan
atau ketetapan hati, sementara putih bermakna kesucian atau keikhlasan.
Secara
keseluruhan, kupiah meukeutop terbagi empat bagian. Sama seperti pada warna,
tiap bagian ini juga memiliki arti tersendiri. Bagian pertama bermakna hukum,
bagian kedua, bermakna adat, bagian ketiga bermakna kanun dan bagian keempat
bermakna reusam.
Bentuk dan
motif kupiah meukeutop secara umum sama. Hanya warna kain songket untuk
membalut lingkaran kupiah saja yang berbeda. Biasanya disesuaikan dengan warna
songket pada pakaian.
“Kalau
songket pakaian kuning, biasanya songket di kupiah juga kuning. Kalau hijau di
pakaian, hijau di kupiah,” kata Nurdin.
Untuk
memperindah, selain songket, kupiah meukeutop dihiasi pernak-pernik khas Aceh.
“Kalau sekarang, ada yang menambahkan kalung di bagian depan. Itu hanya untuk
memperindah saja,” ujarnya.
Kupiah
meukeutop bagi masyarakat Aceh tak hanya bernilai dari segi adat, tapi juga
penuh dengan nilai sejarah. Secara historis, kupiah meukeutop lebih
diindentikkan dengan topi kebesaran yang sering dipakai Teuku Umar, pahlawan
nasional asal Aceh.
Teuku Umar
lahir di Meulaboh, tahun 1854. Ia gugur 11 Februari 1899, dalam satu
pertempuran dengan pasukan Belanda di Meulaboh. Di lokasi tertembaknya Teuku
Umar, di Pantai Batu Putih, Suak Ujong Kalak, dibangun satu tugu sebagai
monumen sejarah di Aceh Barat. Tugu itu lebih dikenal dengan sebutan, Kupiah
Meukeutop.
Saat tsunami
melanda Aceh, 26 Desember 2004, monumen itu juga ikut terbawa air bah. Pada
masa rekonstruksi Aceh pascabencana, tugu dibangun kembali dengan posisi agak
ke darat. Lokasi tugu sebelumnya telah menjadi laut.
Tidak ada
sumber sejarah pasti yang menjelaskan kapan atau siapa pertama kali yang
memakai kupiah meukeutop. Jika dilihat dari foto-foto tokoh pahlawan asal Aceh,
bukan Teuku Umar satu-satunya yang memakai kupiah. Panglima Polem (1845-1879),
juga memakai hal serupa. Bahkan kupiah yang dipakai Sultan Muhammad Daud Syah
dan Panglima Polem, lebih menyerupai kupiah meukeutop yang ada saat ini. Baik
dari bentuk maupun motifnya.
“Dari
sumber-sumber bacaan yang ada, T.A Sakti tokoh budaya dan sejarah Aceh belum
menemukan secara detail tentang kupiah meukeutop ini,.Bahkan menurutnya, Aceh
memiliki pakaian resmi yang berlainan dengan yang selalu dipakai para pejabat
dan tokoh-tokoh adat dalam acara resmi di Aceh selama ini. Kalau bahan pakaian
adat yang digunakan sekarang; yang dipakai di kepala adalah kupiah meukeutob,
sedangkan dalam “versi lain” adalah kupiah Aceh dan tangkulok Aceh berkasab.
Hiasan yang diselipkan di pinggang juga bukan semata-mata rencong, tetapi boleh
pula keris, siwah, badik dan rachuh.
“Rujukan
saya adalah kitab “Tazkirah Thabaqat” salinan Teungku Di Mulek tahun 1270 H,
yang naskah aslinya sudah ditulis pada zaman Sultan Mahmud Al-Qahar abad ke-16
Masehi,” paparnya. Naskah “Tazkirah Thabaqat,” telah selesai ia salin ke huruf
latin, yang semula berhuruf Arab Melayu/Jawoe.
Ia yakin,
pakaian Aceh versi ini dapat digunakan kembali saat ini untuk memperkaya
variasi pakaian adat Aceh yang ada sekarang. Pada masa Kerajaan Aceh
Darussalam, pakaian ini dipakai saat seseorang hendak menghadap Sultan Aceh di
Istana Darud Dunia. Baik orang Aceh maupun orang asing wajib memakai Pakaian
Aceh ini jika hendak menghadap Sultan.
“Jika tak
ada milik sendiri, seseorang boleh meminjam pada Balai Baitur Rijal atau Balai
Darul Atsar yang berada di depan pintu gerbang istana,” terangnya.
Kitab
“Tazkirah Thabaqat” ini tertulis dalam bahasa Melayu yang tidak jauh berbeda
dengan bahasa Indonesia sekarang. Salah satu kutipan dalam kitab tersebut
tentang Pakaian Aceh adalah “dan demikian lagi Adat Kerajaan Sultan Aceh, yaitu
apabila orang-orang yang masuk ke Dalam Darud Dunia: hendak menghadap Paduka
Sri Baginda Sultan Aceh: walau siapapun sekalipun, yaitu orang Aceh sendiri,
atau orang asing, maka tidak dibolehkan dia menghadap Sultan dengan memakai
pakaian sendiri. Melainkan yang dibolehkan dia memakai pakaian sendiri ialah
orang ‘Arab dan ‘Alim ulama, tetapi tidak dibolehkan memakai warna kuning dan
warna hijau.
Sementara
yang lain, waktu menghadap Sultan diwajibkan memakai pakaian Aceh. Di antaranya
adalah Kupiah Aceh, Tengkuloek Aceh berkasab, baju Aceh berkasab, berkain
selimpang dari kanan ke kiri memakainya berkasab, seluar berkasab, kain
pinggang berkasab. Memakai rencong atau keris atau siwah atau badik atau rachuh
yang berhulu suasa atau perak atau emas dan barang sebagainya, di depan sebelah
kanan.
Meski latar
belakang kemunculan kupiah meukeutop masih belum jelas, namun topi adat Aceh
ini telah menjadi ikon budaya dan sejarah yang begitu melekat dengan masyarakat
Aceh.
Saat ini
kupiah meukeutop telah mampu menunjukkan kekhasan Aceh pada dunia. Bentuknya
yang unik dan indah, membuat kupiah meukeutop ini sering dijadikan souvenir
yang menarik. Kopiah Meukutop ini hampir dapat ditemukan di tiap kabupaten dan
kota di Aceh, kecuali untuk daerah-daerah tertentu yang pakaian adatnya
berbeda. Kini Peci Khas Aceh ini telah diproduksi dan dimodifikasi sesuai
perkembangan zaman.
Peci ini kian elegan dipakai untuk shalat dan momen resmi lainnya. Bahkan Qarni Store secara masif memproduksi peci khas Aceh ini dengan berbagai ukuran. Berbagai kalangan ikut terpikat dengan peci khas Aceh atawa Kupiah Meuketop, mulai dari Santri Dayah, Birokrat, Politisi hingga Kepala Daerah. Kalau dulu Kupiah ini hanya digunakan pada acara pesta perkawinan/Intat Linto, kini peci ini sudah dijadikan simbol kegagahan Laki-Laki dan digunakan di berbagai aktivitas sosial, pendidikan hingga digunakan sebagai peci untuk shalat lima waktu.
Peci ini kian elegan dipakai untuk shalat dan momen resmi lainnya. Bahkan Qarni Store secara masif memproduksi peci khas Aceh ini dengan berbagai ukuran. Berbagai kalangan ikut terpikat dengan peci khas Aceh atawa Kupiah Meuketop, mulai dari Santri Dayah, Birokrat, Politisi hingga Kepala Daerah. Kalau dulu Kupiah ini hanya digunakan pada acara pesta perkawinan/Intat Linto, kini peci ini sudah dijadikan simbol kegagahan Laki-Laki dan digunakan di berbagai aktivitas sosial, pendidikan hingga digunakan sebagai peci untuk shalat lima waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar